Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

33 Orang Mati. Apa Yang Salah ? ... Matinya Para Penumpang Bis

Kecelakaan bis akas di Probolinggo menewaskan 33 orang penyebabnya, menurut penumpang yang selamat, adalah kecepatan tinggi. Para sopir bilang itu juga disebabkan banyaknya pungli di jalan.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAK Su adalah pemilik warung kopi di sebelah timur jembatan Bung Karno di Malan Kulon, Probolinggo, Jawa Timur. Kamis pagi 17 April itu, ia melihat sesuatu yang kemudian dianggapnya aneh. Katanya, ada dua orang wanita cantik, berdiri berseberangan jalan dengan seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Mereka bersama melambaikan tangan menyetop bis. Sebuah bis yang kemudian diketahui bernama Akas, memang sudah kelihatan meluncur mendekati jembatan. Tiba-tiba bis yang seharusnya berbelok kanan, setelah melalui jembatan kecil itu, ternyata malah langsung lurus dan menyimpang arah jalan. Untung tidak terjerumus ke jurang yang ada di sebelah kiri jalan. Tapi bis jurusan Ambulu-Ponorogo p.p. itu tak lagi dapat dikuasai oleh sopirnya, Soekarno (40 tahun). Kendaraan ini langsung menghantam ujung sebuah galian tanah. Moncong bis buatan Ford tahun 1972 itu menyeruduk dan masuk ke kedalaman tanah 0,65 meter. Seluruh badan bis miring ke depan. Hanya terdengar benturan keras sekitar jam 8.50 pagi Ytu. Sesudah itu pak tua Su tak lagi melihat ke mana perginya ke-3 orang aneh yang tadi melambaikan tangannya. Tapi 73 penumpang yang ada berantakan. Sebagian ada yang masih terduduk terkulai di dalam. Yang lain tercecer di luar. Penumpang yang terlempar ke luar dari mobil, begitu keterangan Direktur Lalulintas Markas Besar Kepolisian RI, Brigjen V.E. Karamoy, disebabkan oleh kap mobil yang copot dan terlontar sekitar 3 meter dari badannya. Kecelakaan itu memang ngeri. Yang tewas saat itu juga ada 29 orang. Dalam perawatan di rumahsakit, 4 orang lagi menyusul mati. Di antara 40 orang yang selamat, ada kondektur Pirngadi, yang sikapnya ramah kepada para penumpang. Ia terpental ke luar, dalam keadaan segarbugar. Sopir Soekarno sendiri tewas. SEBAB kematian para penumpang itu, menurut Karamoy, karena benturan keras dengan tempat duduk di deretan depan masing-masing penumpang. Kaca yang hancur, karena terbuat dari kaca jendela rumah biasa, sebagian mengenai kepala dan badan korban, dan membuat luka yang mematikan. Setelah memperhatikan kap mobil yang copot dan pecahan kaca yang membahayakan, Karamoy berkesimpulan: "Pembuatan karoserinya tidak memenuhi syarat keselamatan bagi penumpang". Karoseri, katanya, terbuat dari kayu yang dilapisi seng. Sedang kaca jendela, mestinya, harus memakai kaca khusus (berpelastik) yang tidak membahayakan orang jika pecah. Seregu penyelidik kecelakaan, terdiri dari Kapten Pol. Rifai (dari kepolisian Jawa Timur). ir Sungkono (dari Institut Tehnologi Surabaya), Sugiarto (dari Dinas Lalulintas Angkutan Jalan Raya DLLAJR) dan Hariyadi (ahli dari Gunawan Motor), segera tiba di tempat kecelakaan di kabupaten Probolinggo itu. Hasilnya sementara disimpulkan: kecelakaan terjadi, karena "sopir lengan di jalan yang tidak menguntungkan". Ia mengendarai mobil tidak hati-hati ketika harus memasuki jembatan kecii, jalan harus belok ke kanan sebelum menanjak jalan yang sedikit naik. Bis Akas yang berizin mengangkut penumpang 47 orang itu, ketika celaka sedang melaju dengan kecepatan sekitar 70-80 Km per jam. Lain lagi dugaan Seksi Lalulintas Resort Polri setempat. Menurut Kasinya, Lettu Andi Hasanuddin petunjuk kecepatan diketemukan sedang berhenti pada angka 119 Km/jam. Jadi, kemungkinan, bis itu telah digenjot oleh sopirnya dengan kecepatan lebih dari 119 Km/jam. Laporan ke Direktorat Lalulintas Mabak juga begitu. Karamoy menguraikan sebab-sebab kecelakaan, seperti laporan yang diterimanya: pengemudi Soekarno memang punya alasan untuk ngebut. Jalan lebar dan sepi, "juga untuk memburu waktu yang sudah telat". Bis Akas, menurut jadwal, harus masuk ke terminal Probolinggo jam 9 pagi itu. Kecelakaan jam 8.50, terjadi di kilometer 19-20. Mungkin Soekarno hendak mengejar keterlambatan 10 menit pada jarak 20 Km. Mungkin juga, ketika ngebut, pengemudi sedang ngantuk. Buktinya, tak ada tanda-tanda bekas rem di jalan dekat-dekat jembatan. "Jika ia sepenuhnya sadar, begitu kendaraan meluncur mendekati jembatan, ia tentu akan otomatis menginjak pedal rem". Dan itu tentu akan membekas di aspal. Kemungkinan mengantuk juga masuk akal. Menurut laporan yang diterima Karamoy, sopir ini harus sudah siap bekerja sejak jam 4 pagi. Dirjen Perhubungan Darat Sumpono Bajuadji di Jakarta memperoleh keterangan: "Sopirnya memang mengantuk, kurang tidur, karena malam sebelum kecelakaan ia nonton wayang". Menurut seorang sopir lain, di garasi Akas di Ambulu, Soekarno memang aneh tingkahnya semalam. Ia memanggil tukang ngamen. Ia banyak minta lagu. Terakhir ia minta dinyanyikan lagu: "Siksaan Kubur". Karman Amat (60 tahun), pemilik Akas yang berarmada 58 bis antar kota, geleng kepala. Katanya, tak mungkin sopir teladan, yang pernah ikut penataran sopir seperti Soekarno itu, mau menjalankan mobilnya melewati kecepatan 119 Km/jam. Dan jangan salah sangka. "Spidometernya memang sudah lama tidak bekerja lagi", kata Karman. "Dan kalau misalnya masih bekerja pun, tentu akan kembali ke angka nol, begitu bis nabrak dan berhenti". Kecelakaan yang menimpa bis Akas ini, bagi kabupaten Probolinggo adalah tambahan angka statistik kematian dijalan raya. Dari 1 Januari hingga sehari sebelum peristiwa di Malasan Kulon, kabupaten ini sudah mencatat 116 kecelakaan. Itu telah menuntut korban 52 orang tewas. Dan angka ini, berarti juga, bagian dari angka yang dimiliki Mabak: dalam triwulan I ini sudah sekitar 838 tewas di jalan. Tahun sebelumnya Karamoy mencatat- angka kematian yang cukup tinggi: 7.407. Artinya, 22 jiwa melayang dalam sehari. "Jawa Timur memang gudang kecelakaan lalulintas", komentar Direktur Lalulintas ini. Jumlah kendaraan di sana (412 ribu buah), memang masih kalah oleh Jakarta (« juta buah). Tapi volume kecelakaan di Jawa Timur lebih menonjol. "Karena disiplin berlalulintas orang sana, relatif, masih kurang". Kota Bogor, yang selalu sibuk melayani lalulintas Jakarta-Bandung, juga mencatat angka kematian di jalan yang tidak kecil: 119 orang tewas dari 514 peristiwa kecelakan. Berita kecelakaan macam di atas memang tidak jadi menggegerkan. Kolom surat kabar terbatas untuk berita jenis ini. Juga tak terdengar kabar, ada menteri atau dirjen yang sempat mengunjungi tempat kecelakaan atau membezuk para korban. "Karena kecelakaan lalulintas begitu, sudah dianggap biasa dan sering terjadi", kata Dirjen Sumpono Bajuadji minggu lalu. Kecelakaan pesawat terbang kelihatannya memang lebih memperoleh perhatian lebih istimewa --meskipun yang tewas jumlahnya mungkin lebih sedikit. Lihat saja:  Kecelakaan bis milik perusahaan Pata, Oktober lalu. 23 orang, dari rombongan darmawisata karyawan Departemen Tenagakerja & Transkop, tewas. Bis yang celaka itu sedang membawa pula rombongan dari piknik ke Cibodas. Kabarnya sopir ngebut, karena 'dibakar' penumpangnya. Di jembatan Gadog, di atas sungai Ciliwung, jalan menurun sampai 60 derajat. Sopir tak mampu lagi menguasai kendaraannya. Kabar di luaran menyatakan: rem bis itu blong. Pokoknya bis meluncur, tanpa dapat dikuasai lagi, walaupun sudah diusahakan oleh pengemudinya agar berhenti dengan membenturkannya dengan tanggul. Ternyata ia tidak celaka sendirian: bis itu terus jalan, menyambar dan menyeret sebuah kolt sepanjang 20 meter. Kedua kendaraan itu baru berhenti setelah membentur sisi jembatan. Malangnya: setelah menubruk sisi jembatan, bis dan kolt itu langsung terperosok ke sungai Ciliwung yang deras, berbatu, di bawah jembatan yang tinggi. Seluruh penumpang kolt (termasuk pengemudi) 14 jiwa, ikut jadi korban.  Maret 1974, sebuah bis bernama Dwiwarna, juga celaka. Sebanyak 59 orang penumpang (termasuk sopir) tewas seketika. Berangkat dari Sala, bis sial itu membawa rombongan transmigran dari Boyolali, yang hendak menuju daerah baru di Lampung Utara. Ketika hendak melewati kali Sewu, 11 Km dari Pamanukan di Indramayu, bis seharusnya mengurangi kecepatannya. Apalagi petugas yang sedang memperbaiki jembatan sudah memberikan tanda agar stop. Namun sopir tak mempedulikan. Bis langsung masuk jembatan dengan kecepatan yang membahayakan. Benar saja: persis di atas jembatan, kayu penyangga jembatan darurat mulai lepas satu persatu. Pelan, tapi pasti, bis melorot ke sungai. Terdengar para penumpang berteriak minta tolong. Taryono, petugas PT Nindya Karya yang sudah memberikan tanda bahaya, tak dapat berbuat apa-apa. Bis masuk sungai. Terdengar letupan kecil, lalu kendaraan itu mulai terbakar. Penumpang terperangkap di dalam. Yang selamat cuma 2 orang, salah satunya kenek. Kecelakaan lalulintas, menurut aramoy, memang lebih banyak disebabkan oleh ulah sopir yang ugal-ugalan. Dirjen Sumpono Bajuadji, juga para pengusaha angkutan umum, setuju. "Kesenangan bermobil memang meledak di semua kalangan", kata Sumpono. Munculnya industri perakitan mobil ikut menambah kerasnya ledakan bermobil itu. Usaha angkutan umum menjamur. "Itu semua saya los-kan begitu saja, tanpa membebani syarat berat bagi pengusaha angkutan, agar di masa depan nanti mereka mampu mengelola usaha angkutan karena berpengalaman". Risiko dari 'los' tentu ada. Ada pengusaha yang terus terang berkata: "Kita banyak punya sopir. tapi jangankan terampil membawa mobil, memelihara mobil agar selamat di jalan pun sulit". Itulah sebabnya sering kelihatan mobil, dengan keadaan teknis yang payah, masih juga berani meluncur membawa manusia. Contoh: karena enggan memperbaiki - makan biaya dan waktu - sopir masih mau mengemudi dengan rem yang mengkhawatirkan. Mengganti karet dan minyak rem berarti pengeluaran biaya dari kantong sopir, sekitar Rp 7.500 sampai Rp 10.000. Bagi sopir yang be kerja berdasarkan borongan atau setoran, ini beban berat. Maka rem di sebelah roda dibuntu saja. Dan itu, berarti rem hanya bekerja 50% aman. "Untuk pengamanan selanjutnya, kita orang cuma main kopling saja", kata seorang sopir. Mengabaikan keamanan demikian biasanya, memang dilakukan oleh pengemudi borongan. Seorang pengemudi bis jurusan Jakarta-Bogor-Bandung p.p. rata-rata harus menyetor kepada tauke sekitar Rp 25.000 sampai Rp 30.000 sehari. Untuk mencapai setoran demikian, dengan mengantongi penghasilan Rp 2.000 sampai Rp 4.000 seli, membuntu rem pada sebelah roda tak lagi diacuhkan. Apa kata pengusaha? "Ya kami juga mengejar setoran yang lain: tagihan dari bank", kata seorang pengusaha yang kendaraannya hasil dari kredit -- seperti banyak yang lain. Sopir, kalau begitu, masih jadi sorotan. Menertibkan para sopir, bukan tak sering diusahakan. Ada penataran bagi mereka, dengan semacam pendidikan keterampilan mengemudi dan pengetahuan peraturan lalulintas. Ini sudah dilakukan di Jawa Timur dan Sumatera Utara - dua daerah yang terkenal dengan sopir mautnya. Jumlah yang ikut memang belum seberapa, "terbentur dana", kata Sumpono, yang mengatakan bahwa di Indonesia ada 6 juta pemegang Sl kendaraan umum. Maka Sumpono merencanakan, "sudah ada dana dari pemerintah, Rp 300 juta, untuk pendidikan sopir tahun ini". Tapi toh dana itu, menurut Direktur LLAJR Giri S. Hadihardjono, baru bisa untuk mendidik kira-kira 9.000 sopir (berarti I sopir makan ongkos penataran hampir 35.000 - Red). "Sedang di Jawa Timur saja sekarang ada 43.000 sopir yang masih menunggu penataran", katanya tanpa menyebut kemungkinan bahwa perusahaan bis bisa ditarik bantuan untuk itu. Di Mabak juga sudah ada dokter serta klinik khusus untuk sopir. Cuma kemampuannya masih terbatas. Badan ini baru melayani permintaan pribadi, swasta atau instansi lain, yang memerlukan sopir terpilih. Di klinik sopir akan diuji segala macam: mulai dari ketrampilan membawa mobil, sikap mengemudi (cenderung untuk membuat kecelakaan atau tidak sampai soal ketajaman mata. Pengujian kendaraan sebelum melaju di jalan raya juga telah diadakan - jauh sekali, sebelum sopirnya diuji. "Kir atau pengujian kendaraan memang salah satu sarana pencegahan kecelakaan lalulintas", ujar Sumpono. Namun prakteknya, sayang sekali, seperti diakui Dirjen sendiri: "Belum begitu beres". Sudah bukan rahasia lagi keadaan yang demikian: ada penyelewengan timbal-balik, antara petugas yang mengharapkan uang semir seribu dua ribu perak, dengan para pemilik kendaraan umum, yang minta tanda lulus uji bagi kendaraannya yang tak memenuhi syarat layak jalan. Calo di tempat pengujian gampang ditemukan. Tarifnya, misalnya di tempat pengujian Pulaugadung-Jakarta, sekitar Rp 7.500 sampai Rp 10.000. "Semuanya akan siap dalam waktu singkat, karena mobil kita akan lulus tanpa diuji - dipegangpun kadang-kadang tidak", kata seorang pemilik kendaraan yang sedang menunggu pengujian di Pulaugadung. Seberapa jauh akibat penyelewengan dalam pengujian kendaraan itu sukar dihitung kecuali kalau kita mau teringat kepada mereka yang mati, yang mungkin adalah saudara kita sendiri. Dan siapa yang paling bersalah: petugas atau pemilik kendaraan dalam hal ini? Baik Sumpono maupun Giri, terpaksa angkat bahu. "Ya kami sebenarnya akan bertindak tegas, jika ada laporan yang disertai bukti", kata Dirjen, yang kemudian menandaskan: "Bagaimana pun, sebagai salah satu sarana pencegahan kecelakaan, kir kendaraan harus dijalankan dengan baik". Yang perlu dapat "kir" lebih baik dengan begitu jelas para petugas, biarpun tanpa laporan pakai bukti mengingat indikasi sudah begitu sering terlihat. Tapi di samping itu, stasiun penguji kendaraan milik Diben Perhubungan Darat memang belum cukup tersedia. Di seluruh nusantara baru ada 16. "Padahal, menurut perhitungan, kita harus memiliki 86 stasiun", ujar Giri. Sementara itu 53 sarana pengamanan lalulintas yang lain, menurut Sumpono, sudah memadai. Jalanan sudah beraspal dan lebar. Rambu-rambu lalulintas baru, dengan bentuk lebih jelas dan cat yang menyala jika kena lampu mobil, sudah merata secara nasional. Jalan raya yang dulu banyak belak-belok, sekarang sudah banyak yang dipintas-luruskan. Peraturan untuk pembuatan karoseri yang aman juga sudah ada: harus dari logam dan kaca berpelastik. Tapi bukankah masih ada kendaraan yang tak layak untuk membawa manusia dan beroperasi terus? "Bukan soal jenisnya, tapi pemenuhan bagi kelayakan yang perlu", kata Sumpono. Maksudnya: "Kendaraan apa saja boleh untuk mengangkut manusia, asal dilengkapi dengan tempat duduk atau peralatan lain yang layak". Maka untuk pengamanan pula LLAJR menetapkan standar baru untuk rem: semua kendaraan harus diperlambat, dengan sebuah injakan pedal rem, 5 meter per detik-kwadrat. Dulu ukurannya cuma 3,5 meter per detik-kwadrat. Standar baru ini lebih aman, kecuali jika tiba-tiba rem blong, tentunya. Tapi bagaimana dengan faktor lain yang cukup penting, yang masih dirisaukan berbagai kalangan -- yakni hukuman? "Hukuman bagi pelanggar lalulintas belum cukup mendidik", kata Giri mengakui. Dulu, tahun 1974, pernah ada usulan dari 3 menteri: Menteri Perhubungan, Dalam Negeri dan Hankam (Polri). Isinya: minta agar hukuman bagi si pelanggar lalulintas, terutama yang berakibat fatal, ditingkatkan. "Tapi saya lihat dalam prakteknya, hukuman masih enteng saja", lanjut direktur ini. Apa tindakan dari instansinya sendiri? "Bagi pelanggaran berat, kami hanya punya wewenang mencabut izin trayeknya saja", katanya. Ini sudah dilakukan terhadap perusahaan bis Akas, dengan alasan: melanggar peraturan membawa penumpang lebih dari yang diizinkan. Bis Dwiwarna, yang pernah celaka dan mengorbankan 59 orang, juga kena tindak. Tapi, bagaimana kalau Dwiwarna memperoleh izin trayek baru, karena memakai nama baru: Bumi Nusantara? Mudah-mudahan, bapak-bapak, tidak ada keluarga kita yang akan bernasib seperti keluarga Haji Umar (lihat: Kisah Ibu Siyamah), yang tewas sekaligus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus