PERDEBATAN masalah hak-hak asasi manusia bukan hanya sekarang
saja terjadi di negeri ini.
1945: Para anggota penyusun UUD 45 telah memperdebatkan hak-hak
ini yang waktu itu disebut sehagai "the right of the Citizens".
Bung Karno misalnya, menolak dimasukkannya pasal yang menyangkut
hak-hak ini. Alasan: hak-hak ini mewakili paham individualisme
dan bertentangan dengan paham kekeluargaan yang mendasari UUD
yang sedang dirancang. Bung Hatta, Soepomo dan juga Moh. Yamin
memandang perlu dimasukkannya pasal-pasal itu, supaya kedaulatan
rakyat terjamin dan untuk menjaga jangan sampai pemerintah
bertindak sewenang-wenang. Dicantumkannya hak-hak ini, kata Bung
Hatta tanggal 15 Juli 1945 itu, adalah untuk menjaga supaya
negara yang akan didirikan itu jangan menjadi negara kekuasaan,
negara penindas.
Kompromi terjadi dengan tercantumnya beberapa pasal hak-hak
asasi dalam UUD 45.
1950-an: Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia PBB tanggal 10 Desember
1948 agaknya mempengaruhi penyusun UUDS 1950, hingga dalam UUDS
ini tercantum 27 pasal yang jelas diilhami oleh Deklarasi PBB
tersebut.
Tapi sebagai anggota PBB, dari 16 konvensi dan protokol PBB
mengenai pelaksanaan Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia, hanya satu
yang kemudian ditandatangani Indonesia, yakni mengenai Hak-Hak
Politik Wanita.
Di tahun 1955 ada kemajuan. Komunike Bersama Konperensi
Asia-Afiika di Bandung tahun 1955 menyebutkan pengakuan tentang
kemerdekaan menyatakan fikiran dan pendapat.
1960-an: Kemudian terbukti bahwa dicantumkannya pasal-pasal yang
menjamin hak-hak asasi warganegara dalam UUD 45 tidak menjamjn
dilaksanakannya hak-hak tersebut oleh penguasa. Ini terjadi di
zaman Orde Launa.
Maka MPRS di tahun 1966 memhentuk suatu Panitia, yang diketuai
Mashudi. Tugasnya: mempersiapkan suatu Rancangan Ketetapan
(Rantap) Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta hcwajihan
Warganegara, antara lain berdasar pertimbangan bahwa UUD 45
tidak mengatur secara lenkap asasi manusia ini.
Rantap ini dimaksudkan dalam kata-kata A.H. Nasution, ketua MPRS
waktu itu, "untuk menjaga aturan permainan". Panitia Mashudi, di
mana semua fraksi terwakili (ABRI, partai-partai dan Golkar),
menyiapkan rantap ini. Kemudian Badan Pekerja MPRS
menyetujuinya. Rantap ini kemudian diajukan dalam Sidang MPRS V
tahun 1968.
Sidang Dengan 30 Batalion
Sidang MPRS 1968 berlangsung seret, dalam keadaan kritis. 30
batalion dikerahkan untuk pengamanannya. 27 Maret, terjadi
semacaln krisls. Komisi I (politik), II (haluan negara) dan III
(hak-hak asasi) macet, sedangkan Pd. Presiden telah menentukan
esok harinya akan berangkat ke Jepang.
Sesudah pertemuan beberapa jam, tercapai persetujuan, hingga
pelantikan Presiden dapat dilaksanakan malarm itu juga. Tetapi
kemacetan Komisi II dan III tidak berhasil diatasi. Pemungutan
suara tidak bisa dilangsungkan karena fraksi ABRI, Karya dan
beberapa fraksi lain tidak bersedia melakukannya. Fraksi Karya
Pembangunan sebagai fraksi terbesar dan lahir setelah perombakan
susunan keanggotaan MPRS oleh Superscmar, malahan menginginkan
agar soal ini ditugaskan saja pada MPRS hasil pemilu yang
berikutnya. Dan gagallah kemudian usaha untuk menjamin
pelaksanaan hak-hak asasi manusia di Indonesia melalui suatu
piagam.
Dilihat dari materinya, Rantap ini telah disesuaikan dengan
kondisi Indonesia. Tidak ada misalnya lagi pasal yang menyebut
tentang kebebasan berpindah agama seperti Deklarasi PBB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini