TANPA diberlakukan jam malam, tandanya Aceh tambah tenang. Dan orang aman bepergian. Sebaliknya, Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) terpojok. "Kini untuk makan saja mereka susah," ujar seorang pejabat keamanan. Anggota GPK yang lari ke hutan sudah kehabisan bahan makanan. Tersirat ketenteraman itu makin terpelihara, setelah Gubernur Aceh Ibrahim Hasan menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha, Rabu pekan lalu. Saat itu, Presiden mengisyaratkan anggota ABRI lebih banyak akan ditempatkan di Aceh. Bukan memperkuat barisan perang. "Toh secara umum Aceh aman," kata Ibrahim Hasan kepada Bambang Sujatmoko dari TEMPO. Adanya gangguan keamanan belakangan ini cuma di enam kecamatan yang terdapat di dua kabupaten, Aceh Utara dan Aceh Timur -- di antara 10 daerah tingkat II di provinsi itu. Gangguan bersifat kriminalitas murni, bukan politis. Sedangkan penambahan anggota ABRI, tambah Ibrahim, sebab rakyat digencet perampok bersenjata yang beroperasi pada malam hari. Tak diketahui persis jumlah ABRI di Aceh. Tapi Koramil di tiap kecamatan (luas satu kecamatan di Aceh hampir sama dengan satu kabupaten di Jawa) terbatas dua atau tiga orang saja. "Kalau Camat, Dansek, dan Danramil pergi, lengkaplah wilayah tersebut dikuasai pengacau itu," ujar Gubernur. Suara dari Bina Graha tadi kini sedang diolah di Mabes ABRI. Namun, penambahan anggota ABRI itu masih disesuaikan dengan keadaan di lapangan. "Nanti tergantung Pangab," kata Brigjen. Nurhadi kepada TEMPO. Kapuspen Mabes ABRI itu tidak sependapat bila penambahan itu dikesankan situasi Aceh memburuk. Menurut Nurhadi, intinya adalah kerja sama ABRI dengan rakyat. "Jadi, jika pasukan ditambah, jangan diinterpretasikan macam-macam," katanya. Kekuatan GPK mulai porak-poranda. Menurut sumber TEMPO, dalam tiga bulan terakhir ini sudah 50 orang ditangkap. Beberapa orang mati tertembak, seperti Yusuf A.B. yang menyebut dirinya Gubernur GPK Wilayah Pasai. Pada 1 Juli lalu, ia tewas di hutan Matang Seujuk, Aceh Utara. Jika kekuatan GPK tinggal 30 orang, apakah penambahan anggota ABRI itu relevan? "Memang susah, ibarat mencari jarum di lapangan," kata Nurhadi. Soalnya, ke-30 orang itu bukan dalam bentuk kelompok yang terpusat di satu tempat. Toh penambahan anggota ABRI dilakukan tidak cuma bertujuan menghabiskan GPK. Juga melindungi daerah Aceh Utara dan Aceh Timur, yang dikenal sebagai zone industri yang nilai ekspornya mencapai 7 juta dolar AS sehari. Di sana ada LNG Arun, Pupuk ASEAN, PT Pupuk Iskandar Muda, dan proyek Mobil Oil yang konon terbesar di dunia. Kejadian terakhir ini, menurut Ibrahim, ada kaitannya dengan kemajuan di daerah itu. Indikatornya bisa dilihat dari pajak bumi dan bangunan (PBB) di Aceh Utara per tahun mencapai Rp 32 milyar. Padahal, ada kabupaten yang PBB-nya cuma Rp 100 juta setahun. Penyakit kota besar, misalnya kriminalitas, menular ke wilayah industri ini. Keadaan ini, diakui Nurhadi, digunakan GPK membujuk masyarakat untuk ikut mereka. Timbulnya kecemburuan sosial di sana turut pula memancing di air keruh. Maka, saran Pak Harto, agar model "ayah angkat" dari berbagai perusahaan besar membantu usaha rakyat di sana makin relevan untuk meredam keadaan yang disulut GPK. Dan penduduk di pesisir timur Aceh, insya Allah, akan bisa tidur nyenyak. Apalagi 32 ormas, MUI, serta kekuatan sosial politik dan DPRD Aceh telah mengeluarkan pernyataan mendukung usaha Pemerintah dan ABRI mengatasi sepercik gangguan itu. BL, Muchlizardy Mukhtar, Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini