Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYUM mengembang di wajah Sony Keraf, Rabu malam pekan lalu. Menghampiri rekan-rekannya di ruang pimpinan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengaku plong. ”Akhirnya,” kata Sony.
Selang beberapa saat, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, yang datang bersama Sony, membuka pembicaraan. ”Sudah, gini saja, kita trade off. Yang ini diganti dengan ini,” kata salah satu anggota Dewan di ruangan itu, menirukan pernyataan Purnomo.
Ucapan Purnomo mengagetkan mereka. Tak dinyana, forum lobi yang mereka perkirakan bakal alot itu selesai hanya dalam hitungan menit. Lobi-lobi sebelumnya memang tak bisa membuhul konsensus.
Tawaran Purnomo meluruhkan ketegangan para anggota fraksi yang sudah mengkristal menjadi dua kubu. ”Saya cuma mencoba menjembatani. Terserah, mau diterima atau tidak,” Purnomo menambahkan.
Tim kecil ini merupakan anggota panitia kerja dari Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Dewan Perwakilan Rakyat. Rancangan undang-undang itu bakal menggantikan Undang-Undang Nomor 11/1967 tentang Pertambangan. Tiga setengah tahun sudah pembahasan rancangan undang-undang itu tak kunjung usai.
Rencananya, di ruangan itu, tim kecil—satu orang mewakili fraksi masing-masing—panitia kerja menggelar forum lobi kesekian kalinya untuk membahas pasal-pasal yang belum juga disepakati. Tenggat semakin dekat, malam itu juga panitia kerja harus memberikan laporan ke panitia khusus.
Kalau tak juga beres, forum dianggap deadlock, dan keputusannya, mau tidak mau, harus dibawa ke Sidang Paripurna DPR. Di sana akan dilakukan voting.
Ada perdebatan sengit. Dua pasal krusial belum disepakati, yakni soal waktu tunggu bagi pengelolaan wilayah pencadangan nasional, dan apakah pengelolaannya memakai sistem izin usaha atau perjanjian usaha.
Dewan akan menentukan apakah waktu tunggu setelah 20 tahun, atau sewaktu-waktu. Menurut Idris Luthfi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, waktu 20 tahun itu adalah jaminan adanya konservasi bahan tambang tidak dieksploitasi habis dalam waktu dekat. ”Ini sebagai pertanggungjawaban kita kepada generasi ke depan,” katanya.
Partai Golkar sangat menginginkan pengelolaan tambang dengan mekanisme perjanjian dan percepatan pengolahan wilayah pencadangan nasional. Golkar didukung Partai Demokrat dan Partai Damai Sejahtera.
Ketua panitia khusus yang juga politikus Partai Golkar, Agusman Effendy, menyatakan perjanjian usaha akan memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha, sehingga akan menarik investasi besar di sektor tambang.
Menurut Soetan Bhatoegana dari Fraksi Partai Demokrat, jangka waktu pengelolaan wilayah pencadangan yang tepat adalah lima tahun. Alasannya, jika negara dalam kesulitan energi, tak perlu mengimpor lagi atau menunggu hingga masa pengelolaan wilayah pencadangan negara selesai. ”Kebutuhan energi kita makin besar,” katanya. ”Jangan sampai kita mengimpor padahal cadangan melimpah.”
Aturan yang diusulkan Golkar itu ditentang keras, terutama oleh PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Menurut mereka, perjanjian usaha pertambangan tidak ada bedanya dengan sistem kontrak karya pertambangan yang selama ini dipraktekkan.
Dalam sistem kontrak, kata Misbah Hidayat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, negara dirugikan karena posisi badan usaha dengan negara menjadi sejajar. Dalam banyak kasus, negara justru lemah menghadapi korporasi tambang raksasa dunia. ”Ini pelanggaran sistem ketatanegaraan kita.”
Ia lebih suka sistem perizinan, yang memposisikan negara lebih memiliki determinasi dengan menerbitkan izin usaha pertambangan. Kalau ada pelanggaran, izin bisa dicabut atau dinegosiasi ulang. ”Bagi kami, ini harga mati,” kata Sony.
Pemerintah, yang pada awalnya mendukung Golkar, berbalik arah. Purnomo mengaku sudah tak sabar dengan pembahasan yang berlarut-larut itu. Ia lalu mengajak Sony ”barter”, cuma beberapa menit sebelum forum lobi dibuka.
Intinya, pasal perjanjian usaha dilepas, tapi PDI Perjuangan dkk harus merelakan wilayah konservasi 20 tahun dicoret dari draf. Jalan tengahnya: pasal baru, yaitu izin usaha pertambangan khusus, yaitu wilayah pencadangan bisa diolah sewaktu-waktu asal dengan persetujuan Dewan.
Mendengar pernyataan itu, Agusman dan Airlangga Hartarto dari Fraksi Golkar langsung menyeret Purnomo ke pojokan ruangan. ”Sudahlah, cepat saja, capek,” Purnomo berbisik. Sebelum bicara dengan Sony, Purnomo sebenarnya sudah dilobi empat mata dengan Soetan Bhatoegana. Praktis Golkar ditinggal sendirian.
Idris menilai, keputusan Golkar melepas tuntutannya sangat rasional. Sebab, kalau sampai voting, sikap itu justru menjadi bumerang bagi Partai. ”Secara opini kan mereka sudah kalah?” kata Idris. Kalaupun Golkar menang voting, ”Orang pasti bertanya-tanya, siapa di belakang Golkar,” katanya.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Siti Maemunah, berpendapat sama. Menurut dia, Golkar ”bermain” karena memang sarat kepentingan para investor dan politikus-pengusaha yang ada di partai itu. ”Ini kan pundi-pundi mereka?” kata Siti.
Airlangga membantah pendapat itu. ”Di depan dan di belakang kita ada investor, ada masyarakat. Kita berjuang untuk semua,” kata politikus muda itu. Beruntung bagi Golkar, kata Luthfi, persoalan itu selesai di panitia kerja, yang rapatnya selalu tertutup. Kalau sampai dibuka di paripurna, mereka bakal dipermalukan.
Sony pun bersyukur di forum lobi itu isu kontrak karya lepas sudah. ”Golkar menyerah di lobi terakhir,” kata Sony, mantap. Ia pun puas dengan pewajiban korporasi merevisi kontrak karya mereka disesuaikan dengan undang-undang baru.
Tapi Golkar tak mau dianggap kalah. Airlangga menyatakan substansi yang diperjuangkan partainya sudah masuk di pasal perizinan khusus. Misalnya soal dividen 10 persen dan izin khusus yang harus lewat pemerintah pusat. ”Persoalannya bukan perjanjian usaha pertambangan atau tidak, tapi substansinya,” kata Airlangga. ”Tidak bisa dianggap barter, karena tidak apple to apple,” katanya.
Jaringan Advokasi Tambang menilai revisi undang-undang itu tak mampu menjawab masalah mendasar sektor pertambangan, yaitu eksploitasi berlebihan atas kekayaan alam Indonesia. Tidak adanya batasan waktu wilayah pencadangan sama artinya tidak ada sumber alam yang dikonservasi. ”Ini kayak membodohi bangsa ini,” katanya.
Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Jeffrey Mulyono belum mau berkomentar. ”Nanti, kalau sudah jadi undang-undang, baru kami pelajari,” katanya.
Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo