Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pembubaran Semu Jamaah Islamiyah

Belasan anggota Jamaah Islamiyah mendeklarasikan pembubaran kelompok teror itu. Anggota JI berpeluang membentuk organisasi baru.

6 Juli 2024 | 00.00 WIB

Pemberitaan soal pembubaran Jamaah Islamiyah di salah satu situs berita, 5 Juli 2024. TEMPO/Bintari Rahmanita
Perbesar
Pemberitaan soal pembubaran Jamaah Islamiyah di salah satu situs berita, 5 Juli 2024. TEMPO/Bintari Rahmanita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Pentolan Jamaah Islamiyah mengumumkan pembubaran organisasi di markas BNPT.

  • Anggota Jamaah Islamiyah diduga membentuk organisasi baru.

  • Anggota Jamaah Islamiyah tetap berbahaya, meski organisasinya dibubarkan.

BELASAN tokoh Jamaah Islamiyah (JI) mendeklarasikan pembubaran organisasi kelompok teroris di Asia Tenggara tersebut, Rabu, 3 Juli 2024. Mereka lantas menyatakan pengakuannya atas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Kami menyatakan pembubaran Al-Jamaah Al-Islamiyah dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Abu Rusydan, tokoh senior Jamaah Islamiyah, lewat video, Rabu lalu. Video itu tayang di akun Arrahmah.id.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Saat mengumumkan pembubaran tersebut, Abu Rusydan dikelilingi 15 anggota JI lainnya. Mereka adalah Para Wijayanto, Abu Mahmuda, Bambang Sukirno, Abu Fatih, Zarkasih, Sholahuddin, Bahrudin Soleh, Sartono Gunadi, Abu Dujana, Fadri Fathurrahman, Teungku Azhar, Imtihan, Hamad, Mustaqim, dan Fahim.

Sebagian besar dari mereka masih berstatus narapidana kasus terorisme. Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI menangkap Abu Rusydan di Bekasi, Jawa Barat, pada 2021. Perumus Pedoman Khusus Jamaah Islamiyah itu divonis 6 tahun penjara dalam berbagai kasus teror.

Selanjutnya, Densus 88 menangkap Para Wijayanto di Bekasi pada 2019. Pemimpin atau amir JI sejak 2008 itu divonis 7 tahun penjara.

Dalam video yang berdurasi 3 menit 29 detik itu, Abu Rusydan mengklaim sikap tersebut merupakan keputusan majelis Jamaah Islamiyah dengan para pemimpin lembaga pendidikan forum pondok pesantren yang berafiliasi dengan organisasi tersebut. Di samping membubarkan diri, mereka bersepakat mengubah kurikulum semua pesantren yang berafiliasi dengan organisasi teroris itu. Mereka ingin agar tidak ada lagi materi di pesantren tersebut yang mengajarkan ekstremisme. 

“Kami juga siap terlibat aktif dalam mengisi kemerdekaan sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan bermartabat ... Kami siap mematuhi peraturan hukum yang berlaku," kata Abu Rusydan.

Di akhir video, Abu Rusydan menyebutkan lokasi pengumuman pembubaran itu berada di markas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Bogor, Jawa Barat. Mereka menyatakan sikap pada Kamis, 30 Juni 2024. 

Jamaah Islamiyah dibentuk pada 1993 oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir. Tujuan pembentukan organisasi ini adalah mendirikan negara Islam di Asia Tenggara. Abdullah meninggal pada 1999. Lalu Abu Bakar divonis 15 tahun penjara dengan tuduhan pendanaan pelatihan militer kelompok teror di Aceh. Pemimpin Jamaah Islamiyah itu bebas dari penjara dengan alasan kemanusiaan pada 2021.

Gelar barang bukti saat dilakukan penggeledahan di Petamburan, Jakarta, 27 April 2021. ANTARA/APRILLIO AKBAR

Pada 2008, Pengadilan Negeri Jakarta menetapkan Jamaah Islamiyah berafiliasi dengan Al-Qaidah—kelompok teroris global—dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Rentetan serangan teroris yang dilakukan anggota organisasi itu menjadi alasan pengadilan.

Tempo meminta konfirmasi perihal pernyataan Abu Rusydan itu kepada juru bicara Densus 88 Antiteror Polri, Komisaris Besar Aswin Siregar, serta sekretaris Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Teguh Pudjo Rumekso. Namun keduanya tak menjawab pertanyaan yang dikirim ke telepon seluler mereka. Adapun Kepala Bagian Hukum, Hubungan Masyarakat, dan Teknologi Informasi BNPT Tjandra Sulistiyono belum bersedia mengomentari hal tersebut. “Kami koordinasikan dulu,” kata Tjandra, kemarin.

Sumber Tempo yang dekat dengan anggota Jamaah Islamiyah mengatakan Densus 88 Antiteror Polri sudah lama membujuk para pentolan kelompok teror itu mendeklarasikan pembubaran lembaganya. Namun Abu Rusydan dan kawan-kawan tidak langsung menyetujui permintaan tersebut.

“Mereka perlu waktu satu tahun lebih untuk membubarkan organisasi,” katanya.

Peneliti dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones, membenarkan keaslian pernyataan Abu Rusydan dalam video tersebut. “Orang-orang yang menandatangani pernyataan tersebut memiliki rasa hormat dan kredibilitas yang cukup di dalam organisasi untuk memastikan penerimaan yang luas,” kata Jones, Kamis lalu.

Ia menduga keputusan untuk membubarkan Jamaah Islamiyah itu didorong oleh beberapa faktor. Di antaranya pengaruh para intelektual di dalam Jamaah Islamiyah yang kurang tertarik pada gerakan jihad menggunakan kekerasan serta menjadi cara terbaik untuk melindungi aset terbesar kelompok tersebut, yaitu sekolah.

Mantan narapidana kasus terorisme, Arif Budi Setyawan alias Arif Tuban, mengatakan Jamaah Islamiyah secara organisasi sebetulnya sudah tidak aktif sejak Densus 88 Antiteror menahan para pemimpin kelompok teroris itu pada 2020. Lalu anggota JI berbondong-bondong menyerahkan diri dan melepas baiat. 

“Contohnya fenomena orang menyerahkan diri dan melepas baiat dari JI sudah terjadi di Lampung pada 2021. Seremonialnya pada 2022,” kata Arif, kemarin.

Ia mengatakan alasan anggota Jamaah Islamiyah melepas baiat adalah merasa ditipu oleh elite kelompok tersebut. Mereka awalnya hanya mengetahui bahwa Jamaah Islamiyah merupakan organisasi yang menyebarkan ajaran Islam melalui dakwah. Mereka tidak mengetahui bahwa organisasi itu terafiliasi dengan jaringan teroris global.

Pengamat terorisme dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak, ragu pentolan Jamaah Islamiyah itu secara sukarela membubarkan organisasinya. Alasannya, BNPT memfasilitasi pembubaran organisasi tersebut. 

Ia mengingatkan bahwa gerakan Jamaah Islamiyah belum tentu berhenti seusai deklarasi pembubaran tersebut. Sebab, Jamaah Islamiyah merupakan organisasi bawah tanah yang memiliki dua muka, yaitu sebagai organisasi dan kekuatan ideologi. 

Menurut Zaki, pernyataan Abu Rusydan dan kawan-kawan tersebut hanya menunjukkan pembubaran JI secara organisasi, bukan secara ideologi. Padahal Jamaah Islamiyah secara organisasi sudah bubar sejak 2000. Sejak saat itu, anggota Jamaah Islamiyah bergerak atas dasar ideologi. “Ideologi inilah yang juga menggerakkan Noordin Mohammad Top melakukan aksi pengeboman,” kata Zaki.

Zaki pernah mewawancarai Abu Rusydan dan sejumlah koleganya. Dari situ, Zaki memperoleh informasi bahwa Abu Rusydan dan anggotanya sudah membentuk gerakan baru bernama New Jamaah Islamiyah. Gerakan baru ini berupaya merumuskan ulang strategi gerakan. Mereka menggeser strategi, dari gerakan jihad dengan kekerasan ke gerakan yang menyesuaikan dengan sistem di Indonesia. “Mereka memutuskan untuk berbaur dengan sistem,” ujarnya.

Dia mencontohkan upaya mereka mensponsori pendirian partai politik. Lalu mereka menunggangi partai politik itu untuk menyebarkan ideologinya. “Tujuannya untuk melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dengan mempromosikan syariat Islam,” ujar Zaki. 

Poster DR. Azahari dan Noordin M. Top di depan pintu masuk Mabes Polri Jakarta, 2005. DOk.TEMPO/ Arie Basuki

Pengamat terorisme dan peneliti tamu di S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura, Noor Huda Ismail, mengatakan, meski Jamaah Islamiyah sudah membubarkan diri, anggota organisasi tersebut tetap menjadi ancaman. “Ancaman itu mengingat potensi reorganisasi dan kemampuan operasional para pejuangnya yang pernah ditempatkan di Suriah dan Filipina Selatan,” kata Noor Huda, kemarin.

Dalam sejarah organisasinya, kata dia, Jamaah Islamiyah sempat mengalami perpecahan akibat perbedaan metode gerakan di antara anggotanya. Misalnya, kelompok yang dipimpin Noordin M. Top memisahkan diri akibat perbedaan metode gerakan pada 2004. Noordin memilih jalur kekerasan. 

Kubu lain, yaitu Para Wijayanto dan kawan-kawan, memilih cara moderat untuk mencapai tujuannya. Mereka menghindari cara kekerasan, tapi tetap mempertahankan komitmen untuk mendirikan negara Islam. 

Menurut Noor Huda, pembubaran organisasi ini tetap perlu dicermati untuk menghindari tindakan keras lebih lanjut sambil mempertahankan kemampuan mereka. Sebab, mereka bisa saja memperoleh legitimasi dan dukungan dari masyarakat setelah berkomitmen secara terbuka terhadap hukum Indonesia serta Islam moderat. “Hal ini memungkinkan mereka menghilangkan kecurigaan pihak berwenang saat melanjutkan misi mereka,” tuturnya.

Di samping itu, kata dia, pembubaran organisasi ini akan memudahkan anggota Jamaah Islamiyah menyusup ke organisasi politik dan sosial arus utama. Lalu mereka melancarkan agendanya. Dengan melekatkan diri pada institusi yang sah, mereka dapat mempengaruhi kebijakan dan opini publik serta mencapai tujuan mereka tanpa menimbulkan kecurigaan. 

Noor Huda berpendapat JI tetap menjadi ancaman global. Pejuang mereka tetap aktif di zona konflik, seperti di Suriah dan Filipina Selatan. Para pejuang mereka di Suriah, misalnya, memperoleh pengalaman tempur yang akan berguna dalam operasi militer ketika mereka kembali ke Asia Tenggara. Di Filipina Selatan, mereka menyediakan basis untuk perekrutan, pelatihan, dan perencanaan serangan.

“Kehadiran JI di zona konflik menunjukkan kemampuan mereka beradaptasi dan melanjutkan operasi meskipun ada kemunduran,” ujar Noor Huda.

Ia mengatakan anggota JI dapat saja membuat organisasi baru atau berintegrasi dengan jaringan kelompok teror lain. “Potensi reorganisasi ini berarti bahwa badan keamanan harus tetap waspada dan proaktif dalam mengidentifikasi dan melawan setiap ancaman yang muncul,” katanya.

Pendapat berbeda disampaikan akademikus dari Universitas Malikussaleh, Al Chaidar. Ia memprediksi pembubaran Jamaah Islamiyah ini diikuti oleh semua anggota JI di berbagai daerah. Alasannya, pembubaran ini diikuti oleh elite yang mewakili sejumlah faksi di Jamaah Islamiyah. 

Namun, kata Chaidar, organisasi JI di luar negeri tidak akan mengakui pembubaran tersebut. Mereka akan tetap melanjutkan gerakan meski organisasi induk sudah membubarkan diri. “Mereka ada kemungkinan mendirikan organisasi baru atau berafiliasi dengan organisasi Al-Qaidah,” kata Chaidar.

Chaidar juga menyoroti pernyataan deklarasi pembubaran organisasi itu. Ia berpendapat pembubaran ini seharusnya berisi penyesalan atas serangan teror dan pembunuhan yang dilakukan terhadap warga sipil. Chaidar menduga mereka hendak mengamankan aset sekolah atau pesantren yang dimiliki sehingga memilih membubarkan diri. “Ini motif material yang sangat kuat,” ucapnya.

Menurut Chaidar, JI merawat dan membina lembaga pendidikan sejak 2002. Ia memprediksi alumnus dari lembaga pendidikan itu sudah mencapai 15 ribu orang. “Kebanyakan dari mereka mengelola sekolah-sekolah dengan mengajarkan kekerasan,” kata Chaidar.

Chaidar menyarankan agar pemerintah mengelola jaringan, aset sekolah, dan pesantren milik Jamaah Islamiyah. Pemerintah harus memastikan lembaga itu tidak lagi menganut kekerasan.

Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya mengatakan pembubaran itu tak bermakna karena pengadilan sudah menetapkan JI sebagai organisasi terlarang pada 2008. “Pernyataan petinggi JI ini sebagai upaya mereduksi stigma teroris dari beragam pihak kepada semua mantan JI pasca-pembubaran,” kata Harits.

Meski begitu, ia berpendapat pembubaran Jamaah Islamiyah akan melemahkan kasus-kasus teror yang dilakukan unsur JI. Pembubaran ini sekaligus akan mempengaruhi kelompok teroris lain untuk merumuskan ulang ideologi mereka.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hendrik Yaputra

Hendrik Yaputra

Bergabung dengan Tempo pada 2023. Lulusan Universitas Negeri Jakarta ini banyak meliput isu pendidikan dan konflik agraria.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus