Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1 color=#FF9900>PDI PERJUANGAN</font><br />Terkenang Wasiat di Pelabuhan Ratu

Menjelang Kongres PDI Perjuangan, nama Guruh Sukarno Putra kembali muncul. Peta belum berubah.

25 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GURUH Sukarno Putra kini berpaling kepada batu karang. Lo? ”Para petinggi partai gusar, tak ingin kenyamanannya terganggu,” kata putra bungsu Presiden Soekarno itu di kediamannya di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu. ”Hanya pada batu karang saya tambatkan kekuatan.”

Menjelang Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, April tahun ini, Guruh rupanya risau hatinya. Niatnya mencalonkan diri sebagai ketua umum partai bak melempar batu ke lubuk. Sabtu dua pekan lalu, memang ratusan simpatisan dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Bandung berhimpun dalam acara di rumahnya itu.

Tapi, nah: pernyataan bahwa dia mengantongi restu kakak-kakaknya menuai kritik. ”Saya dianggap mencatut nama Mbak Ega,” katanya, merujuk Megawati Soekarnoputri. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Bidang Politik Tjahjo Kumolo langsung menjelaskan, ”Bu Mega tak pernah memberikan restu kepada siapa pun sebagai calon ketua umum.”

Agnita Singedekane, Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Eksternal, melihat Guruh punya kemampuan. Namun bakatnya lebih ke seni dalam arti sesungguhnya, bukan seni politik. ”Mbak Mega sangat menyayangi Mas Guruh, dan tak mungkin menghalangi keinginan luhur Mas Guruh,” kata Agnita. ”Tapi, soal partai, beliau menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme.”

Akhirnya, Guruh yakin tak memerlukan restu siapa pun. ”Termasuk dari Mbak Ega,” katanya. ”Tapi ada peristiwa di dekat batu karang yang membuat saya siap maju.” Peristiwa itu terjadi hampir enam tahun silam, ketika Guruh mendampingi Megawati ”nyepi” di tepi pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.

Ketika itu PDI Perjuangan baru kalah pemilihan umum, dilangkahi Partai Demokrat, yang mengangkat Susilo Bambang Yudhoyono ke takhta presiden. Partai Moncong Putih bersiap-siap pula menyelenggarakan kongres di Bali. Sudah menjadi tradisi keluarga besar Bung Karno menghabiskan waktu di tempat itu, merenungkan hal-ihwal. ”Mas Taufiq Kiemas dan beberapa orang ikut dalam acara itu,” Guruh mengenang.

Dalam kesempatan itu, Guruh berbicara empat mata dengan kakaknya. Intinya: banyak kader partai meminta Guruh memimpin PDI Perjuangan. ”Kami berbicara di beranda, menghadap laut, hanya disaksikan batu karang,” kata Guruh. ”Saya bilang ke Mbak Ega, sudah saatnya saya memimpin partai.” Sang kakak menanggapi, ”Inget lo, Ruh, partai ini bukan milik kita, tapi milik anggota atau kader,” Guruh menirukan ucapan Megawati. ”Sebaiknya kamu turun ke bawah, galang kekuatan.”

Guruh sadar, kemampuan waktu dan koceknya tak akan menjangkau seluruh wilayah, dengan lebih dari 7.000 pengurus anak cabang. Pada November tahun lalu, muncullah surat keputusan partai yang mensyaratkan pengurus anak cabang mengisi formulir. Mereka wajib mencantumkan tiga nama kandidat Ketua Dewan Pimpinan Cabang, Ketua Dewan Pimpinan Daerah, dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat.

Surat keputusan itu ditandatangani Megawati dan Sekretaris Jenderal Pramono Anung. ”Karena ewuh-pakewuh, bisa dipastikan semua anak cabang akan menuliskan nama Megawati sebagai kandidat ketua umum,” kata Guruh. ”Aturan ini sangat tak demokratis.” Menurut dia, situasi ini sama persis dengan masa pemerintahan Orde Baru. ”Calon tunggal dan sifatnya represif,” kata Guruh. ”Padahal Mbak Mega sudah kelelahan, meski tak mungkin menolak jika dicalonkan.”

Dukungan kepada Guruh pun langsung menciut. Di Dewan Pimpinan Pusat, hanya satu orang yang mendukungnya. ”Itu pun diam-diam.” Adenan, Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Dewan Pimpinan Darah Bali, bahkan mengatakan pencalonan Guruh terlambat.

Dari sembilan dewan pimpinan cabang Bali, delapan sudah menggelar rapat kerja menjaring calon Ketua DPD dan DPP. ”Semua mendukung Megawati,” kata Adenan. Hanya cabang Tabanan yang belum, tapi hasil musyawarah seluruh anak cabang sudah menetapkan Megawati calon tunggal.

Menurut Adenan, Guruh kalah start. Namun kader partai di Bali tak akan menghalanginya bertarung di kongres. ”Justru menambah dinamika demokrasi.” Tapi anggota Dewan Pertimbangan Daerah PDI Perjuangan Bali, Ida Bagus Surjatmadja, meminta kader melihat kemungkinan lain. ”Pemimpin ada pasang-surutnya,” katanya. ”Saat ini masa surutnya Mega.”

Di Jawa Barat, mayoritas masih setia kepada Megawati. ”Aspirasi kader pada Mas Guruh tidak besar,” kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah Jawa Barat Rudi Harsa Tanaya. ”Estafet kepemimpinan partai tak semudah yang dilihat.” Fungsionaris PDI Perjuangan Jawa Barat, Agus Welianto Santoso, sempat mendengar ada tim sukses Guruh turun di Jawa Barat. ”Tapi pasti kandas karena semua mengerucut pada Bu Mega.”

Dukungan pada Guruh agak terasa di Jawa Timur. Mereka bermarkas di rumah panggung mentereng di Jalan Rangkah Buntu, Surabaya. Rumah milik Imam Suroso, bekas anggota parlemen dari PDI Perjuangan, itu menjadi posko tim sukses Guruh di Jawa Timur.

Zainal Abidin, ketua tim pemenangan Guruh, mengatakan para kader senior PDI Perjuangan yang kecewa berkumpul mendukung Guruh. ”Simpatisan pro-Megawati yang melawan PDI Soerjadi di Surabaya pada 1996 banyak yang bergabung,” katanya. ”Pak Cip (Sutjipto, mantan Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan—Red.) termasuk yang sering kita mintai masukan.”

Zainal menuding, partai kini dikuasai ”anak kos”, yang tak pernah ”berdarah” membela partai. Dia menyebut nama Pramono Anung, Tjahjo Kumolo, Theo Sjafei, Budiman Sudjatmiko, sebagai anak-anak kos itu. ”Kami yakin Mas Guruh bisa mengembalikan partai menjadi milik wong cilik,” kata Zainal, yang mengusung Guruh sejak Kongres Bali 2004.

Ketika itu, dia bercerita, dari 1.200 utusan, 912 mendukung Guruh. ”Namun tiba-tiba panitia mengubah tata cara pemungutan suara menjadi voting blok.” Guruh pun kandas. Kini Zainal dan para pendukung Guruh memperluas jaringan di seluruh Jawa Timur. Di daerah basis PDI Perjuangan seperti Kediri, Madiun, Ponorogo, dan Trenggalek mulai didirikan posko pemenangan. ”Kami melakukan ini demi perubahan, tanpa kompensasi apa pun.”

Wakil Ketua PDI Perjuangan Jawa Timur, Ali Mudji, menilai langkah Zainal dan rekan-rekannya sah-sah saja. ”Tapi mbok yang realistis, karena nama Mbak Mega sudah bulat,” katanya. Guruh sendiri tak putus asa. Pendukung tetap berdatangan ke rumahnya. ”Meski saya hanya bisa memberi nasi bungkus,” kata pendiri kelompok kesenian Swara Maharddhika itu. Paling tidak, ya itu tadi: bersandar ke batu karang.

Dwidjo U. Maksum, Rofiqi Hasan (Denpasar), Ahmad Fikri (Bandung), Kukuh S. Wibowo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus