Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUA dan kusam, empat rumah berusia lebih dari setengah abad itu kini jadi sumber keributan. Keempatnya adalah bagian dari 32 rumah di kompleks Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), Jalan Brawijaya IV, Kelurahan Pulo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Adalah bekas wakil presiden Jusuf Kalla yang menginginkan aset yang terletak di belakang rumahnya di Jalan Dharmawangsa Raya 6, Jakarta Selatan. Dengan rumah Kalla, rumah bernomor 10 A sampai D itu hanya dipisahkan parit.
Sebagai bekas wakil presiden, Jusuf Kalla punya hak untuk mendapatkan rumah dari negara. Dasarnya adalah Keputusan Presiden Nomor 81/2004 tentang pemberian fasilitas perumahan kepada mantan presiden dan wakil presiden. ”Jatah” wakil presiden, menurut keputusan itu, adalah rumah dengan harga maksimal Rp 20 miliar.
Sejumlah mantan wakil presiden seperti Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Sutrisno sudah menerima bantuan itu. Mantan presiden Megawati Soekarnoputri mendapatkan dua unit rumah yang digabungkan menjadi satu di Jalan Teuku Umar 27, Jakarta Pusat, pada pertengahan 2008. Rumah ini sebelumnya milik PT Bank Mandiri dan PT Pertamina. Adapun mantan presiden Abdurrahman Wahid lebih senang diberi ”mentah”-nya saja.
Cerita tentang ”jatah” Kalla ini pertama kali muncul dalam surat sekretaris Menteri-Sekretaris Negara Ananda Anwar kepada sekretaris Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Muhammad Said Didu pada 25 Februari 2010. Intinya, Ananda menyampaikan perihal kewajiban negara tersebut. Dalam surat itu, selain menyebut soal Keppres 81/2004, Ananda menyitir dasar hukum lain—UU No. 7/1978 tentang Hak Keuangan Administrasi Presiden dan Wakil Presiden atau Mantan Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Said Didu meneruskan permintaan itu ke Direktur Utama Peruri Junino Jahya pada 19 Maret 2010. Persoalan muncul karena Said meminta agar prosedur pelepasan tanah seluas 2.590 meter persegi itu diusulkan direksi Peruri kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara.
Dalam surat balasan pada 21 April 2010, direksi Peruri menyatakan tidak bisa memenuhi permintaan itu. Menurut Junino, yang ditemui Tempo pada Kamis pekan lalu, permintaan Kementerian BUMN itu melanggar prosedur pelepasan aset perusahaan negara seperti yang diatur Keputusan Menteri Keuangan.
Aturan itu menyatakan direksi BUMN berhak mengusulkan pelepasan aset kepada Menteri Keuangan, ”Hanya jika inisiatif melepas aset berasal dari kami,” kata bekas Deputi Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini. Sebaliknya, kalau inisiatif pelepasan aset itu datang dari pemerintah, Kementerian BUMN sebagai pemegang saham yang seharusnya memerintahkan Peruri. ”Kami tidak ingin masuk penjara karena ini,” kata Junino.
Junino mengaku ogah bernasib seperti bekas Direktur Utama PT Industri Sandang Nusantara (Persero) Kuntjoro Hendrartono, yang harus meringkuk di penjara 10 tahun. Kuntjoro divonis melakukan korupsi Rp 70 miliar dalam penjualan dua bidang tanah milik perusahaan seluas 182.900 dan 78.300 meter persegi di Bandung.
Penolakan Peruri membuat pejabat Kementerian BUMN meradang. Lima hari setelah surat Junino diterima, rapat khusus digelar di kantor BUMN. Junino dan jajaran direksi Peruri diminta datang. Sumber Tempo di Kementerian BUMN mengatakan, dalam rapat dua jam itu Said Didu mendesak Peruri meluluskan permintaan tersebut.
Said Didu, kata sumber itu, berkilah bahwa usul pelepasan aset dari Menteri BUMN akan menjadi preseden buruk. ”Bisa-bisa setiap Menteri BUMN semaunya meminta pelepasan aset milik perusahaan negara,” katanya. Namun Junino berkukuh menolak memenuhi permintaan tersebut. ”Kami tidak ingin melanggar aturan,” katanya. ”Kalau ingin aset tanah itu dilepas, silakan buat surat instruksi.”
Ditemui pada Jumat pekan lalu, Menteri BUMN Mustafa Abubakar mengaku belum mengetahui perkembangan kasus tersebut. ”Yang mengurus masalah ini Pak Said Didu,” katanya. Mustafa juga menolak menjawab alasan Kementerian BUMN memaksa Peruri mengusulkan rencana pelepasan aset tanah. ”Tanya ke Pak Said. Dia yang bikin suratnya.”
Anehnya, Said Didu menyangkal terjadi kisruh antara dirinya dan Junino. Menurut dia, sudah ada kesepakatan antara direksi Peruri dan Sekretariat Negara. ”Tinggal negosiasi harganya saja,” katanya. Menurut Said, kesediaan Peruri dibuktikan dengan surat persetujuan yang dikirimkan perusahaan pencetak uang itu ke Kementerian BUMN. ”Isinya, mereka bersedia melepas tanah itu. Tapi saya lupa kapan surat itu masuk karena sudah agak lama,” ujar Said.
Junino membantah telah terjadi kesepakatan. Malah, menurut dia, rapat direksi dengan Dewan Pengawas Peruri telah memutuskan untuk menolak permintaan pengajuan usul pelepasan tanah yang di atasnya ada empat rumah dinas itu. Permintaan Kementerian BUMN hanya diluluskan jika usul datang dari Peruri. ”Itulah isi surat yang kami kirimkan ke Menteri BUMN pada Mei lalu,” kata Junino.
Jusuf Kalla membenarkan dia menghendaki rumah tua di belakang rumahnya. Luasnya disetarakan dengan jatah Rp 20 miliar. ”Saya tak pernah memohon, itu aturan undang-undang,” kata Kalla lewat telepon seluler dari Yunani.
Kalla meminta rumah itu karena kondisinya kosong. ”Ini punya negara, lalu negara yang minta, apa persoalannya,” katanya. Tapi, dari penelusuran Tempo, rumah yang diinginkan Kalla masih dihuni karyawan Peruri.
Setri Yasra, Dwidjo U. Maksum, Isma Savitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo