PAK Su adalah pemilik warung kopi di sebelah timur jembatan Bung
Karno di Malan Kulon, Probolinggo, Jawa Timur. Kamis pagi 17
April itu, ia melihat sesuatu yang kemudian dianggapnya aneh.
Katanya, ada dua orang wanita cantik, berdiri berseberangan
jalan dengan seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Mereka
bersama melambaikan tangan menyetop bis. Sebuah bis yang
kemudian diketahui bernama Akas, memang sudah kelihatan meluncur
mendekati jembatan. Tiba-tiba bis yang seharusnya berbelok
kanan, setelah melalui jembatan kecil itu, ternyata malah
langsung lurus dan menyimpang arah jalan. Untung tidak
terjerumus ke jurang yang ada di sebelah kiri jalan. Tapi bis
jurusan Ambulu-Ponorogo p.p. itu tak lagi dapat dikuasai oleh
sopirnya, Soekarno (40 tahun). Kendaraan ini langsung menghantam
ujung sebuah galian tanah. Moncong bis buatan Ford tahun 1972
itu menyeruduk dan masuk ke kedalaman tanah 0,65 meter. Seluruh
badan bis miring ke depan.
Hanya terdengar benturan keras sekitar jam 8.50 pagi Ytu.
Sesudah itu pak tua Su tak lagi melihat ke mana perginya ke-3
orang aneh yang tadi melambaikan tangannya. Tapi 73 penumpang
yang ada berantakan. Sebagian ada yang masih terduduk terkulai
di dalam. Yang lain tercecer di luar. Penumpang yang terlempar
ke luar dari mobil, begitu keterangan Direktur Lalulintas Markas
Besar Kepolisian RI, Brigjen V.E. Karamoy, disebabkan oleh kap
mobil yang copot dan terlontar sekitar 3 meter dari badannya.
Kecelakaan itu memang ngeri. Yang tewas saat itu juga ada 29
orang. Dalam perawatan di rumahsakit, 4 orang lagi menyusul
mati. Di antara 40 orang yang selamat, ada kondektur Pirngadi,
yang sikapnya ramah kepada para penumpang. Ia terpental ke luar,
dalam keadaan segarbugar. Sopir Soekarno sendiri tewas.
SEBAB kematian para penumpang itu, menurut Karamoy, karena
benturan keras dengan tempat duduk di deretan depan
masing-masing penumpang. Kaca yang hancur, karena terbuat dari
kaca jendela rumah biasa, sebagian mengenai kepala dan badan
korban, dan membuat luka yang mematikan. Setelah memperhatikan
kap mobil yang copot dan pecahan kaca yang membahayakan,
Karamoy berkesimpulan: "Pembuatan karoserinya tidak memenuhi
syarat keselamatan bagi penumpang". Karoseri, katanya, terbuat
dari kayu yang dilapisi seng. Sedang kaca jendela, mestinya,
harus memakai kaca khusus (berpelastik) yang tidak membahayakan
orang jika pecah.
Seregu penyelidik kecelakaan, terdiri dari Kapten Pol. Rifai
(dari kepolisian Jawa Timur). ir Sungkono (dari Institut
Tehnologi Surabaya), Sugiarto (dari Dinas Lalulintas Angkutan
Jalan Raya DLLAJR) dan Hariyadi (ahli dari Gunawan Motor),
segera tiba di tempat kecelakaan di kabupaten Probolinggo itu.
Hasilnya sementara disimpulkan: kecelakaan terjadi, karena
"sopir lengan di jalan yang tidak menguntungkan". Ia mengendarai
mobil tidak hati-hati ketika harus memasuki jembatan kecii,
jalan harus belok ke kanan sebelum menanjak jalan yang sedikit
naik. Bis Akas yang berizin mengangkut penumpang 47 orang itu,
ketika celaka sedang melaju dengan kecepatan sekitar 70-80 Km
per jam.
Lain lagi dugaan Seksi Lalulintas Resort Polri setempat. Menurut
Kasinya, Lettu Andi Hasanuddin petunjuk kecepatan diketemukan
sedang berhenti pada angka 119 Km/jam. Jadi, kemungkinan, bis
itu telah digenjot oleh sopirnya dengan kecepatan lebih dari 119
Km/jam. Laporan ke Direktorat Lalulintas Mabak juga begitu.
Karamoy menguraikan sebab-sebab kecelakaan, seperti laporan yang
diterimanya: pengemudi Soekarno memang punya alasan untuk
ngebut. Jalan lebar dan sepi, "juga untuk memburu waktu yang
sudah telat".
Bis Akas, menurut jadwal, harus masuk ke terminal Probolinggo
jam 9 pagi itu. Kecelakaan jam 8.50, terjadi di kilometer 19-20.
Mungkin Soekarno hendak mengejar keterlambatan 10 menit pada
jarak 20 Km. Mungkin juga, ketika ngebut, pengemudi sedang
ngantuk. Buktinya, tak ada tanda-tanda bekas rem di jalan
dekat-dekat jembatan. "Jika ia sepenuhnya sadar, begitu
kendaraan meluncur mendekati jembatan, ia tentu akan otomatis
menginjak pedal rem". Dan itu tentu akan membekas di aspal.
Kemungkinan mengantuk juga masuk akal. Menurut laporan yang
diterima Karamoy, sopir ini harus sudah siap bekerja sejak jam 4
pagi. Dirjen Perhubungan Darat Sumpono Bajuadji di Jakarta
memperoleh keterangan: "Sopirnya memang mengantuk, kurang tidur,
karena malam sebelum kecelakaan ia nonton wayang". Menurut
seorang sopir lain, di garasi Akas di Ambulu, Soekarno memang
aneh tingkahnya semalam. Ia memanggil tukang ngamen. Ia banyak
minta lagu. Terakhir ia minta dinyanyikan lagu: "Siksaan Kubur".
Karman Amat (60 tahun), pemilik Akas yang berarmada 58 bis antar
kota, geleng kepala. Katanya, tak mungkin sopir teladan, yang
pernah ikut penataran sopir seperti Soekarno itu, mau
menjalankan mobilnya melewati kecepatan 119 Km/jam. Dan jangan
salah sangka. "Spidometernya memang sudah lama tidak bekerja
lagi", kata Karman. "Dan kalau misalnya masih bekerja pun, tentu
akan kembali ke angka nol, begitu bis nabrak dan berhenti".
Kecelakaan yang menimpa bis Akas ini, bagi kabupaten Probolinggo
adalah tambahan angka statistik kematian dijalan raya. Dari 1
Januari hingga sehari sebelum peristiwa di Malasan Kulon,
kabupaten ini sudah mencatat 116 kecelakaan. Itu telah menuntut
korban 52 orang tewas. Dan angka ini, berarti juga, bagian dari
angka yang dimiliki Mabak: dalam triwulan I ini sudah sekitar
838 tewas di jalan. Tahun sebelumnya Karamoy mencatat- angka
kematian yang cukup tinggi: 7.407. Artinya, 22 jiwa melayang
dalam sehari.
"Jawa Timur memang gudang kecelakaan lalulintas", komentar
Direktur Lalulintas ini. Jumlah kendaraan di sana (412 ribu
buah), memang masih kalah oleh Jakarta (« juta buah). Tapi volume
kecelakaan di Jawa Timur lebih menonjol. "Karena disiplin
berlalulintas orang sana, relatif, masih kurang". Kota Bogor,
yang selalu sibuk melayani lalulintas Jakarta-Bandung, juga
mencatat angka kematian di jalan yang tidak kecil: 119 orang
tewas dari 514 peristiwa kecelakan.
Berita kecelakaan macam di atas memang tidak jadi menggegerkan.
Kolom surat kabar terbatas untuk berita jenis ini. Juga tak
terdengar kabar, ada menteri atau dirjen yang sempat mengunjungi
tempat kecelakaan atau membezuk para korban. "Karena kecelakaan
lalulintas begitu, sudah dianggap biasa dan sering terjadi",
kata Dirjen Sumpono Bajuadji minggu lalu. Kecelakaan pesawat
terbang kelihatannya memang lebih memperoleh perhatian lebih
istimewa --meskipun yang tewas jumlahnya mungkin lebih sedikit.
Lihat saja:
Kecelakaan bis milik perusahaan Pata, Oktober lalu. 23 orang,
dari rombongan darmawisata karyawan Departemen Tenagakerja &
Transkop, tewas. Bis yang celaka itu sedang membawa pula
rombongan dari piknik ke Cibodas. Kabarnya sopir ngebut, karena
'dibakar' penumpangnya. Di jembatan Gadog, di atas sungai
Ciliwung, jalan menurun sampai 60 derajat. Sopir tak mampu lagi
menguasai kendaraannya. Kabar di luaran menyatakan: rem bis itu
blong. Pokoknya bis meluncur, tanpa dapat dikuasai lagi,
walaupun sudah diusahakan oleh pengemudinya agar berhenti dengan
membenturkannya dengan tanggul. Ternyata ia tidak celaka
sendirian: bis itu terus jalan, menyambar dan menyeret sebuah
kolt sepanjang 20 meter. Kedua kendaraan itu baru berhenti
setelah membentur sisi jembatan. Malangnya: setelah menubruk
sisi jembatan, bis dan kolt itu langsung terperosok ke sungai
Ciliwung yang deras, berbatu, di bawah jembatan yang tinggi.
Seluruh penumpang kolt (termasuk pengemudi) 14 jiwa, ikut jadi
korban.
Maret 1974, sebuah bis bernama Dwiwarna, juga celaka. Sebanyak
59 orang penumpang (termasuk sopir) tewas seketika. Berangkat
dari Sala, bis sial itu membawa rombongan transmigran dari
Boyolali, yang hendak menuju daerah baru di Lampung Utara.
Ketika hendak melewati kali Sewu, 11 Km dari Pamanukan di
Indramayu, bis seharusnya mengurangi kecepatannya. Apalagi
petugas yang sedang memperbaiki jembatan sudah memberikan tanda
agar stop. Namun sopir tak mempedulikan. Bis langsung masuk
jembatan dengan kecepatan yang membahayakan. Benar saja: persis
di atas jembatan, kayu penyangga jembatan darurat mulai lepas
satu persatu. Pelan, tapi pasti, bis melorot ke sungai.
Terdengar para penumpang berteriak minta tolong. Taryono,
petugas PT Nindya Karya yang sudah memberikan tanda bahaya, tak
dapat berbuat apa-apa. Bis masuk sungai. Terdengar letupan
kecil, lalu kendaraan itu mulai terbakar. Penumpang terperangkap
di dalam. Yang selamat cuma 2 orang, salah satunya kenek.
Kecelakaan lalulintas, menurut aramoy, memang lebih banyak
disebabkan oleh ulah sopir yang ugal-ugalan. Dirjen Sumpono
Bajuadji, juga para pengusaha angkutan umum, setuju. "Kesenangan
bermobil memang meledak di semua kalangan", kata Sumpono.
Munculnya industri perakitan mobil ikut menambah kerasnya
ledakan bermobil itu. Usaha angkutan umum menjamur. "Itu semua
saya los-kan begitu saja, tanpa membebani syarat berat bagi
pengusaha angkutan, agar di masa depan nanti mereka mampu
mengelola usaha angkutan karena berpengalaman".
Risiko dari 'los' tentu ada. Ada pengusaha yang terus terang
berkata: "Kita banyak punya sopir. tapi jangankan terampil
membawa mobil, memelihara mobil agar selamat di jalan pun
sulit". Itulah sebabnya sering kelihatan mobil, dengan keadaan
teknis yang payah, masih juga berani meluncur membawa manusia.
Contoh: karena enggan memperbaiki - makan biaya dan waktu -
sopir masih mau mengemudi dengan rem yang mengkhawatirkan.
Mengganti karet dan minyak rem berarti pengeluaran biaya dari
kantong sopir, sekitar Rp 7.500 sampai Rp 10.000. Bagi sopir
yang be kerja berdasarkan borongan atau setoran, ini beban
berat. Maka rem di sebelah roda dibuntu saja. Dan itu, berarti
rem hanya bekerja 50% aman. "Untuk pengamanan selanjutnya, kita
orang cuma main kopling saja", kata seorang sopir.
Mengabaikan keamanan demikian biasanya, memang dilakukan oleh
pengemudi borongan. Seorang pengemudi bis jurusan
Jakarta-Bogor-Bandung p.p. rata-rata harus menyetor kepada tauke
sekitar Rp 25.000 sampai Rp 30.000 sehari. Untuk mencapai
setoran demikian, dengan mengantongi penghasilan Rp 2.000 sampai
Rp 4.000 seli, membuntu rem pada sebelah roda tak lagi
diacuhkan. Apa kata pengusaha? "Ya kami juga mengejar setoran
yang lain: tagihan dari bank", kata seorang pengusaha yang
kendaraannya hasil dari kredit -- seperti banyak yang lain.
Sopir, kalau begitu, masih jadi sorotan. Menertibkan para sopir,
bukan tak sering diusahakan. Ada penataran bagi mereka, dengan
semacam pendidikan keterampilan mengemudi dan pengetahuan
peraturan lalulintas. Ini sudah dilakukan di Jawa Timur dan
Sumatera Utara - dua daerah yang terkenal dengan sopir mautnya.
Jumlah yang ikut memang belum seberapa, "terbentur dana", kata
Sumpono, yang mengatakan bahwa di Indonesia ada 6 juta pemegang
Sl kendaraan umum. Maka Sumpono merencanakan, "sudah ada dana
dari pemerintah, Rp 300 juta, untuk pendidikan sopir tahun ini".
Tapi toh dana itu, menurut Direktur LLAJR Giri S. Hadihardjono,
baru bisa untuk mendidik kira-kira 9.000 sopir (berarti I sopir
makan ongkos penataran hampir 35.000 - Red). "Sedang di Jawa
Timur saja sekarang ada 43.000 sopir yang masih menunggu
penataran", katanya tanpa menyebut kemungkinan bahwa perusahaan
bis bisa ditarik bantuan untuk itu.
Di Mabak juga sudah ada dokter serta klinik khusus untuk sopir.
Cuma kemampuannya masih terbatas. Badan ini baru melayani
permintaan pribadi, swasta atau instansi lain, yang memerlukan
sopir terpilih. Di klinik sopir akan diuji segala macam: mulai
dari ketrampilan membawa mobil, sikap mengemudi (cenderung untuk
membuat kecelakaan atau tidak sampai soal ketajaman mata.
Pengujian kendaraan sebelum melaju di jalan raya juga telah
diadakan - jauh sekali, sebelum sopirnya diuji. "Kir atau
pengujian kendaraan memang salah satu sarana pencegahan
kecelakaan lalulintas", ujar Sumpono. Namun prakteknya, sayang
sekali, seperti diakui Dirjen sendiri: "Belum begitu beres".
Sudah bukan rahasia lagi keadaan yang demikian: ada
penyelewengan timbal-balik, antara petugas yang mengharapkan
uang semir seribu dua ribu perak, dengan para pemilik kendaraan
umum, yang minta tanda lulus uji bagi kendaraannya yang tak
memenuhi syarat layak jalan. Calo di tempat pengujian gampang
ditemukan. Tarifnya, misalnya di tempat pengujian
Pulaugadung-Jakarta, sekitar Rp 7.500 sampai Rp 10.000.
"Semuanya akan siap dalam waktu singkat, karena mobil kita akan
lulus tanpa diuji - dipegangpun kadang-kadang tidak", kata
seorang pemilik kendaraan yang sedang menunggu pengujian di
Pulaugadung.
Seberapa jauh akibat penyelewengan dalam pengujian kendaraan itu
sukar dihitung kecuali kalau kita mau teringat kepada mereka
yang mati, yang mungkin adalah saudara kita sendiri. Dan siapa
yang paling bersalah: petugas atau pemilik kendaraan dalam hal
ini?
Baik Sumpono maupun Giri, terpaksa angkat bahu. "Ya kami
sebenarnya akan bertindak tegas, jika ada laporan yang disertai
bukti", kata Dirjen, yang kemudian menandaskan: "Bagaimana pun,
sebagai salah satu sarana pencegahan kecelakaan, kir kendaraan
harus dijalankan dengan baik".
Yang perlu dapat "kir" lebih baik dengan begitu jelas para
petugas, biarpun tanpa laporan pakai bukti mengingat indikasi
sudah begitu sering terlihat. Tapi di samping itu, stasiun
penguji kendaraan milik Diben Perhubungan Darat memang belum
cukup tersedia. Di seluruh nusantara baru ada 16. "Padahal,
menurut perhitungan, kita harus memiliki 86 stasiun", ujar Giri.
Sementara itu 53 sarana pengamanan lalulintas yang lain, menurut
Sumpono, sudah memadai. Jalanan sudah beraspal dan lebar.
Rambu-rambu lalulintas baru, dengan bentuk lebih jelas dan cat
yang menyala jika kena lampu mobil, sudah merata secara
nasional. Jalan raya yang dulu banyak belak-belok, sekarang
sudah banyak yang dipintas-luruskan. Peraturan untuk pembuatan
karoseri yang aman juga sudah ada: harus dari logam dan kaca
berpelastik.
Tapi bukankah masih ada kendaraan yang tak layak untuk membawa
manusia dan beroperasi terus? "Bukan soal jenisnya, tapi
pemenuhan bagi kelayakan yang perlu", kata Sumpono. Maksudnya:
"Kendaraan apa saja boleh untuk mengangkut manusia, asal
dilengkapi dengan tempat duduk atau peralatan lain yang layak".
Maka untuk pengamanan pula LLAJR menetapkan standar baru untuk
rem: semua kendaraan harus diperlambat, dengan sebuah injakan
pedal rem, 5 meter per detik-kwadrat. Dulu ukurannya cuma 3,5
meter per detik-kwadrat. Standar baru ini lebih aman, kecuali
jika tiba-tiba rem blong, tentunya.
Tapi bagaimana dengan faktor lain yang cukup penting, yang masih
dirisaukan berbagai kalangan -- yakni hukuman? "Hukuman bagi
pelanggar lalulintas belum cukup mendidik", kata Giri mengakui.
Dulu, tahun 1974, pernah ada usulan dari 3 menteri: Menteri
Perhubungan, Dalam Negeri dan Hankam (Polri). Isinya: minta agar
hukuman bagi si pelanggar lalulintas, terutama yang berakibat
fatal, ditingkatkan. "Tapi saya lihat dalam prakteknya, hukuman
masih enteng saja", lanjut direktur ini.
Apa tindakan dari instansinya sendiri? "Bagi pelanggaran berat,
kami hanya punya wewenang mencabut izin trayeknya saja",
katanya. Ini sudah dilakukan terhadap perusahaan bis Akas,
dengan alasan: melanggar peraturan membawa penumpang lebih dari
yang diizinkan. Bis Dwiwarna, yang pernah celaka dan
mengorbankan 59 orang, juga kena tindak. Tapi, bagaimana kalau
Dwiwarna memperoleh izin trayek baru, karena memakai nama baru:
Bumi Nusantara? Mudah-mudahan, bapak-bapak, tidak ada keluarga
kita yang akan bernasib seperti keluarga Haji Umar (lihat: Kisah
Ibu Siyamah), yang tewas sekaligus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini