Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesan pendek bernada ancaman itu masuk ke telepon seluler politikus Fraksi Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati, Kamis pagi dua pekan lalu. ”Jangan munafik! Kasihan anakmu masih kecil... baru empat tahun, kan? Saya tahu jalan yang biasa Anda lewati.”
Total ada tiga pesan senada yang diterima ibu satu anak itu. Tapi Wa Ode memilih tak melapor ke polisi. ”Ini risiko karena saya bicara apa adanya,” kata perempuan 29 tahun itu ketika ditemui Tempo, Senin pekan lalu.
Rangkaian teror itu menghampiri Wa Ode sehari setelah dia bicara blakblakan soal calo anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dalam sebuah talk show, Mata Najwa, di Metro TV. Dengan berani dia menuding pemimpin DPR berperan memuluskan bagi-bagi anggaran negara di Senayan.
”Ada pemimpin DPR yang mengirim surat ke Menteri Keuangan supaya daftar penerima dana penyesuaian infrastruktur daerah tak diubah lagi dan segera ditandatangani,” katanya. Surat pemimpin DPR ini, menurut Wa Ode, menyiratkan permainan terselubung dalam penentuan besaran dana infrastruktur buat provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Tak pelak, nyanyian Wa Ode membuat panas kuping banyak orang. Ketua DPR Marzuki Alie ikut tersengat. Politikus Fraksi Partai Demokrat itu turun tangan sendiri, melaporkan politikus asal Buton, Sulawesi Tenggara, tersebut ke Badan Kehormatan parlemen. ”Sebagai Ketua DPR, saya tidak bersentuhan dengan proses di Badan Anggaran,” kata Marzuki.
Tapi Wa Ode tak surut. Dia mengaku sadar tindakannya membuka borok proses penentuan anggaran di DPR bakal menuai musuh. ”Kalau sistem ini tidak diperbaiki, saya siap mundur,” katanya balik menantang.
Keresahan Wa Ode sebetulnya sudah lama dipendam. Pada Oktober tahun lalu, sebagai anggota Badan Anggaran, dia diundang mengikuti rapat pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011 di Wisma Kopo, Puncak, Jawa Barat.
Salah satu agenda rapat adalah membahas pembagian dana penyesuaian infrastruktur daerah. Dana Rp 7,7 triliun itu harus dibagikan ke provinsi dan kabupaten/kota yang membutuhkan. Kapasitas fiskal dan tertinggal-tidaknya pembangunan di daerah menentukan berapa rupiah yang bakal dikucurkan.
Seorang pejabat Kementerian Keuangan lalu memaparkan simulasi pembagian dana infrastruktur untuk semua provinsi dan kabupaten/kota yang memenuhi syarat sebagai penerima. Sepanjang rapat, tak ada keberatan. Wa Ode ingat, simulasi itulah yang disepakati sebagai model pembagian yang final.
Empat bulan kemudian, pada Februari 2011, peraturan Menteri Keuangan soal pembagian dana infrastruktur terbit. Wa Ode kaget bukan buatan. Daftar daerah penerima dana infrastruktur berubah total. Ada lebih dari 100 kabupaten/kota yang semula tercantum menghilang dari daftar. Wa Ode mencium bau busuk kongkalikong.
Selidik kanan-kiri, politikus muda ini menemukan surat dari pemimpin DPR pada Desember 2010 kepada Kementerian Keuangan. Dia menduga surat inilah yang membuat pemerintah mengubah daftar penerima dana infrastruktur pada tahun anggaran ini.
Tempo mendapatkan salinan surat yang dipersoalkan Wa Ode. Ditandatangani Wakil Ketua DPR Anis Matta, surat itu merupakan jawaban parlemen atas surat sebelumnya dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo.
Dikirim dua pekan sebelumnya, Menteri Agus menanyakan mengapa 32 daerah yang semula memenuhi syarat mendapat jatah dana infrastruktur dicoret oleh Badan Anggaran DPR. Jawaban Anis Matta ringkas: ”Daftar daerah penerima anggaran sudah final dan tak bisa diubah lagi.”
Dihubungi pekan lalu, Anis Matta membenarkan isi suratnya. Tapi dia mengaku hanya meneruskan jawaban dari Badan Anggaran DPR. Sesuai dengan tata tertib parlemen, balasan atas surat pemerintah memang harus ditandatangani pemimpin DPR. Sebagai koordinator bidang ekonomi dan keuangan, dialah yang ketiban tugas membalas surat Menteri Keuangan. ”Tapi saya tidak ikut campur soal substansinya,” kata politikus Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu.
Ketua Badan Anggaran Melchias Markus Mekeng membenarkan. ”Dia hanya meneruskan jawaban kami,” kata politikus Fraksi Golkar ini. Dia menampik jika surat itu dianggap sebagai tekanan DPR kepada pemerintah.
Lalu kenapa daftar daerah penerima dana infrastruktur itu berubah? Menurut Wakil Ketua Badan Anggaran Tamsil Linrung, perubahan itu tidak datang dari langit. Pangkal masalahnya ada dua: keterbatasan dana dari pusat dan tidak adanya proposal permintaan dana dari daerah yang bersangkutan. ”Wa Ode jarang ikut rapat, maka tak tahu kalau ada perubahan,” kata Tamsil. Politikus PKS ini memastikan semua perubahan itu sudah disetujui pemerintah.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Marwanto Harjowiryono membenarkan. ”Daftar daerah yang menerima dana memang bisa berubah-ubah sampai pembahasan berakhir,” katanya.
TUDINGAN Wa Ode soal calo anggaran di parlemen membuat banyak orang kebakaran jenggot. Pemimpin Badan Anggaran DPR sampai merasa perlu menggelar rapat khusus Senin pekan lalu. Empat pemimpin badan itu, Melchias Markus Mekeng, Tamsil Linrung, Mirwan Amir (Fraksi Partai Demokrat), dan Olly Dondokambey (Fraksi PDI Perjuangan), lengkap hadir.
Di depan mereka berderet sejumlah tamu. Semuanya mengaku sebagai korban dan saksi kasus-kasus pemerasan yang dilakukan Wa Ode Nurhayati. Menurut Tamsil, rapat pimpinan Badan sudah menerima setumpuk bukti soal peran Wa Ode sebagai calo anggaran. ”Kami menyerahkan bukti ini kepada pemimpin DPR,” katanya. Tamsil berujar, ”Ada indikasi Wa Ode adalah calo anggaran.”
Yang berpendapat begitu bukan hanya Tamsil. Seorang anggota parlemen yang dekat dengan Wa Ode mengaku pernah mendengar keluhan politikus itu soal pembagian dana infrastruktur daerah. ”Dia sudah telanjur berjanji membantu daerah-daerah untuk mendapatkan dana itu,” katanya.
Di Senayan, bantuan ”pengawalan” dana semacam itu tentu tidak gratis. Biasanya tarif untuk mengamankan alokasi anggaran untuk daerah tertentu mencapai 5-10 persen dari total kucuran dana (Tempo, 16-22 Mei 2011, ”Calo-calo Senayan”).
Wa Ode menyangkal semua serangan balik itu. ”Saya tidak pernah pakai cara mafia seperti itu,” katanya dengan nada tinggi. Balik menyerang, kubu pendukung Wa Ode punya kisah lain. Menurut sumber Tempo di DPR, Tamsil Linrung punya motif membungkam nyanyian Wa Ode. Selama ini, kata dia, Tamsil dikenal rajin ”mengawal” alokasi anggaran dana untuk daerah.
Kepada Tempo, seorang kepala daerah di Sulawesi mengaku pernah meminta bantuan Tamsil memastikan kucuran miliaran rupiah anggaran infrastruktur buat daerahnya. Sayangnya, dia enggan bercerita secara terperinci.
Tak hanya mengawal anggaran, Tamsil bahkan disebut-sebut menguasai ke mana dana itu kelak dibelanjakan. ”Dia banyak pegang proyek pembangunan rumah sakit daerah,” kata seorang pengusaha Sulawesi. Kontraktor yang ingin berkompetisi lewat tender daerah, misalnya, harus minta izin dulu kepada Tamsil.
Tamsil kabarnya tak bekerja sendiri. Dia sering bergandengan dengan kolega separtai, Anis Matta. Menurut seorang pengusaha Sulawesi lain, pembagian komisi untuk duet ini diatur oleh istri Anis Matta, Anaway Irianty Mansyur.
Tamsil dan Anis membantah keras tudingan itu. ”Silakan dibuktikan kalau memang ada,” kata Tamsil. Anaway tak bisa dihubungi, tapi suaminya menilai kabar itu tak berdasar. ”Istri saya memang orang Sulawesi Tenggara, tapi dia orang biasa, tidak mengurus anggaran negara,” katanya.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo