H.R. Dharsono mesti menunggu lima tahun lagi untuk dapat berkumpul kembali dengan keluarganya. Pekan lalu, keluar keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi bekas Sekjen ASEAN itu. Artinya, Dharsono harus merampungkan masa tahanannya yang tujuh tahun dan dijalaninya dua tahun, terhitung sejak ditahan Oktober 1984. Adalah PN Jakarta Pusat, Januari lalu, yang memvonis Dharsono 10 tahun penjara. Bekas Pangdam Siliwangi itu dinyatakan terbukti bersalah melakukan delik politik yakni tindak pidana subversi. Dharsono, 61, salah seorang yang ikut membidani lahirnya Orde Baru, dinilai telah melakukan kontrol sosial dengan cara yang salah. Ia dianggap mempraktekkan gaya demokrasi liberal yang tak disalurkan melalui cara konstitusional, sehingga membawa dampak negatif bagi persatuan dan kesatuan. Karena itu, dari tuntutan jaksa 15 tahun, hakim kemudian menghukum Dharsono 10 tahun penjara. Dharsono naik banding, juga jaksa. Empat bulan setelah vonis, Pengadilan Tinggi Jakarta akhirnya meringankan putusan itu menjadi tujuh tahun. Alasannya, "Demi keadilan, serta memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat korektif, preventif, dan edukatif," ujar Parman Suparman, salah seorang hakim tinggi, kepada TEMPO pertengahan Mei lalu. Tapi, kini, Mahkamah Agung "Menilai tak ada alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi itu," ujar Adi Andojo Sutjipto salah seorang hakim agung, kepada pers. Dharsono menganggap, "Mahkamah Agung menghukum orang yang tak bersalah." Ia juga menilai putusan itu tidak adil karena teap menggunakan UU Subversi sebagai acuannya. Jadi, kecewa dengan penolakan itu? "Kalau keputusannya begitu, ya, mau apa?" kata Dharsono, yang mengaku belum menerima keputusan MA itu hingga akhir pekan lalu. Upaya hukum untuk meringankan Dharsono memang belum sepenuhnya tertutup. "Ia dan penasihat hukumnya dapat mengajukan peninjauan kembali (herziening), atau bisa mohon grasi," katanya. Penolakan kasasi oleh MA tadi dianggap Dharsono, "Sudah tak ada lagi upaya hukum, sekarang." Keputusan itu bagi dia, "Ya berarti sudah selesai. Tapi tidak berarti saya menerima. " Mohon grasi ? "Saya tak akan minta grasi," ujar Ton, yang merencanakan menulis buku berjudul Robot-Robot di Indonesia itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini