Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AZAN belum berkumandang di Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan. Meski demikian, tiga pria tampak bergegas ke luar blok isolasi dengan pengamanan supermaksimum itu. Mereka adalah Amrozi (43 tahun), Ali Ghufron (47), dan Imam Samudra (37), terpidana mati kasus Bom Bali—bom yang menewaskan 202 nyawa pada 12 Oktober 2002.
Mereka menuju Masjid At-Taubah, 100 meter dari blok itu, Jumat pekan lalu. Dua polisi khusus penjara siap siaga. Di masjid mereka duduk di saf terdepan. Jumat adalah hari istimewa karena hari itu mereka diizinkan salat berjemaah di masjid. Selain Jumatan, mereka juga boleh salat di luar sel ketika Idul Fitri dan Idul Adha. Selain itu, mereka sembahyang di balik jeruji. Ketentuan itu berlaku sejak mereka pindah dari LP Kerobokan, Bali, 11 Oktober 2005. ”Prosedur pengamanannya begitu,” kata Kepala LP Batu, Sudjianto.
Amrozi berjubah hijau gelap yang panjangnya hingga bawah lutut, disambung celana panjang hitam ngatung di atas mata kaki. Rambutnya panjang sebahu dan ditutupnya dengan kopiah putih. Ia menyandang sorban hijau di pundak. Ghufron berjubah putih semu ungu yang menjuntai hingga ke bawah lutut—hampir menyembunyikan celana cokelat cingkrang yang dipakainya. Ia mengenakan kopiah hitam dan menyandang sorban putih kotak-kotak hijau.
Mirip Ghufron, Imam Samudra juga berpakaian jubah putih. Celana panjang warna senada membiarkan mata kakinya terbuka. Kopiah hitam berbebat sorban hitam-putih bertengger di kepala. Sembari menunggu jemaah lain, ketiganya khusyuk berwirid. Sesekali kepala Imam Samudra bergoyang pelan sambil komat-kamit mata terpejam.
Di luar mereka, 60 orang—napi dan petugas LP—mulai menyesaki masjid. Selanjutnya adalah ritual salat Jumat: muazin menyerukan azan persis pukul 12 lalu khatib yang didatangkan dari Cilacap naik mimbar. Dalam ceramahnya ia mengajak jemaah meningkatkan amal ibadah dalam sepuluh hari terakhir Ramadan. Setengah jam kemudian, salat Jumat usai. Sebelum kembali ke sel khusus, trio bom Bali itu kembali berwirid dan salat sunah dua rakaat.
Sebelum meninggalkan masjid, hampir semua jemaah menyalami ketiganya—sebagian memeluk dan mencium. Sejumlah petugas LP Batu mengajak mereka bergurau. Imam Samudra sempat bertanya tentang perkembangan anak seorang petugas LP yang sedang belajar membaca Al-Quran. ”Biarkan anak Bapak mengaji pada saya,” kata Imam tergelak. Ia memang tak banyak berubah: bicaranya lantang dengan sorot mata tajam dan telunjuk yang kerap diacung-acungkan.
Tempo termasuk jemaah yang memeluk mereka. Kepada Ghufron, Tempo berbisik menanyakan suasana batin dia menjelang eksekusi mati. Hidup mereka memang tak lama lagi. Permintaan peninjauan kembali oleh Ghufron ditolak Mahkamah Agung pada 23 Agustus lalu. Permohonan Amrozi dan Imam Samudra juga tak diterima. ”Katakan kepada dunia, kami sangat bahagia. Kami akan jadi syuhada. Jika kami diberi isi seluruh dunia, itu tak mampu menggantinya,” kata Ali Ghufron.
Mendengar itu, Imam tak tahan untuk tidak ikut pidato. ”Jika bebas hukuman mati, kami akan berjihad melawan kafir. Jika mati, surga menunggu kami. Kalau tetap dipenjara, kami makin khusyuk,” katanya. Soal rambut dan jenggotnya yang ia pelihara hingga panjang, Imam menjawab, itu dianjurkan Nabi Muhammad. Tak lupa ia berbagi tips. Agar janggut tumbuh subur, ”Kocok putih telur ayam, lalu oleskan ke janggut,” katanya.
Imam Samudra lalu mengajak Tempo bertandang ke ruang tahanannya. ”Silakan berkunjung ke hotel kami,” ujarnya terbahak. Inilah bui istimewa itu: berdiri paling dekat dengan pos penjagaan, dengan pagar tembok menjulang enam meter. Di atasnya bertengger kawat berduri—pengamanan ini memakai standar Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Di antara tembok sel dengan blok masih ada pagar jeruji baja enam meter yang di atasnya juga bergulung kawat runcing.
Blok isolasi punya tujuh ruang bersisian. Enam di antaranya telah berisi. Di antara penghuni sel itu adalah terpidana kasus pembunuhan Nur Yahya, Gunawan Santoso (terpidana pembunuh Direktur PT Asaba), dan Imam Samudra.
Sel kosong memisahkan kamar Iman dan Amrozi. Lalu ada sel Rio Alex Bulo (pembunuh berdarah dingin yang kerap menggunakan martil merah untuk menghabisi korbannya) dan sel Ghufron. Masing-masing berukuran 4x9 meter dan terbagi menjadi tiga ruang. Paling depan adalah ruang angin-angin lalu ruang tidur dan kamar mandi. Dipan terbuat dari semen mirip panggung. Selembar kasur biru, bantal, dan selimut tercogok di sana. Tembok setengah meter menyekat kamar mandi yang menyimpan kloset dan bak air.
Di situ Amrozi, Ghufron, dan Imam Samudra menjalani sisa hidup. Dini hari pukul tiga mereka salat malam dan membaca Al-Quran hingga subuh. Beberapa buku keislaman mereka baca—di antaranya ditulis dengan aksara Arab gundul. Pukul tujuh pagi mereka lari di tempat, push-up, sit-up, dan senam di ruang angin-angin. Selanjutnya, mereka makan ransum.
Cerita tentang aktivitas ketiganya di LP Batu diungkapkan Ahmad Michdan, kuasa hukum terpidana bom Bali itu. Terakhir Michdan membesuk mereka pada Rabu 12 September lalu, sehari sebelum Ramadan. Saat itu Michdan membawa enam nasi bungkus lauk ikan tengiri goreng. Mereka kemudian menggelar tikar di ruang besuk umum LP Batu. Nasi bungkus dijadikan satu. Bungkusnya mereka hamparkan sebagai pengganti nampan untuk makan bersama.
Menurut Michdan, mereka kian khusyuk beribadah. Ghufron sibuk menyelesaikan buku yang ia tulis dalam lembaran kertas folio. Sudah 30 judul buku yang siap diterbitkan. Di antaranya tentang keterlibatan dia dalam bom Bali I dan nasihat untuk para istri. Persis menjelang puasa lalu, Ghufron telah hafal 30 juz Al-Quran.
Amrozi juga rajin membaca Al-Quran dan buku. Michdan mengaku sempat membawakan buku Riyadlus Shalihin (Jalan Orang Saleh) dan tafsir Al-Manar. Amrozi memesan dibawakan Al-Quran dengan lafal huruf Latin dan terjemahannya. ”Amrozi kini dekat dengan Gunawan Santosa. Ia ingin belajar Islam. Amrozi yang sabar mampu menaklukkan Gunawan yang keras,” kata Michdan.
Michdan mengungkapkan, jika harus dihukum mati, mereka ingin yang sesuai dengan syariat Islam, yakni di tiang gantungan. Ibunda Amrozi, Tariyem, 84 tahun, dan kerabatnya di Lamongan, Jawa Timur, pasrah jika anaknya harus mati di tangan regu tembak. Kata Muhammad Khozin, kakak Amrozi dan Ghufron, ”Ibu sumeleh (pasrah). Kami sekeluarga tetap mendukung keyakinannya untuk berjihad.”
Sunudyantoro, Sohirin (Nusakambangan), Kukuh Setyo Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo