BERITA koran terkemuka The Washington Post di AS, yang menuduh badan intel CIA terlibat dalam penumpasan PKI di Indonesia, kini jadi urusan Kongres (DPR) di AS. Soal itu sedang digarap oleh The House of Intelligence Committee. "Kami mulai memeriksa soal ini sejak akhir Mei, hasilnya akan diketahui akhir bulan ini," ujar Dan Childs, staf hukum komite khusus itu, kepada wartawan TEMPO Yudhi Soerjoatmodjo, Senin pekan ini, lewat telepon. Komite tersebut beranggota 19 orang (12 dari Demokrat dan 7 dari Republik), dan kini dipimpin oleh Tony Berensen, anggota Kongres dari California. Salah seorang adalah Stephen Solarz, anggota Kongres dari New York, yang disebut-sebut punya andil dalam penyingkiran Marcos di Filipina. "Kami punya yurisdiksi atas CIA atau badan intelijen lainnya," kata Dan Childs. Dan Childs belum mau bicara banyak tentang hasil pemeriksaan komite, atau siapa saja yang telah mereka periksa untuk kasus ini. Menurut Childs, sudah lama mereka mendengar CIA atau Pemerintah AS dituding telah terlibat dalam penumpasan besar itu. "Tapi setahu saya belum pernah dilakukan penyelidikan seperti sekarang," katanya. Adakah bukti-bukti kuat? Nampaknya tidak. "Kami lakukan pemeriksaan karena ada permohonan dari anggota Kongres," kata Dan Childs. Masalah ini bermula dari berita yang dimuat The Washington Post, 21 Mei lalu. Alkisah, Edward Martens, staf Kedubes AS di Jakarta pada 1965, telah memberikan 5.000 daftar nama tokoh dan simpatisan PKI di Indonesia kepada T.K. Adhyatman, yang dekat dengan Adam Malik (ketika itu Menteri Keuangan Pelaksana Ekonomi Terpimpin). Tindakan Martens kabarnya didukung oleh Marshall Green, Dubes AS yang ditempatkan di Jakarta di saat ramai-ramainya kampanye ganyang Nekolim. Selain dengan Martens, Adhyatman juga dikabarkan sering mengadakan pertemuan dengan sejumlah agen CIA di Indonesia, seperti Lazarsky. Berbagai bantahan terhadap berita The Washington Post bermunculan, antara lain dari Deplu AS, dan Robert Martens sendiri. Tapi 23 Mei lalu, Ted Weiss, anggota Kongres dari Partai Demokrat, menulis surat ke DPR, meminta agar kasus keterlibatan CIA seperti yang ditulis The Washington Post itu diperiksa. Sekalipun dia, "tak menyatakan sikapnya tentang benar tidaknya tuduhan The Washington Post," kata Miles Lucky, asisten Weiss kepada TEMPO. Suatu hal yang biasa, menurut Lucky, anggota Kongres bertindak bila ada tuduhan terhadap terhadap seorang atau lebih pejabat AS. Apalagi, seperti dikatakan Miles Lucky, "Tuduhan itu serius dan layak diperiksa." Apa reaksi pihak Hankam kita? "Indonesia lebih tahu PKI daripada CIA. Tak perlu bantuan Amerika mengenai soal itu. Kita mendapatkan informasi dari rakyat, wartawan, dan lain-lain," kata Kapuspen ABRI Brigjen. Nurhadi Purwosaputro. Lagi pula, kalau benar Kedubes AS maupun CIA memberikan daftar itu, kenapa kepada Adhyatman. Dan bukan kepada Angkatan Darat RI, saingan berat PKI, meskipun CIA-lah yang disebut-sebut pernah membantu pemberontakan PRRI/Permesta, misalnya. Adhyatman, yang kini menjadi sekretaris Yayasan Adam Malik, lebih kesal. Ia mengaku memang pernah diwawancarai oleh seorang wanita Amerika bernama Kathy Kadane. Tapi Kathy ketika itu mengaku sebagai seorang sarjana yang sedang meneliti politik Indonesia, bukan wartawati. "Pembicaraan memang direkam, karena saya menganggap Kadane seorang ahli politik, dan bahan itu tidak untuk disebarkan di media massa," kata Adhyatman. Dia membantah keras pernah menerima daftar nama PKI dari Robert Martens. Amran Nasution dan Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini