Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR miring itu terungkap dua pekan lalu. Di tengah rapat Panitia Kerja Aset Negara di Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah mengaku telah kehilangan lima persen saham di perusahaan pengelola Pekan Raya Jakarta, Kemayoran. Padahal sampai sekarang perusahaan itu masih menggunakan 44 hektare lahan bekas Bandar Udara Kemayoran yang merupakan aset Sekretariat Negara.
Mendengar informasi ini, Ketua Panitia Kerja Teguh Juwarno kebingungan. ”Saham negara kok bisa hilang?” politikus Partai Amanat Nasional ini bertanya. Direktur Pusat Pengelolaan Kompleks Kemayoran Edison Siahaan hanya bisa memastikan bahwa saham memang raib sejak enam tahun lalu. Sekretaris Menteri-Sekretaris Negara Ibnu Purna Muchtar juga membenarkan. ”Memang sudah tidak ada,” katanya dalam rapat itu.
Panitia Kerja berencana memanggil Siti Hartati Murdaya, konglomerat yang mengelola Pekan Raya lewat PT Jakarta International Expo. Saham pemerintah pupus ketika anggota Dewan Pembina Partai Demokrat itu mengambil alih pengelolaan lahan Kemayoran dari pengelola sebelumnya, pengusaha Edward Soeryadjaya, pada 2004. Jika kelak terbukti ada kongkalikong, Teguh meminta saham itu dikembalikan.
Untuk merunut kisruh saham ini, risalah lama soal kisruh antara Murdaya dan Soeryadjaya harus dibuka kembali. Sengketa bermula dari krisis utang lebih dari Rp 1 triliun yang melilit pengelola lama, PT Jakarta International Trade Fair, pada 2003. Perusahaan ini berutang pada Overseas Economic Cooperation Fund, kreditor internasional di Tokyo, Jepang, sebesar US$ 122 juta. Dana dipakai untuk membangun kompleks Pekan Raya Jakarta pada Oktober 1990.
Pada saat itu pemilik PT Jakarta Fair adalah Sekretariat Negara (5 persen), PT Jaya Nusa Perdana (52,5 persen), dan investor dari Jepang, Jakarta Development Corporation (42,5 persen). Edward Soeryadjaya adalah pemilik PT Jaya Nusa, bersama-sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Meski sudah beroperasi lebih dari 10 tahun, perusahaan patungan itu tak kunjung mengail untung. Modal awal pun berubah jadi tumpukan utang. Jakarta Fair kelimpungan. Dua kali penjadwalan ulang, kredit tetap macet.
Karena dianggap tak lagi kredibel, kreditor Jepang pun akhirnya menutup Jakarta Development Corporation pada akhir 2002. Pengadilan Tokyo meminta semua aset Jakarta Development—termasuk yang tersangkut di Jakarta Fair— secepatnya dijual. Ketika itulah Hartati Murdaya masuk.
Dengan bendera Jerome International Ltd., anak perusahaan PT Central Cipta Murdaya miliknya, pada Maret 2003 Hartati membawa dana segar US$ 10 juta untuk membeli hak tagih atas utang Jakarta Fair dari pihak Jepang. Sebagai ”bonus”, dia mendapat limpahan saham Jakarta Development 42,5 persen.
Setelah menguasai utang dan sebagian saham Soeryadjaya, Hartati merangsek masuk. Dia menolak upaya penundaan pembayaran utang dan langsung meminta Jakarta Fair dipailitkan saja di meja hijau. Lewat penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Januari 2004 semua aset Jakarta Fair akhirnya disita, termasuk aset tanah 44 hektare di Kemayoran. ”Sejak itulah, saham kami pun ikut-ikutan dianggap pailit,” kata Semeru Soekarno, mantan Direktur Pusat Pengelolaan Kompleks Kemayoran, pekan lalu.
Sebagai pengelola baru Pekan Raya Jakarta, Hartati mendirikan PT Jakarta International Expo, menggandeng pemerintah DKI Jakarta. Di perusahaan anyar ini, Sekretariat Negara tak lagi punya hak apa pun. Ketika masih berdinas di Kemayoran, Semeru mengaku sudah berulang kali menyurati Hartati Murdaya untuk meminta penjelasan tentang lima persen saham milik Sekretariat Negara ini. ”Tapi tak pernah ditanggapi,” katanya.
Pada 2006, Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (ketika itu), Hendarman Supandji, sempat menyidik kasus ini. Namun, setelah mendengarkan kesaksian Hartati dan Edward Soeryadjaya, Kejaksaan Agung menyimpulkan kasus peralihan saham di Kemayoran ini bukan pidana korupsi.
Empat tahun kemudian, kasus lama ini dibuka kembali. ”Ini sudah salah dari awal. Mengapa aset negara yang begitu berharga hanya dinilai dengan saham lima persen?” kata Teguh Juwarno. Dia juga mempertanyakan tindakan Jakarta Fair mengagunkan sertifikat hak guna bangunan atas lahan Sekretariat Negara di Kemayoran. Akibat tindakan itulah, kreditor Jepang berhak mengklaim agunan saat angsuran kredit Jakarta Fair macet di tengah jalan. ”Seharusnya, sertifikat di atas hak pengelolaan lahan milik Sekretariat Negara tidak boleh diagunkan ke bank,” katanya merujuk pada prosedur serupa di Senayan.
Soal ini dibantah Semeru. Menurut dia, pola penguasaan lahan di Kemayoran berbeda dengan Senayan. ”Di Senayan, digunakan pola build, operate, and transfer (BOT),” katanya. Artinya, aset tanah tidak berpindah tangan. Sedangkan Kemayoran sejak awal menggunakan pola jual-beli. ”Pada 1990, Jakarta Fair membeli tanah Sekretariat Negara di Kemayoran, bukan meminjam,” katanya. Menurut dia, ini sesuai dengan peruntukan kawasan Kemayoran sebagai pusat bisnis.
Saham pemerintah di Jakarta Fair pun, menurut Semeru, adalah saham kosong alias tanpa setoran modal. ”Jadi, saham itu bukan kompensasi dari penggunaan tanah 44 hektare,” katanya. Meski begitu, menurut dia, Sekretariat Negara tetap berhak menuntut kontribusi dari Jakarta International Expo. Artinya, komposisi saham yang disepakati pengelola Pekan Raya Jakarta terdahulu seharusnya diteruskan. ”Hartati tidak pernah menyampaikan duduk perkara hilangnya saham lima persen itu secara resmi kepada Sekretariat Negara,” kata Semeru.
Sampai akhir pekan lalu, Hartati tidak bisa dihubungi. Panggilan dan pesan pendek ke telepon selulernya tidak dibalas. Kuasa hukumnya pada saat kisruh Jakarta Fair enam tahun lalu, Bambang Hartono, dari kantor pengacara Denny Kailimang, mengaku sudah lupa ihwal perkara ini. ”Saya harus membongkar lagi dokumennya,” kata Bambang.
Melihat kisruh pengelolaan aset negara yang berkepanjangan ini, politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Effendy Choirie, mengaku geregetan. ”Sejak dulu Dewan Perwakilan Rakyat sudah merekomendasi agar pengelolaan lahan Senayan dan Kemayoran tak lagi diurus Sekretariat Negara,” katanya, merujuk pada kesimpulan Panitia Kerja Aset Negara yang dibentuk Dewan periode 1999-2004. Dia menjadi ketua panitia kerja saat itu.
Ia berpendapat, aset-aset itu sebaiknya diserahkan ke badan usaha milik negara yang profesional. Menurut dia, pengelolaan kompleks Kemayoran—juga kompleks Gelora Bung Karno, Senayan—oleh Sekretariat Negara membuat negosiasi bisnis di sana selalu menjadi wilayah abu-abu. ”Salah-salah dipakai jadi ajang mencari setoran dana politik,” katanya.
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo