Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASIH segar dalam ingatan Haji Mitu, ketika setahun lalu ia mendapati gumpalan-gumpalan hitam di laut tempat dia mencari ikan, sekitar 90 kilometer dari pantai Kupang. ”Kami tidak tahu apa yang terjadi,” katanya.
Baru belakangan dia paham, ada tumpahan minyak dari kilang Montara di Blok West Atlas di Laut Timor, perairan Australia. Kilang minyak yang dioperasikan perusahaan Thailand, PTTEP Australasia, itu bocor pada 21 Agustus 2009, dan merupakan bencana pencemaran lepas pantai terbesar di Australia.
Tapi sampai kini Haji Mitu masih terheran-heran. Ikan tuna dan kakap, yakni sasaran tangkapannya, tak juga banyak terjaring. Sebelum adanya tumpahan minyak, Haji Mitu mengantongi sekitar Rp 8 juta tiap pekan. Kini paling banyak dia membawa pulang Rp 3 juta. Padahal ongkos melaut sudah sekitar Rp 4 juta.
”Rata-rata nelayan di sini berutang banyak,” kata Haji Mitu, ketika ditemui di rumahnya yang berdinding anyaman pelepah kelapa dan beratap seng di Desa Oesapa, Kota Kupang. Untuk mencukupi kebutuhan, ribuan nelayan tetangga Haji Mitu kini merambah daerah lain untuk mencari ikan, sampai ke perairan Papua, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara.
”Setelah Lebaran ini, saya juga akan mencari ikan ke Bangka Belitung,” kata Haji Mitu. Ia menilai pemerintah tak memperhatikan nasib kaumnya. ”Sampai saat ini, tak satu pun petugas pemerintah datang mendata,” katanya.
Ketua Tim Advokasi Ganti Rugi Pencemaran di Laut Timor, Masnellyarti Hilman, membantah anggapan Haji Mitu. Menurut Deputi Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup itu, beberapa pekan setelah insiden kebocoran, pemerintah telah mengambil sampel pencemaran minyak di perairan Indonesia yang tercemar.
Setelah diyakini minyak berasal dari Montara, Kementerian Lingkungan Hidup menulis surat beberapa kali ke Menteri Perhubungan sebagai Ketua Tim Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut. Tim ini dibentuk empat tahun silam, akibat kerapnya didapati tumpahan minyak dari kapal tanker di perairan Indonesia.
Pada 15 Juli, dibentuklah Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran di Laut Timor. ”Setiap hari kami rapat,” kata Masnellyarti. Tim melaraskan data penelitian dari berbagai lembaga, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, serta Departemen Kelautan dan Perikanan. Tim juga segera menghubungi kantor PTTEP—yang juga memiliki beberapa garapan di kawasan Indonesia—di Jakarta.
Pada 27 Juli, Tim Advokasi terbang ke Perth. Di sebuah hotel, tak jauh dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia, untuk pertama kalinya tim pemerintah Indonesia bertemu dengan PTTEP Australasia. Ternyata, argumentasi keras yang disiapkan dari Jakarta tak diperlukan dalam pertemuan seharian itu. ”Mereka menerima kami dengan baik,” kata Masnellyarti.
Dalam pertemuan itu ditanyakan beberapa hal, di antaranya prosedur pemberian ganti rugi akibat pencemaran. Juga tindakan membersihkan tumpahan, dan kerja sama pemantauan jangka panjang. ”Sebab, ini merupakan proses panjang, terutama aspek pemulihannya,” kata Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, yang juga anggota tim, Arif Havas Oegroseno.
Ketika pembicaraan memasuki masalah ganti rugi, para utusan PTTEP Australasia menyatakan prosedurnya gampang. Pemerintah Indonesia hanya diminta menyampaikan surat resmi, dengan menyebutkan jumlah kerugian, elemen-elemen kerugian, dan bukti-buktinya. ”Itu saja,” kata Havas. Akhirnya, ”Kita resmi menyatakan akan mengajukan klaim,” Masnellyartti menambahkan.
Dalam pernyataan pers, 31 Juli lalu, Direktur dan Kepala Keuangan PTTEP Australasia Jose Martins juga menyatakan hal yang sama. Tiga hal yang akan ditidaklanjuti setelah pertemuan itu adalah kedua pihak akan bertukar informasi, pemerintah Indonesia akan segera menyerahkan klaim tertulis resmi ke PTTEPAA, dan pertukaran serta evaluasi data ilmiah yang dipunyai.
Tapi pekerjaan rumah hasil pertemuan awal yang ”gampang” itu sangat berat. Pendataan kerugian, sebagai dampak jangka pendek dan jangka panjang, harus segera dirampungkan. Juga rencana pemulihan. ”Kesepakatannya, sebulan setelah pertemuan 27 Juli, pemerintah Indonesia sudah mengajukan klaim tertulis,” kata Masnellyarti.
Menurut Havas, dalam pengajuan klaim harus diperhitungkan beberapa aspek, seperti dampak langsung, kesempatan yang hilang, dan dampak jangka panjangnya, baik untuk masyarakat maupun lingkungan. Masalahnya, hingga pekan lalu, baru satu daerah yang resmi menyerahkan laporan data kerugian, yakni Rote Ndao.
Daerah lain, yang perairan dan warganya juga terkena dampak pencemaran dan belum menyerahkan data, adalah Kabupaten Sabu Raijua, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Sumba Timur, dan Belu. ”Saya tidak tahu mengapa mereka belum menyerahkan data,” kata Ketua Tim Pencemaran Provinsi Nusa Tenggara Timur, Saver Banggung.
Untuk sementara, menurut Saver, perkiraan kerugian sekitar Rp 3 triliun. Berdasarkan laporan kerugian yang disampaikan Pemerintah Kabupaten Rote Ndao, luas perairan Pulau Rote yang tercemar mencapai sekitar 56 kilometer persegi. Nelayan yang merasakan dampak pencemaran sekitar 4.914 orang.
Hasil produksi rumput laut juga dilaporkan berkurang. Sementara pada 2008, produksi rumput laut mencapai 7.334 ton, tahun lalu cuma 1.512,5 ton. Pencemaran juga dilaporkan merusak lahan kerang mutiara. Kerusakan terumbu karang dilaporkan seluas 714 hektare.
Masnellyarti berjanji segera menyelesaikan tugas Tim Advokasi yang dijadwalkan bekerja enam bulan. ”Mudah-mudahan mereka menerima data kita dengan baik,” katanya.
Purwani Diyah Prabandari dan Yohanes Seo (Kupang)
Perjalanan Montara
21 Agustus 2009
Kilang Montara di Laut Timor meledak; tumpahan minyaknya mencemari Laut Timor.
1 September 2009
Tumpahan minyak memasuki perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia, sekitar 94 kilometer dari Pulau Rote.
September 2009
Pemerintah Indonesia mengambil sampel pencemaran di perairan Laut Timor wilayah Indonesia.
30 September-2 Oktober 2009
Pejabat Indonesia ke Darwin mengamati penanganan pencemaran oleh pemerintah Australia dan melakukan pemantauan dari udara.
Oktober 2009
Tim Nasional membahas sampel yang diambil pemerintah.
28 Oktober 2009
Pembicaraan antara Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia, Gusti Muhammad Hatta, dan Menteri Lingkungan Hidup, Warisan Kebudayaan, dan Seni Australia, Peter Garrett, membahas upaya meminimalkan dampak pencemaran.
3 November 2009
Usaha menghentikan kebocoran berhasil.
15 Juli 2010
Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran di Laut Timor dibentuk.
27 Juli 2010
Tim Advokasi bertemu dengan PTTEP Australasia dan menyatakan akan mengajukan klaim ganti rugi.
27 Agustus 2010
Pemerintah Indonesia dijadwalkan menyerahkan klaim ganti rugi resmi ke PTTEP Australasia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo