Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUMUMAN itu tertempel di pagar markas pemenangan pasangan calon gubernur Alex Noerdin-Nono Sampono, di seberang bioskop Metropole, Jakarta Pusat. Bunyinya, "Hari ini adalah kesempatan terakhir untuk penyelesaian pembayaran honor tahap kedua". Hingga Kamis petang pekan lalu, antrean masih mengular di rumah milik Titiek Soeharto itu.
Di bawah pengumuman tersebut tertempel kertas lain: daftar nama komunitas yang hari itu dijadwalkan menerima honor. Komunitas itu antara lain Muslimat Nahdlatul Ulama, Pemuda Panca Marga, Persatuan Purnawirawan Angkatan Laut, dan Keluarga Tanah Abang.
Pembagian honor relawan sudah berjalan sebelum masa kampanye dimulai. Sunarto, salah seorang relawan, bercerita ia mendapat giliran sekitar tiga pekan lalu. "Saya mendapat kartu asuransi dan uang Rp 150 ribu," kata pedagang buah di pasar Manggarai itu kepada Tempo. Kartu berwarna kuning menyala—warna Partai Golkar, yang mengusung Alex—itu bernilai Rp 5 juta.
Sebelum menyerahkan uang dan kartu asuransi, panitia memberi pengarahan kepada mereka yang datang soal hari pencoblosan pada 11 Juli, tata caranya, dan gambar mana yang harus dicoblos. Tentu gambar pasangan Alex-Nono bernomor urut 3. Relawan juga diimingi-imingi hadiah: mulai mobil, sepeda motor, uang Rp 90 juta, hingga paket umrah jika merekrut paling banyak.
Tim sukses mengklaim pemberian hadiah, uang, dan asuransi hanya untuk relawan, sehingga tidak bisa disebut politik uang. Tapi kenyataan di lapangan lain lagi. Ketika berdialog dengan masyarakat di lapangan voli Jalan Akasia, Cengkareng, Jakarta Barat, Alex menawarkan lima unit kulkas. Tentu kulkas tak diberikan percuma: ada kuis yang harus dijawab tepat.
Sebelumnya, pasangan ini membagikan amplop berisi uang santunan plus asuransi senilai Rp 5 juta untuk seratus anak yatim di wilayah Ulujami, Jakarta Selatan. Asuransi yang sama juga dibagikan kepada masyarakat yang hadir di kampanye keduanya di kawasan Cilincing, Jakarta Utara.
Ada saja cara yang dipakai calon gubernur untuk "menyelundupkan" rupiah kepada calon pemilihnya. Ketika berkampanye di Pasar Jongkok, kawasan Semper, Jakarta Utara, Joko Widodo membeli lima papan tempe. Bukannya membayar dengan harga normal, Jokowi malah menyerahkan Rp 100 ribu kepada si penjual, tanpa kembalian.
Pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) lain lagi. Seseorang yang diduga sebagai anggota tim sukses calon dari Partai Demokrat itu membagikan stiker bergambar Foke-Nara ke rumah-rumah di Kelurahan Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur. Yang bersedia memasang stiker diberi imbalan Rp 100 ribu.
Di Ciracas, Nachrowi dilaporkan karena memberikan uang kepada ibu-ibu PKK ketika berkampanye. Ketua Panitia Pengawas Pemilu Jakarta Timur Hendri Basri mengatakan ibu-ibu tersebut ketika itu menyanyikan lagu Iwak Peyek dengan sebagian lirik sudah diubah untuk mendukung Foke-Nara. Nachrowi rupanya terhibur, dan memberikan uang Rp 300 ribu kepada ajudannya. Oleh sang ajudan, uang itu disawerkan ke ibu-ibu tersebut.
Tim sukses Foke-Nara sudah diingatkan oleh anggota Panwaslu. Laporan tentang ini juga sedang dikaji. "Tim sukses beralasan, memberi saweran merupakan bagian dari kultur masyarakat setempat," kata Hendri.
Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu Wahyu Dinata mengatakan pemberian hadiah atau door prize sebenarnya cara tim sukses mengakali larangan money politics. Padahal, menurut Wahyu, money politics bukan hanya masalah duit. Sesuatu yang bisa dikonversi menjadi nominal tertentu bisa dikategorikan money politics jika diberikan pada masa kampanye. "Termasuk door prize, kerudung, sembako, dan lainnya."
PEMBERIAN honor dan hadiah kepada relawan sudah dilakukan banyak calon sebelum masa kampanye dimulai. Tim pasangan Hendardji Soepandji-Ahmad Riza menyiapkan asuransi untuk saksi yang jumlahnya sekitar 15 ribu orang. Ketua tim media pasangan ini, Karel Susetyo, tak menyebutkan angkanya. "Itu bukan bagian dari politik uang," katanya.
Ia berdalih, asuransi adalah bentuk penghargaan dan perlindungan untuk kerja relawan. Bentuk penghargaan itu juga dinilainya proporsional. Yang terpenting, asuransi diberikan terbatas pada relawan saksi, berbeda dengan politik uang yang bersifat masif.
Pernyataan Karel dibenarkan oleh Ramdansyah, Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Ia menilai uang saku yang diberikan calon kepada para relawan atau tim sukses itu sah. Alasannya, kegiatan bagi-bagi uang itu urusan internal calon, dilakukan di posko, dan di luar masa kampanye. Panitia Pengawas tak melarang karena setiap calon mesti menyiapkan dua saksi untuk 15.029 tempat pemungutan suara. "Meskipun tetap saja beda-beda tipis dengan politik uang," kata Ramdansyah.
Bagi-bagi uang dilarang, tapi pemberian ongkos tak apalah. Begitu rupanya pemikiran para calon. Penelusuran Tempo menemukan tim sukses pasangan Foke-Nara di kawasan Tanah Abang aktif merekrut pengurus rukun tetangga dan rukun warga menjadi tim sukses. Salah satu tim sukses di kawasan Kebon Melati, Tanah Abang, yang dikenal sebagai anggota Forum Betawi Rempug, mengumpulkan para pengurus itu di salah satu RW, dua pekan lalu.
Mereka yang bergabung diberi Rp 500 ribu per orang. Tapi yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil dilarang ikut. Insentif ini sebagai imbalan memasang spanduk pasangan Foke-Nara serentak di wilayah mereka, tepat sehari sebelum masa kampanye dimulai. Tim sukses lain menyebutnya sebagai "serangan fajar".
Tim pemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) punya program kuis di empat radio: Kiss FM, Bens Radio, Mustang, dan RKM. Kuis berisi pertanyaan seputar Jakarta dan sosok Jokowi-Ahok itu ditayangkan 50 episode di tiap radio. Pendengar yang menelepon dan menjawab dengan tepat mendapat hadiah Rp 200 ribu. "Penggagasnya Hasan Hasbi, Direktur Cyrus Network," kata M. Taufik, Ketua Partai Gerindra, yang menjadi Ketua Tim Sukses Jokowi.
Cyrus Network adalah lembaga survei yang mengkoordinasikan relawan untuk Wali Kota Solo itu. Hasan mengatakan kuis itu tak melulu soal pasangan yang didukungnya. Dari empat tahapan kuis, tiga tahap pertama justru berkisar tentang Jakarta dan pemilihan kepala daerah. Baru di sesi paling akhir keluar pertanyaan-pertanyaan seputar Jokowi-Ahok.
Biayanya sekitar Rp 300 juta, sebagian disumbang oleh relawan. Sebagian didapat dari hasil menjual baju kotak-kotak di Mal Ambassador. Toko yang mereka sewa di mal itu, kata Hasan, memiliki omzet Rp 350 juta sebulan.
Aturan tentang larangan politik uang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Juga pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, yang menggantikan peraturan sebelumnya. Larangan ini juga ada di Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pelaksanaan Pemilukada.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan, mengatakan dimensi politik uang dalam pilkada seharusnya mencakup semua tahapan. Pemberian uang atau barang sebelum masa kampanye juga bisa masuk kategori ini. "Tidak hanya saat kampanye," katanya. "Pelaku yang dapat dijerat siapa saja. Tidak harus anggota tim sukses."
Kartika Candra, Gustidha Budiartie, Nur Alfiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo