Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak DPR dan pemerintah menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang TNI. Menurut PSHK, revisi UU TNI bermasalah sejak awal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti PSHK, Bugivia Maharani, mengatakan pembahasan revisi UU TNI melanggar prosedur pembentukan undang-undang dan tidak sah menjadi RUU prioritas 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pilihan editor: Akrobat Hukum Memuluskan Karier Mayor Teddy
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang memuat RUU prioritas pada 2025 disahkan melalui Keputusan DPR RI Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025 pada 19 November 2025.
Menurut Maharani, di Lampiran II Keputusan DPR RI itu tidak tercantum judul revisi UU TNI sebagai salah satu RUU yang diprioritaskan pada tahun 2025.
Bukan hanya tidak tercantum dalam Prolegnas 2025, menurut Maharani, revisi UU TNI juga tidak tercantum dalam 18 RUU prioritas pada RPJMN 2025-2029. “Hal itu membuktikan dokumen teknokratik pemerintah sendiri tidak menganggap revisi UU TNI sebagai kebutuhan prioritas,” kata Maharani dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Senin, 17 Maret 2025.
Kendati demikian, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menjadikan revisi UU TNI masuk dalam Prolegnas 2025 dengan pembahasan segera. Keinginan Sjafrie terungkap dalam paparan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pada Rapat Kerja bersama Komisi I pada 13 Maret 2025.
Saat itu Agus menyampaikan bahwa pada 7 Februari 2025, Menteri Pertahanan mengirimkan surat bernomor B/244/M/II/2025 kepada Ketua Komisi I. Isinya meminta agar revisi UU TNI masuk dalam Prolegnas 2025 dan Menteri Pertahanan mengajukan permohonan untuk mengagendakan pembahasan revisi UU TNI.
Maharani mengatakan, Surat Menteri Pertahanan kepada Ketua Komisi bidang Pertahanan dan Keamanan DPR melampirkan draf RUU revisi UU TNI dan naskah akademiknya. "Padahal dalam dokumen Prolegnas jangka menengah 2025-2029, revisi UU TNI usul inisiatif DPR. Draf RUU dan naskah akademik yang dikirimkan Menteri Pertahanan kepada DPR agaknya digunakan langsung oleh Komisi I dalam pembahasan,” ujarnya.
Maharani menyebut DPR, yang seharusnya mengimbangi, justru melayani kepentingan pemerintah membahas revisi UU TNI. Praktik yang sama terjadi di berbagai RUU yang diusulkan oleh DPR, di mana draf dan naskah akademik sudah disusun terlebih dahulu oleh pemerintah.
Pengambilan keputusan revisi UU TNI dilaksanakan pada Rapat Paripurna Pembukaan masa sidang DPR RI ke-13, pada 18 Februari 2025. Namun, kata Maharani, ada tiga kejanggalan dalam pengambilan keputusannya. Pertama, pengambilan keputusan untuk memasukan RUU revisi UU TNI tidak masuk dalam agenda rapat paripurna.
“Secara tiba-tiba, ketua sidang pada saat itu, Adies Kadir meminta persetujuan anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna untuk menyetujui dimasukannya revisi UU TNI dalam Prolegnas 2025 sebelum keseluruhan agenda rapat dilaksanakan,” ujarnya. Adies adalah Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar.
Menurut Maharani, Pasal 290 ayat (2) Tata Tertib DPR RI menegaskan bahwa perubahan agenda rapat, termasuk rapat paripurna hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengajukan kepada Badan Musyawarah paling lambat dua hari sebelum rapat dilaksanakan.
“Namun hal itu tidak dilaksanakan dalam kasus ini, terbukti sejak awal tidak ada agenda tersebut yang dibacakan oleh ketua rapat paripurna,” tuturnya.
Kejanggalan kedua adalah pertimbangan memasukan revisi UU TNI dalam Prolegnas 2025 yang mendasarkannya pada Surat Presiden Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025.
Maharani menegaskan, pertimbangan utama seharusnya berasal dari Badan Legislasi, bukan desakan dari Presiden melalui surat.
Kejanggalan ketiga, Maharani menilai keberadaan Surat Presiden juga janggal. Sebab, isinya penunjukan wakil pemerintah membahas revisi UU TNI. Dalam surat bertanggal 13 Februari 2025 itu belum ada keputusan resmi DPR menjadikan revisi UU TNI masuk dalam Prolegnas 2025.
“Seharusnya surat presiden penunjukan perwakilan pemerintah untuk membahas suatu RUU dikirimkan setelah ada keputusan DPR terkait kepastian pembahasan, atau bahkan ada surat resmi terlebih dahulu yang mengirimkan draft RUU dan Naskah Akademik kepada Presiden,” katanya.
Selain kejanggalan-kejanggalan di atas, Maharani menjelaskan alasan lain revisi UU TNI harus dihentikan karena DPR RI tidak mempublikasikan draf revisi UU TNI kepada publik melalui jalur resminya, termasuk melalui website resmi DPR RI.
Selain itu, pembahasan RUU Revisi UU TNI di luar Gedung DPR RI menjadikan pembahasan semakin tertutup dan membatasi akses publik untuk memantau.
“Praktik ugal-ugalan pembahasan revisi UU TNI merupakan cerminan dari praktik legislasi pada 10 tahun terakhir, sehingga menjadi alarm kuat untuk masyarakat sipil dan akademisi untuk mengantisipasi praktik yang berulang dan lebih luas,” kata Maharani.
Pilihan editor: Penjelasan Terbaru Istana tentang Revisi UU TNI