Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GANJAR Pranowo tak dikenal sebagai pria yang biasa omong jorok. Tapi, sejak lebih dari setahun lalu, Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ini rajin sekali berbicara soal ”kelamin”.
”Saya ngomongin itu thok bisa tiga jam,” kata Ganjar tentang rancangan undang-undang yang sedang dibahas di Dewan itu, Rabu pekan lalu. Sebagai Ketua Panitia Khusus, Ganjar sering berdialog dengan para anggota DPRD. ”Bisa seminggu empat kali ketemu mereka,” kata anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PDI Perjuangan itu.
Jangan salah, Ganjar hanya bicara kiasan. Ia menyindir kedudukan DPRD: wakil rakyat atau perpanjangan tangan pemerintah pusat. ”Jenis kelaminnya tak jelas,” kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu. ”Saya menyebutnya hermafrodit (berkelamin ganda).”
Menurut Awalludin, Advocacy Officer Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia, 434 DPRD kabupaten-kota dan 34 DPRD provinsi berada di ambang samar. Dulu, seiring dengan reformasi yang menuntut otonomi daerah, DPRD cukup jantan: punya kewenangan kuat menyusun anggaran, peraturan daerah, dan pengawasan eksekutifnya.
Tapi euforia reformasi juga menimbulkan instabilitas politik di beberapa daerah dan menampilkan berbagai kasus penyelewengan. Ada ribut pemakzulan kepala daerah, dan tak sedikit anggota DPRD terseret korupsi. ”Kita tidak mau yang seperti itu terulang lagi,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri Sodjuangon Situmorang.
Lalu dikebirilah semua kewenangan itu oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menempatkan DPRD sebagai subordinat pemerintah pusat. Penyusunan anggaran, pembuatan peraturan daerah, dan pengangkatan kepala daerah harus disetujui pemerintah pusat.
Tahu undang-undangnya hendak direvisi, mereka menuntut ”kejantanan”-nya dikembalikan. Ahmad Labib, Ketua DPRD Magelang, Jawa Tengah, mengatakan posisi seperti sekarang membuat anggota DPRD minder. ”Kita jadi bulan-bulanan Departemen Dalam Negeri,” katanya.
Karena tak bisa mencopot langsung kepala daerah, mekanisme pengawasan di daerah tak bertaji lagi. ”Intervensi pemerintah dalam proses legislasi daerah harus dihapuskan,” kata anggota DPRD Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, Actrice Sharon Manambe.
Selain itu, kata Labib, status anggota DPRD juga tak jelas. Mestinya anggota DPRD, sebagaimana anggota DPR, adalah pejabat negara karena keduanya toh sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. ”Paling tidak, jadikan kita ini pejabat daerahlah.”
Menurut Awalludin, selama dua tahun terakhir asosiasinya rajin mengadakan diseminasi, workshop, bahkan berhasil menyusun draf akademik ke Panitia Khusus. Lobi-lobi juga dilakukan, baik melalui asosiasi, pribadi, maupun lewat jalur partai.
Anggota Panitia Khusus dari Fraksi Partai Golkar, Hajriyanto Tohari, mengakui tuntutan dari daerah memang sangat kencang. Anggota DPRD yang juga kader partai di daerah, kata Hajriyanto, malah mengungkit-ungkit jasa mereka. Bahkan ada yang mengancam memboikot kampanye Pemilihan Umum 2009 kalau tuntutannya tak dipenuhi.
Hal yang sama dialami partai lain. ”Kita dihujat oleh pengurus daerah,” kata Ahmad Farhan Hamid, anggota Panitia Khusus dari Partai Amanat Nasional. Farhan mengatakan mestinya pemerintah tidak perlu mengurusi kewenangan DPRD, yang justru mengarah ke ranah birokrasi. Misalnya penyusunan anggaran daerah. ”Itu tak harus ke Menteri Dalam Negeri,” kata Farhan. ”Kalau pusat tidak setuju, ya, uji materikan saja ke Mahkamah Agung.”
Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo