Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memburu Petrus Van Papua

Dalam sebulan terakhir, sejumlah penembakan gelap meresahkan Papua. Organisasi prokemerdekaan dituduh.

2 Juli 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKAN pertama Juni lalu, tiga jam sebelum tengah malam, Arwan Apuan duduk santai di sadel sepeda motornya. Setiap malam, pria 30 tahun yang sehari-hari pegawai negeri sipil di markas Komando Daerah Militer (Kodam) Cenderawasih, Jayapura, itu memang nyambi menjadi tukang ojek.

Daerah tempat Arwan menunggu penumpang dikenal ramai pada malam hari. Lokasinya persis di depan kantor Wali Kota Jayapura. Selain Arwan, ada sejumlah tukang ojek yang rutin menjajakan jasanya di sini.

Mendadak seseorang menepuk bahu Arwan. Si calon penumpang minta diantar ke permukiman di belakang kantor wali kota. Setelah tawar-menawar harga, Arwan menghidupkan mesin sepeda motornya. Tak ada yang menyangka itulah saat terakhir kawan-kawannya melihat Arwan dalam keadaan hidup.

Tak sampai seperempat jam setelah Arwan meninggalkan kantor wali kota, satu letusan terdengar mengejutkan. Leher belakang kiri pria itu tertembus peluru. Darah mengucur deras. Petugas jaga di Markas Kodam, yang tak jauh dari lokasi insiden itu, melarikan Arwan ke Rumah Sakit Marthen Indey. Tapi terlambat. Dinihari itu, Arwan mengembuskan napas terakhir.

Penembakan Arwan merupakan bagian dari mata rantai kekerasan beruntun di Papua sejak akhir tahun lalu. Entah ada hubungannya entah tidak, penembakan misterius mulai rutin terjadi pascapembubaran Kongres Rakyat Papua di Lapangan Zakeus, Padang Bulan, pada pertengahan Oktober tahun lalu. Ketika itu dua aktivis kemerdekaan Papua tewas.

Sejak itu, hampir setiap bulan ada korban penembakan. Polanya hampir serupa. Korban biasanya tukang ojek dan tembak­an selalu dilakukan dari belakang. Pada 10 Juni lalu, misalnya, hanya berselang empat hari setelah Arwan tewas, seorang tukang ojek lain ditemukan tak bernyawa.

Kali ini korban bernama Tri Surono, perantau asal Ngawi, Jawa Timur. Petugas satuan pengamanan Universitas Cenderawasih, Jayapura, ini juga mengojek pada malam hari. Sama seperti Arwan, leher Surono ditembak dari belakang.

Sepekan kemudian, tukang ojek lain, Arkilaus Refwutu, 48 tahun, juga mengalami nahas serupa. Dia ditembak di Kampung Yalinggua, Mulia, Puncak Jaya. Peluru juga ditembakkan dari belakang.

Selain tukang ojek, warga biasa yang kebetulan lalu-lalang di jalan raya pada malam hari kerap jadi sasaran penembakan gelap. Biasanya penembakan terjadi di atas pukul sembilan malam. Sejak awal Juni lalu, tiga insiden penembakan misterius terjadi di jalan raya Jayapura.

Sasaran penembakan juga beralih ke warga negara asing. Pada akhir Mei lalu, seorang wisatawan Jerman ditembak di Pantai Base, Jayapura. Dietmar Pieper, pria 55 tahun itu, sedang berjalan-jalan bersama istrinya ketika ditembak dari belakang.

Polisi tentu tak tinggal diam. Sejumlah saksi diperiksa intensif. Seorang kolega Arwan, Sertu Eko, misalnya, mengaku sempat melihat wajah penumpang terakhir Arwan. Kebetulan sang sersan juga nyambi mengojek di kantor Wali Kota Jayapura. Dia ada di sana pada malam ketika Arwan tewas.

"Penumpang itu tingginya sekitar 170 sentimeter, orang Papua," kata Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Papua Ajun Komisaris Besar Johannes Nugroho Wicaksono. "Penampilannya rapi, wajahnya tanpa kumis dan jenggot." Keterangan detail itu, menurut Johannes, diperoleh dari kesaksian Eko. Ini dibenarkan Kepala Kepolisian Resor Jayapura Ajun Komisaris Besar Alfred Papare. "Tapi itu baru ciri-ciri fisik penumpang terakhir korban. Dia belum tentu pelaku," katanya.

Polisi juga mengantongi hasil uji balistik peluru-peluru yang digunakan menebar teror di Papua. Menurut Alfred, sebagian proyektil peluru itu berasal dari pistol jenis Revolver Taurus kaliber 38 milimeter. "Senjata itu tercatat sebagai milik seorang polisi dari Polres Keerom, yang dilaporkan hilang dicuri pada 2010," katanya.

Berdasarkan semua bukti dan saksi itulah polisi berusaha mencokok Ketua I Komite Nasional Papua Barat Mako Tabuni pada 14 Juni lalu. Tabuni dinilai berperan dalam serangkaian aksi penembakan. Dalam rangka penyidikan pula polisi menggeledah sekretariat Komite Nasional. Di sana, mereka menemukan sejumlah senjata tajam dan bendera Bintang Kejora.

Sayangnya, upaya penangkapan Tabuni berakhir tragis. Polisi mengklaim pemuda itu berusaha melawan ketika hendak ditangkap. Tanpa ampun, penyidik menembaknya hingga tewas. Kematian Tabuni belakangan memicu kerusuhan di Jayapura.

Aparat keamanan berkeras rencana penangkapan Tabuni tak ada hubungannya dengan kegiatan politik aktivis itu. "Senjata yang ditemukan di tas Tabuni sama dengan senjata yang diduga dipakai pelaku penembakan," kata Alfred Papare.

Sejumlah aktivis Komite Nasional lain juga jadi sasaran penyidikan. Wakil Kepala Polda Papua Brigadir Jenderal Paulus Waterpauw menyatakan polisi sudah menangkap tiga tersangka. Mereka adalah Calvin Wenda, Jefry Wandikwo, dan Zakeus Wakla. "Ketiganya anggota Komite Nasional Papua Barat," kata Paulus.

Pengumuman Paulus itu mengindikasikan upaya polisi mengaitkan rangkaian penembakan misterius di Papua dengan aktivitas Komite Nasional Papua Barat. Komite yang berdiri pada 1961 itu memang selama ini getol mendorong referendum baru untuk menentukan nasib Papua.

"Itu memang skenario polisi untuk mengambinghitamkan kami," kata juru bicara Komite Nasional, Warpo Wetipo. Dia berkeras Komite Nasional tak punya agenda mengacaukan keamanan Papua. "Mako Tabuni jelas bukan pelaku penembakan misterius ini," katanya tegas.

Satu sumber Tempo di Jayapura membenarkan klaim Warpo. Menurut dia, penembakan gelap di Jayapura pasti dilakukan oleh mereka yang terlatih menggunakan senjata api. "Buktinya, pelaku punya nyali menembak orang di perkotaan dan tidak takut meski banyak orang bisa melihat," katanya. Dia lalu menuding pelaku penembakan adalah bagian dari militer Indonesia sendiri, yang lepas kendali dari markas besarnya di Jakarta.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Marsekal (Purnawirawan) Djoko Suyanto langsung merilis bantahan. "Jangan percaya isu murahan macam itu," katanya lewat pesan pendek pekan lalu. Dia juga menampik kabar bahwa pemerintah sudah menerjunkan tim khusus untuk membereskan operator militer yang mengacau di Papua. "Itu fitnah dari mana?" ujarnya.

Sekretaris Desk Penyelesaian Masalah Papua di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Sumardi memberi penjelasan yang lebih mendetail. Menurut dia, eskalasi kekerasan di Papua bermotif politik. "Pelakunya ingin membuat kesan Papua tidak aman," katanya, Jumat pekan lalu.

Jika Papua dianggap tidak aman, kata Sumardi, kelompok prokemerdekaan di sana akan diuntungkan. "Setidaknya akan ada perhatian dari dunia internasional dan organisasi hak asasi manusia," katanya.

Fanny Febiana (Jakarta), Tjahjono E.P. (Timika), Jerry Omona (Jayapura)


Penembakan tanpa Henti

Kekerasan memuncak di Papua tiga pekan terakhir ini. Sejak Kongres Papua III berakhir ricuh pada 19 Oktober tahun lalu, rangkaian penembakan gelap terus terjadi setiap bulan. Korbannya sebagian besar warga sipil, yang ditembak dari belakang.

23 Juni 2012
Brigadir Satu Mujahidin ditembak di Mile 42 Freeport pada pukul 14.42 WIT ketika menjaga pos.

17 Juni 2012
Arkilaus Refwutu, 48 tahun, tukang ojek di Kampung Yalinggua, Mulia, Puncak Jaya, ditembak.

14 Juni 2012
Mako Tabuni tewas ditembak polisi ketika hendak ditangkap di rumah susun sederhana sewa Perumnas III, Waena, Abepura.

10 Juni 2012
Tri Surono, tukang ojek asal Ngawi, Jawa Timur, yang sekaligus bertugas sebagai satpam di Universitas Cenderawasih, ditembak di halaman kampus sekitar pukul 21.15 WIT.

23 Juni 2012
9 Juni 2012
Asep dan Siska lolos dari penembakan di jalan raya Soasiu.

6 Juni 2012
Arwan Apuan, pegawai negeri sipil di Kodam XVII/Cenderawasih, ditembak di leher kiri tembus rahang kiri sekitar pukul 21.10 WIT di Jalan Baru, belakang kantor Wali Kota Jayapura.

5 Juni 2012
Tiga penembakan terjadi sekitar pukul 22.00 WIT. Kopral Satu Frengky Kune, 25 tahun, ditembak di Jayapura. Sedangkan Iqbal Rivai, 22 tahun, dan Hardi Jayanto, 22 tahun, ditembak di Jalan Sam Ratulangi.

4 Juni 2012
Gilbert Febrian Madika, 16 tahun, ditembak di jalan raya Jayapura-Abepura, Kota Jayapura, ketika mengendarai sepeda motor di daerah Skyline pada pukul 21.30 WIT.

29 Mei 2012
Dietmar Pieper, 55 tahun, ditembak sekitar pukul 11.30 WIT. Selain itu, pada hari yang sama, Anton Arung Tambila, 36 tahun, guru sekolah dasar asal Toraja, tewas di tempat setelah mengalami luka tembak di kepala.

8 Maret 2012
Prada La Ode Alwi, anggota Tentara Nasional Indonesia dari Satuan Tugas Batalion Infanteri 753 Nabire, ditembak di Mulia, Kabupaten Puncak Jaya.

9 Februari 2012
Benny Yamamo ditembak di bagian dada dan Piter Tumoka ditembak di bagian kaki di Mile 37 area PT Freeport Indonesia.

20 Januari 2012
Kismarovit, 29 tahun, tewas ditembak di ujung Bandar Udara Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua.

22 November 2011
Abubakar Sidik, karyawan PT Freeport, ditembak di bagian lengan di Mile 51 sekitar pukul 13.35 WIT.

24 Oktober 2011
Kepala Kepolisian Sektor Mulia, Puncak Jaya, Ajun Komisaris Dominggus Awes tewas ditembak di bagian kepala di area Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua.

19 Oktober 2011
Kongres Papua III berakhir ricuh setelah polisi masuk ke arena kongres di Lapangan Zakeus, Padang Bulan. Daniel Kadefa dan Maxsasa tewas dalam kerusuhan. l

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus