Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENDARAT di dermaga satu Batam Center, kepala Asriadi berkalung perban. Dengan kapal feri Indomas III, ia datang dari Johor Bahru, Malaysia, Selasa petang pekan lalu. Pengawas perikanan Batam itu tetap berusaha tersenyum. Bersama dua sejawatnya, Erwan dan Seivo Grevo Wawengkang, Asriadi menginjak kembali bumi Indonesia.
Sejak Jumat malam empat hari sebelumnya, mereka ditangkap Polisi Diraja Malaysia di perairan Tanjung Berakit, lalu disekap di Johor. Mereka tiba didampingi Happy Simanjuntak, Direktur Pengawasan dan Sumber Daya Perikanan, serta Nugroho Aji, Direktur Pengawasan dan Pelanggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Penangkapan itu menciptakan kegusaran di sejumlah tempat. Sentimen anti-Malaysia, yang pernah bangkit dalam beberapa perkara terdahulu, kembali bangun. Di Dewan Perwakilan Rakyat pun terdengar suara garang. Banyak pula yang mempertanyakan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang tetap tenang tak terusik.
Sesaat setelah tiba di Batam, Asriadi menyatakan perban di kepalanya membalut luka akibat terbentur dinding kapal, ketika dipaksa polisi Malaysia pindah ke kapal mereka. ”Kapalnya tinggi, ombaknya juga besar,” kata Asriadi. Belakangan, Asriadi mengaku ke sejumlah orang dekatnya, luka itu akibat kena popor senjata.
Sumber di Konsulat Jenderal Indonesia di Johor menguatkan pengakuan Asriadi. Setibanya di Johor, kata sumber itu, Asriadi dilarikan ke rumah sakit karena darah terus mengucur akibat kena pukul gagang senapan.
Insiden ini bermula dari laporan nelayan ke pengawas perikanan Batam dan Karimun: lima kapal pukat harimau berbendera Malaysia masuk perairan Indonesia, Jumat pagi dua pekan lalu. Kapal-kapal itu beroperasi di perairan dekat Tanjung Berakit, Pulau Bintan, timur Pulau Batam.
Asriadi, yang menerima laporan, mengontak Hermanto, pengawas perikanan Tanjung Balai Karimun. Dia minta kapal patroli Dolphin segera dibawa ke Batam untuk patroli bersama. Lepas tengah hari, Dolphin menuju Batam. Hermanto mengajak Ridwan dan Rudi, sesama pengawas perikanan dan kelautan Tanjung Balai Karimun.
Satu setengah jam kemudian mereka tiba di Batam. Asriadi membawa dua pengawas Batam lainnya, Erwan dan Seivo. Di ujung senja, mereka mara ke timur, menuju perairan Tanjung Berakit.
Setengah jam berlayar, mereka memergoki lima kapal itu sedang menangkap ikan. Mereka membekuk tujuh nelayan Malaysia, untuk dibawa ke Batam. Ketujuhnya adalah Faisal bin Muhammad, Muslimin bin Mahmud, Lim Kok Guan, Cheng Ah Choy, Gazali bin Wahab, Roszaidy bin Akub, dan Boh Khe Soo Dum. Mereka diangkut kapal Dolphin yang dinakhodai Hermanto.
Asriadi, Seivo, dan Erwan mengawal lima kapal tadi. Baru berlayar lima mil menuju Batam, Dolphin dipepet kapal patroli Polisi Diraja Malaysia. Waktunya pukul sembilan malam. Hermanto dan kawan-kawan diperintahkan pindah ke kapal polisi Malaysia.
Sejumlah polisi Diraja mengarahkan senjata laras panjang ke Hermanto dan kawan-kawan. Kapal patroli Malaysia itu lebih besar daripada Dolphin, yang panjangnya hanya enam meter.
Hermanto menolak, sembari menyatakan kapal Malaysia telah masuk wilayah Indonesia. Polisi Malaysia menjawab dengan dua kali tembakan ke udara. ”Kami kocar-kacir,” Hermanto bercerita.
Dolphin melarikan diri ke arah mercusuar Tanjung Berakit, sedangkan kapal nelayan Malaysia yang dikawal tiga pengawas Indonesia direbut polisi Malaysia. Sejam kemudian, komandan kapal polisi Malaysia menggunakan telepon seluler Asriadi untuk mengontak Hermanto. Dia memerintahkan pelepasan nelayan Malaysia yang ditangkap kapal Dolphin, untuk ditukarkan dengan Asriadi, Erwan, dan Seivo. Hermanto menolak.
Karena tak ada kesepakatan, polisi Malaysia membawa kapal nelayan Malaysia dan tiga pengawas kelautan dan perikanan Indonesia itu ke Malaysia. Sabtu dini hari, Dolphin tiba di Sekupang, Batam.
Ternyata, polisi Malaysia menuduh pengawas kelautan dan perikanan Indonesia menculik nelayan Malaysia. Komandan polisi Kota Tinggi Johor, Superintenden Muhammad Sebot, menyatakan lima perahu yang ditangkap pengawas kelautan Indonesia itu berlayar di perairan Kota Tinggi Johor. Mereka berjumlah 15 orang. Pengawas kelautan Indonesia itu menangkap mereka saat berada di lokasi 4 mil laut tenggara Tanjung Pungga, Johor. Itu terjadi Jumat dua pekan lalu, sekitar pukul 09.45.
Osman menyatakan hampir satu jam kemudian datanglah patroli polisi laut Malaysia. Mereka memergoki lima perahu nelayan sedang mengarah ke perairan Indonesia bersama kapal milik otoritas Indonesia. Patroli polisi Malaysia, kata Osman, menyuruh berhenti kapal pengawal kelautan Indonesia. Tapi perintah ini justru disambut dengan mempercepat laju kapal menuju perairan Indonesia.
Polisi Malaysia lalu menginspeksi lima perahu nelayan itu dan menemukan tiga pengawas perikanan Indonesia berseragam bersama delapan nelayan Malaysia. Petugas Indonesia saat itu tidak dilengkapi senjata. ”Tujuh nelayan dibawa di perahu petugas Indonesia menuju perairan Indonesia,” kata Osman, seperti dikutip The Star, koran terbitan Malaysia, Ahad pekan lalu. Polisi Malaysia kemudian menangkap tiga pengawal laut Indonesia itu dan membawa lima perahu nelayan itu ke Pos Polisi Pangerang di Johor.
Ajun Komisaris Besar Mohammad Yasin, Direktur Kepolisian Air Sekupang, sempat menghubungi polisi Malaysia di Johor, agar segera melepaskan Asriadi, Erwan, dan Seivo. Yasin menyatakan, jika ketiga orang itu tak segera dilepas, dampaknya bisa buruk. Jawaban yang diterima Yasin, ”Harus melalui penyelesaian G to G.”
Kementerian Kelautan dan Perikanan segera mengutus Happy Simanjuntak, Direktur Pengawasan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Happy menggambarkan, perundingan berlangsung alot. Sempat terjadi ketegangan di kantor polisi Kota Tinggi, Johor, antara Happy dan kepala polisi di sana.
Menurut Happy, sebetulnya pada Senin siang pekan lalu, Asriadi, Erwan, dan Seivo sudah bisa bebas. Namun Malaysia meminta Happy menunggu. Tapi, hingga pukul sepuluh malam, Asriadi dan teman-temannya belum juga dibebaskan. Alasannya, para polisi masih mengurus kunjungan menteri besar Kesultanan Johor.
Happy menggebrak meja. ”Lepaskan segera warga saya!” ia menyergah. Tak lama kemudian, berkas pembebasan Asriadi dan teman-temannya diproses. Setelah bebas, mereka dijemput Minister Counselor Konsulat Jenderal Johor Bahru Suryana Sastradiredja, Selasa pagi pekan lalu.
Barulah sehari setelah pembebasan, pemerintah Indonesia mengirim nota diplomatik kepada Malaysia. ”Intinya berisi protes pemerintah Indonesia atas pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia,” kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Rabu pekan lalu. Marty menyatakan lokasi kejadian merupakan wilayah Indonesia.
Namun Malaysia juga punya klaim di wilayah yang sama. Klaim Indonesia didasarkan atas Peta Nomor 349 Tahun 2009, sedangkan Malaysia atas dasar peta yang lebih tua, keluaran 1979.
Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman mengatakan kedekatan geografis Indonesia dan Malaysia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seringnya terjadi gesekan. ”Semua diselesaikan dengan cepat dan baik,” katanya. Cuma, kepala Asriadi telanjur bocor.
Sunudyantoro (Jakarta), Rumbadi Dalle (Batam), Masrur (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo