Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"Kalau saya intel ..."

Syarifin maloko, 32, dosen ptdi bersama oesman hamidi, yayan hendrayana, abdul q. jaelani, ratono menolak ruu keormasan. jaksa menuduhnya merongrong pancasila. lbh tak bersedia membelanya. (nas)

18 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEPAT dua puluh lima bulan sesudah Peristiwa Priok terjadi, Syarifin Maloko diadili, Senin pekan ini. Lewat kaca mata minus seperempatnya, pria asal Flores itu menatap tajam majelis hakim yang dipimpin Soenjoto. "Saya minta sidang ditunda sebulan," ujar Maloko. Ia tetap bersikeras meminta penundaan ketika jaksa mencoba "menawar"sekadar membaca dakwaan. Pasalnya, hingga pukul 9.15, saat sidang dibuka, tak seorang pembela pun hadir di ruang Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diisi pengunjung lebih dari 50 orang itu. Sidang memang akhirnya berlangsung tak lebih lima menit, dan hakim menunda sidang hingga Sabtu pekan ini. Kesempatan bagi Maloko untuk mencari pengacara. Perkara Syarifin Maloko, 32, memang tak tergolong enteng. Pria berkumis dan berjenggot lebat ini oleh jaksa dituduh merongrong Pancasila dan menyebarkan rasa permusuhan atau kegelisahan di masyarakat luas. Maloko bersama, antara lain, Almarhum Amir Biki dan Ratono, dituding telah membakar massa hingga menyerbu kantor Polres dan Kodim Jakarta Utara, 12 September 1984, yang kemudian terkenal dengan Peristiwa Priok itu. Konon, Syarifin, pada malam kejadian itu ikut berpidato membuat massa yang hadir di sepanjang Jalan Sindang, Tanjungpriok, Jakarta Utara, terbakar emosinya. Syarifin, pada malam Peristiwa Priok yang menurut Jenderal L.B. Moerdani menimbulkan korban 30 orang tewas -- antara lain mengucapkan, "Bila kamu berjumpa dengan manusia-manusia kafir yang memerangimu, maka haram hukumnya berpaling dari serangan yang mereka lakukan terhadap umat Islam." Selain pidato di Jalan Sindang itu, Maloko juga dituding telah melakukan enam ceramah serupa di kawasan Tanjungpriok, yang berlangsung Juni hingga September dua tahun silam. Misalnya, 7 Agustus di Masjid Al Huda, ia mengatakan, "Berkoar menepuk dada, ini gue Pancasila sejati, terus lu makan Pancasila itu sampai mampus." Adalah Syarifin, yang bersama dengan sejumlah orang, di antaranya Oesman Hamidy, Rektor PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam) Priok, Yayan Hendrayana, Abdul Qadir Jaelani, Ratono, menandatangani Ikrar Umat Islam Jakarta yang menolak asas tunggal Pancasila dan RUU keormasan, siang hari sebelum kasus Priok terjadi. Syarifin Maloko kini dalam posisi sulit. Kabarnya, ia dikenai tuduhan subversi oleh jaksa, yang hukuman maksimumnya: mati. Justru pada saat yang menentukan ini, nasibnya terkatung-katung. Sebab, hingga sidang awal pekan ini tak jelas siapa penasihat hukum yang akan mendampinginya. Ia masih menyebut LBH. Tetapi Senin siang pekan ini LBH mengirim surat kepada sarjana hukum Universitas Ibnu Khaldun itu bahwa mereka tak ada tenaga untuk tugas itu. "Kasus yang kami tangani banyak, sedangkan kami hanya mempunyai enam orang pembela umum," ujar A. Hakim Nusantara, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Agaknya, kekurangan tenaga bukan satusatunya alasan terpenting untuk tidak membela Syarifin. "Kita tak yakin bahwa dia berjuan untuk keyakinannya," ujar Buyung Nasution. Menurut pengacara beken itu, LBH berprinsip, "Kita bisa tak peduli membela orang karena keyakinannya. Apa keyakinan itu politik Islam, bahkan komunis. Kalau mereka yakin, kita juga bersemangat. Tetapi kalau si orang itu tidak begitu yakin akan keyakinan politiknya sendiri, ya ... lebih baik tidak," ujar Buyung, yang kala sidang Dharsono awal tahun ini berkali-kali meminta hakim menghadapkan Syarifin ke pengadilan. Beberapa kalangan menilai Syarifin bermuka dua. Artinya, kehadirannya di Priok justru di"susup"-kan untuk memperkeruh suasana. Misalnya, mengapa dosen PTDI Priok yang berceramah keras dan mengumpat-umpat pemerintah secara terbuka, tiga bulan sebelum Peristiwa Priok terjadi itu, tak segera diamankan. Juga waktu pelariannya yang cukup lama dan bahkan sebelum ia tertangkap Agustus lalu, ia sempat muncul sebagai penceramah dalam berbagai kesempatan di Merak, Jawa Barat. Pelacakan memang tak semudah yang dikira orang. Namun, yang jelas, Syarifin kini mempunyai bayi yang berusia 10 bulan. Artinya, orok itu merupakan produksinya 19 bulan lalu, saat ia dalam status pelarian. Baik tuduhan jaksa maupun pandangan negatif beberapa kalangan ditolak Syarifin. "Tuduhan itu tak benar semua," ujarnya. Misalnya, "Pada malam kejadian itu saya hanya muncul empat menit, dan kehadiran saya diminta Amir Biki," ujar Syarifin. Tentang tuduhan bermuka dua itu, "Kalau saya intel, 'kan hidup saya enak." Ia telah menjual habis barang-barangnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus