Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA penjemput itu datang menjelang zuhur di Kampung Ciaruteun Udik, Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Selasa pekan lalu. Pemilik rumah, Bariq—bukan nama sebenarnya—keheranan menyambut ketua rukun tetangga yang tiba bersama jajaran Musyawarah Pimpinan Kecamatan Cibungbulang.
Tetamu itu meminta Bariq, penganut Ahmadiyah, ikut bersama mereka ke Masjid Al-Hasan, sekitar 200 meter dari rumahnya. ”Kata mereka, ada sosialisasi Peraturan Gubernur soal Pelarangan Aktivitas Ahmadiyah,” kata Bariq ketika ditemui Tempo, Jumat pekan lalu. Tak banyak cakap, ia berganti baju koko putih dan melangkah ke masjid.
Sampai di sana, Bariq makin bingung. Lebih dari 300 orang memenuhi masjid. Bahkan banyak wartawan, yang siap dengan kamera. Aparatur Musyawarah Pimpinan Kecamatan lengkap. Mata Bariq melihat belasan pemeluk Ahmadiyah lain telah berada di tengah masjid.
Tiba-tiba saja dia disodori selembar formulir bermeterai. Isinya benar-benar mengejutkan: kesediaan keluar dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan ”kembali ke ajaran Islam sebenarnya”.
Dipelototi unsur Musyawarah Pimpinan Kecamatan dan diliput para jurnalis, tangan Bariq gemetar. Ia menandatangani formulir. Setelah itu, ia diminta duduk berderet, menghadap pintu masuk masjid. Penganut Ahmadiyah lain pun melakukan hal sama.
Tak lama, Ketua Majelis Ulama Indonesia Desa Ciaruteun Udik Kiai Haji Ujang Acik membacakan surat pernyataan itu, yang diikuti jemaah—sebagian dengan terbata-bata. Setelah itu, mereka diharuskan mengucapkan syahadat. Dalam sekejap, Bariq dan para penganut Ahmadiyah resmi ”bertobat”.
Dari barisan ”pelaku tobat” terdengar isak tangis. Rupanya seorang anak muda berseragam SMA yang berurai air mata. Seorang penganut Ahmadiyah yang mengenal pemuda itu bercerita kepada Tempo, anak itu rupanya dijemput paksa ketika berjalan dari sekolah menuju rumah. Dia menangis bukan karena haru, melainkan lantaran tak mampu menahan bingung.
Meski ”pertobatan” terkesan ajaib, Ujang Acik membantah ikrar itu merupakan rekayasa. Justru para penganut Ahmadiyah mendatangi ketua RT dan menyampaikan keinginan keluar dari Jemaat Ahmadiyah. Sebab, pemimpin Ahmadiyah setempat, Dayat, pergi meninggalkan kampung. ”Mereka bingung tak punya pemimpin, akhirnya muncul inisiatif berikrar,” kata Ujang.
Dayat, bersama tiga pengikut Ahmadiyah, meninggalkan kampung karena rumahnya dirusak warga setempat. Perusakan itu terjadi empat hari sebelum ikrar. Ketika dihubungi Tempo, Dayat menilai tak mungkin dalam waktu kurang dari sepekan kaum Ahmadiyah Ciaruteun mau ”bertobat”. ”Itu cuma dipaksa,” katanya.
Seorang pengikut Ahmadiyah menduga pertobatan itu dilakukan terencana. Indikatornya, ada anggota Badan Pembina Desa yang mendatangi dan mendata pengikut Ahmadiyah di Ciaruteun. Komandan Rayon Militer Cibungbulang Kapten Dadi Mulyadi mengakui pendataan itu. ”Tapi itu untuk mengamankan pengikut Ahmadiyah karena sebelumnya terjadi perusakan,” ujarnya.
”SENSUS” kaum Ahmadi tak hanya digelar di Bogor. Pendataan jemaah Ahmadiyah terjadi di berbagai tempat di Jawa Barat, terutama setelah keluarnya peraturan Gubernur Jawa Barat yang melarang aktivitas Ahmadiyah pada awal Maret. Di Desa Sadasari, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, anggota Tentara Nasional Indonesia mendatangi kediaman pengikut Mirza Ghulam Ahmad itu Rabu dan Kamis dua pekan lalu.
Kusnadi, juru bicara Ahmadiyah Majalengka, mengatakan anggota Badan Pembina Desa berseragam lengkap awalnya hanya ngobrol biasa. Belakangan, mereka menanyakan kartu penduduk dan membujuk jemaah agar ”insaf”. Jika setuju, jemaah akan diberi uang. Menurut Kusnadi, operasi ini membuat jemaah—terutama kaum perempuan—merasa diintimidasi.
Di Tasikmalaya, jemaah juga didatangi anggota TNI. Ketua Ahmadiyah Tasikmalaya Atek Upriyatna mengatakan pengikut Ahmadiyah ditawari uang dan akan diberi pekerjaan jika mau berikrar. Akhirnya enam orang di Kecamatan Salawu keluar dari komunitas Ahmadi.
Berita keluarnya enam warga Salawu yang dimuat di surat kabar itu digunakan oleh tentara untuk membujuk warga Ahmadiyah di Kabupaten Garut. ”Kata petugas, mereka siap memfasilitasi kalau jemaah mau melakukan hal serupa,” kata juru bicara Ahmadiyah Garut, Kurnia Wardi.
Tentara membantah anggapan mengintimidasi jemaah. Komandan Distrik Militer Garut Letnan Kolonel Edy Yusnandar dan Komandan Resor Militer Sunan Gunung Jati Kolonel Rochiman berkilah kunjungan ke kediaman jemaah justru untuk melindungi pengikut Ahmadiyah. ”Mereka hanya mendata, tak sampai menyita kartu penduduk atau lainnya,” kata Rochiman.
TOPI korps di kepala dua perwira menengah itu berganti kopiah. Tak ada tongkat komando, melainkan sajadah yang tergenggam di tangan. Bersamaan, Kepala Kepolisian Resor Cianjur Ajun Komisaris Besar Djoko Hariutomo dan Komandan Distrik Militer Cianjur Letnan Kolonel Dwi Suharjo memasuki Masjid Al-Ghofur milik jemaah Ahmadiyah Cianjur di Jalan Muwardi, Jumat dua pekan lalu.
Ikut di belakang mereka Kepala Kejaksaan Negeri Cianjur, yang juga Ketua Badan Koordinasi Pengawasan Paham Aliran dan Kepercayaan Masyarakat, Amiek Mulandari. Bersama anak buah dan puluhan anggota Gerakan Reformis Islam Cianjur, yang dikenal sebagai penentang Ahmadiyah, mereka bersatu tujuan salat bersama.
Perdebatan sengit sempat terjadi antara jajaran Musyawarah Pimpinan Daerah dan jemaah sebelum Jumatan. Musababnya: siapa yang akan memberi khotbah dan memimpin salat? Ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia Cianjur Kota Asep Ishamudin meminta agar kelompoknyalah yang mengatur ibadah. ”Kalau mau Jumatan di sini, ya, khatib serta imamnya harus dari sini juga,” kata Asep.
Kubu pendatang berkukuh memajukan imam dan khatib dari kepolisian Cianjur. ”Ini demi kerukunan bersama,” kata Dwi Suharjo. Jadilah Ajun Inspektur Satu Sopandi berkhotbah. Ketika tiba waktu salat, kembali perdebatan terjadi. Kali ini soal siapa yang menjadi imam. Lagi-lagi pendatang yang menang. Saat rakaat pertama dimulai, satu per satu anggota jemaah Ahmadiyah memilih keluar dari masjid. ”Mungkin masih ada jemaah yang kaget dan tak terbiasa,” kata Asep.
Masuknya tentara dan polisi ke masjid Ahmadiyah di Jawa Barat ini disebut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Nurcholis sebagai bagian dari Operasi Sajadah. Termasuk di dalamnya pendataan dan bujukan keluar dari Ahmadiyah. ”Yang kami tahu, mereka mencoba mendatangi masjid dan komunitas Ahmadiyah meminta jemaah kembali pada Islam yang genuine,” kata Nurcholis.
Panglima Daerah Militer Siliwangi Mayor Jenderal Moeldoko dan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Jenderal Suparni Parto membantah adanya operasi itu. Moeldoko mengatakan hanya ada ”gelar sajadah”, yaitu salat bersama kaum Ahmadi. Moeldoko menilai komunitas Ahmadiyah masih eksklusif, sedangkan non-Ahmadiyah selalu curiga. ”Kita harus membaur dengan mereka melalui gelar sajadah,” kata Suparni.
PERISTIWA Ahad dua pekan lalu tak bisa dilupakan Endang—bukan nama sebenarnya. Warga Kampung Cimanggu III, Ciaruteun Udik, Cibungbulang, Bogor, ini tengah terlelap bersama suaminya. Tiba-tiba… praaaang… kaca jendela rumahnya pecah. Dalam bahasa Sunda, terdengar teriakan, ”Beuleum!” yang berarti: bakar. Entah mengapa, peristiwa itu tak berlanjut.
Rasa takut didatangi polisi atau tentara, dan diserang kelompok penentang Ahmadiyah, kini masih saja terus menguntitnya. Tapi ia tegas menyatakan tak akan keluar dari Ahmadiyah. ”Saya hanya mau hidup aman,” katanya.
Pramono, Amirullah (Jakarta), Diki Sudrajat (Bogor), Sigit Zulmunir (Garut-Tasikmalaya), Angga Sukma Wijaya (Bandung), Deden Abdul Aziz (Cianjur-Sukabumi), Ivansyah (Tasikmalaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo