Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

1993: suasana baru? kali ini tak semulus dulu

Wawancara tempo dengan rudini tentang sidang umum mpr, pemilihan presiden, kriteria wakil presiden, demokrasi liberal, dan porsi kepala daerah yang abri.

2 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Dalam Negeri Rudini, 63 tahun, berpendapat wakil presiden mendatang harus pernah duduk di kabinet. Semua pendapatnya tentang itu ia sampaikan kepada Amran Nasution, Toriq Hadad, Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO, di rumahnya di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Berikut petikan wawancara itu: Maret mendatang berlangsung Sidang Umum MPR. Apakah sidang itu akan mulus? Sudah saya jelaskan bahwa sekarang mulai berjalan keterbukaan. Maka jalannya sidang MPR saya kira tak semulus sidang umum MPR tahun 1988. Tapi, menurut saya, akhirnya akan tercapai juga musyawarah-mufakat. Perdebatan-perdebatan akan selalu ada, pokoknya ada yang ingin menyuarakan suatu perubahan terhadap GBHN maupun non-GBHN, dan ketetapan-ketetapan MPR lainnya. Fraksi PDI mengusulkan pemilihan presiden dilakukan dengan pemungutan suara, sekalipun calon cuma satu orang. Itulah yang saya maksudkan ketidakmulusan tadi, selalu ada perbedaan persepsi terhadap pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila. Tapi, menurut saya, itu tak akan menjadi halangan, bisa diatasi. Di UUD 45 kan memang disebutkan bahwa pemilihan presiden dilakukan dengan suara terbanyak? Kembali ke suara terbanyak tadi, barangkali menurut PDI suara terbanyak berarti voting. Kalau menurut saya, dalam musyawarah mufakat itu sudah tercakup suara terbanyak. Kalau begitu kenapa kata voting tak dilarang saja, karena tak dikenal dalam budaya Pancasila? Tak bisa. Kalau calonnya dua orang, mau diapain? Sudah dicoba musyawarah tak bisa, mufakat tak bisa, ya dibenarkan adanya voting. Tapi kalau calonnya satu, mau voting juga, ini yang malah jadi lelucon. Kok tetap minta voting, ini mau apa? Lha kok kita yang Pancasilais mau main ngotot-ngototan? Ini sudah terjadi dalam pemilihan wakil presiden lima tahun lalu, ketika Naro mencalonkan diri. Posisi sudah sembilan puluh sembilan persen tak memihak padanya, tapi kok dia masih ngotot? Ada pendapat bahwa wakil presiden yang akan datang mempunyai kedudukan yang strategis. Tergantung melihatnya dari kaca mata apa. Dengan kaca mata peralihan generasi, ya wapres nantinya strategis sekali, karena berarti calon yang dipersiapkan. Terus bisa ditambah dengan melihat bahwa tugas presiden mandataris lima tahun mendatang, yang berat, yaitu untuk memasuki era tinggal landas. Terus ada lagi perubahan-perubahan, ada non-blok, ada titik berat membangun manusia Indonesia seutuhnya. Jadi sangat strategis. Menurut Anda, kriteria wakil presiden itu apa? Ia seseorang yang sudah mempunyai pengalaman di dalam kabinet, dan selalu siap untuk dibebani tugas lebih dari wapres-wapres yang lalu oleh presiden, sehubungan dengan problem tadi. Intinya, wapres itu akan menjadi pembantu presiden dalam arti yang sebenarnya. Mungkin dia akan diserahi tugas memimpin sidang kabinet di suatu bidang. Intinya, untuk memperingan beban presiden. Tapi ini semua tergantung presiden mandataris. Pertentangan antar-kelompok agama meningkat. Soal itu akan terus menghangat? Semua agama mesti punya semacam misi untuk menyebarluaskan agamanya. Tapi kalau di negara Pancasila, menurut saya, mestinya dakwah itu ditujukan kepada manusia yang belum bertuhan dan belum beragama, jangan orang yang sudah beragama diusahakan untuk pindah ke agamanya. Tapi yang terjadi akhir-akhir ini, menurut saya, karena ulah tangan-tangan kotor, misalnya, dengan menyebarkan selebaran mengadu domba, seolah-olah kelompok Kristen menghina Islam. Hal-hal semacam ini tak ada kaitannya dengan sidang umum MPR, karena sudah ada sejak dulu. Karena itu saya kira di masa yang akan datang soal ini bisa lebih kita kendalikan, karena cepatnya reaksi positif dari organisasi ulama. Dalam sejumlah kasus, ada hubungannya dengan perizinan rumah ibadah yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dengan Menteri Agama. Mungkin saja SKB ini sudah perlu disempurnakan. Tapi, menurut saya, harus dicek dulu apakah para pelaksana sudah melaksanakan SKB itu dengan betul, atau belum. Kalau SKB itu disempurnakan lagi, tapi yang melaksanakan belum betul, ya malah akan menambah ruwet. Sebagai pembina politik, menurut Anda, apakah departemen atau menteri akan bertambah dalam kabinet nanti? Menurut saya, adminstrasi pemerintahan maupun politik semakin lama akan bertambah efisien, karena mekanismenya sudah tambah mantap. Maka mungkin saja jumlah departemen akan menyusut. Apakah setiap urusan yang dikendalikan presiden harus dibantu oleh menteri? Urusan olah raga, misalnya, menurut saya jangan dipimpin menteri, karena kita berniat memasyarakatkan olah raga. Kalau dipimpin menteri, akan terlalu kaku. Koperasi saya kira harus dievaluasi, apakah menguntungkan menjadi departemen. Tapi kembali, itu kan pandangan saya sebagai pembina kemasyarakatan. Kalau diamati pencalonan gubernur belakangan ini, ada yang baru: para calon seimbang, tak ada calon pendamping seperti dulu. Ini merupakan pola yang akan baku, atau kebijakasanaan sementara. Misalnya, karena menterinya Rudini? Kalau mau menilai hal ini, ini kan suatu perkembangan situasi. Dulu pada permulaan Orde Baru kesadaran rakyat masih kurang. Selain itu karena baru saja terjadi peristiwa G-30-S, tentu kita mau aman dulu. Maka seorang yang menjadi kepala daerah, betul-betul harus dipercayai. Yang dominan ketika itu adalah aspirasi Pusat. Sekarang rakyat sudah dididik dan dibangun kesadarannya, betul-betul harus muncul aspirasi rakyat. Maka cara kerja DPRD-nya juga jangan cara kerja gaya lama. Jangan karena saya jadi menteri, mereka malah menanya saya, siapa yang saya kehendaki. Itu keliru. Adakah ini karena globalisasi? Dunia dikatakan orang semakin menyatu, sehingga kalau kita melakukan yang aneh-aneh di sini akan diketawakan orang belahan bumi yang lain. Menurut saya, globalisasi itu intinya adalah pertumbuhan demokrasi. Di mana-mana rakyat sudah tak mau lagi ditekan, khususnya yang terjadi di Blok Timur. Kita juga sedang membangun demokrasi. Tapi yang harus diwaspadai, demokrasi kita adalah demokrasi khas Indonesia yang mempunyai pengendali Pancasila dan UUD 1945. Kalau kita mau mengembangkan demokrasi tapi mengabaikan Orde Baru, dan tekad Orde Baru, pasti tak akan cocok, dan akan terjadi benturan-benturan. Sekarang orang perhatiannya sudah berkembang ke arah nilai luhur Pancasila itu sendiri. Pancasila itu sudah dinyatakan sebagai ideologi terbuka. Melihat hal itu apakah tak mungkin, karena tuntutan keadaan, demokrasi kita menjadi demokrasi yang mungkin mirip-mirip liberal? Menurut saya tidak, karena nilai dasarnya harus dipertahankan. Dinamis, dalam arti penjabarannya, tapi jangan lepas dari nilai-nilai Pancasila. Inti dari demokrasi Pancasila adalah musyawarah untuk mufakat. Ada yang bilang, secara empirik demokrasi liberal itu sudah teruji, berhasil, misalnya di Amerika. Amerika kan negara yang dianggap paling maju? Maju dalam bidang apa? Maju dalam menghargai dan menghormati hak individu, yang itu mengabaikan kesetiakawanan sosial. Pancasila mengakui juga hak individu: bahwa setiap warga negara berhak mencari nafkah. Tapi Pancasila mengatur juga bagaimana yang kaya itu juga memperhatikan yang lemah. Ini memang yang belum kita tingkatkan pelaksanaannya. Kita juga mengatur pelaksanaan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Ini yang belum jalan. Harus disadari bahwa kita hidup dalam semangat kekeluargaan dan kebersamaan. Contohnya, kalau ada kereta api yang gerbongnya penuh, tiba-tiba datang seorang kaya yang rupanya sudah memborong tiket satu gerbong. Dia enak-enakan di gerbong itu sendirian, sedangkan orang lain tak bisa naik kereta. Secara teoretis di negara individu itu kan bisa saja, karena orang itu mampu memborong tiket. Di sini hal seperti itu bertentangan dengan Pancasila. Tapi nyatanya di sini terjadi monopoli, oligopoli, dan sebagainya. Lha, kok di negara Pancasilais terjadi hal yang semacam itu? Tapi jangan dibesar-besarkan, nanti Menteri Perdagangan tersinggung. Memang sekarang dalam pembangunan, konglomerat dibutuhkan. Tapi setelah itu harus secepatnya diikuti dengan langkah-langkah, misalnya, 20% saham untuk koperasi. Itu tak jalan. Saya juga sudah mengimbau DPRD DKI untuk mengenakan pajak kepada orang yang mempunyai mobil mewah, berikutnya rumah mewah. Sudah ada surat keputusan menteri yang menentukan kriteria rumah mewah itu adalah yang kalau rumah itu setiap meter perseginya bernilai melebihi Rp 300 ribu. Hasil pajak itu kan, misalnya, bisa untuk mendirikan rumah susun, atau memperbaiki daerah kumuh. Dalam beberapa interviu, Anda kemukakan data bahwa sekarang ini porsi kepala daerah yang ABRI semakin sedikit. Anda mengaitkan hal ini dengan kondisi negara yang semakin stabil. Pola berpikir bahwa ada keharusan dari ABRI, harus dihilangkan. Kembalikan ke rakyat, kalau rakyat memilih seorang pemimpin, dan kebetulan ia ABRI, itu hanya kebetulan. Kalau kemudian sipil yang terpilih, ya sama. Tapi jangan main sistem jatah, ini harus ABRI. Itu semua terserah rakyat. ABRI kan juga kekuatan sosial politik. Kalau ia menilai memang suatu daerah perlu dijabat ABRI. Aspirasi itu harus disalurkan ke DPRD. Toh di sana ABRI punya fraksi. Kalau kepala daerah di suatu daerah dijabat seorang sipil, tapi kemudian terpilih dari ABRI, apa tak mundur? Kesan itu boleh-boleh saja. Kalau rakyat yang minta seseorang yang kebetulan ABRI, maka terserah Pangab apakah Pangab melepasnya atau tidak. Kalau Pangabnya keberatan, ya tak bisa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus