Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ramainya serangan bom bunuh diri oleh kalangan militan Islam rupanya membuat 57 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) cukup gerah. Setidaknya hal ini tercermin dalam konferensi tingkat tinggi OKI di Mekah, 7-8 Desember lalu. Salah satu dari 10 butir deklarasi yang dihasilkan menyebut perlunya meningkatkan persatuan umat melalui cara damai dan perbaikan sistem pendidikan bagi sekitar 1 miliar umat Islam di dunia. ”Jadi, rencana perbaikan kurikulum di pesantren juga bagian dari kesepakatan OKI di Mekah itu,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla. Indonesia ternyata tak sendirian.
Pada awal Desember lalu Presiden Pakistan, Pervez Musharraf, mengeluarkan beleid baru yang melarang madrasah memberikan pelajaran tentang jihad, militansi, sektarianisme, dan kebencian terhadap agama lain. Selain itu juga memberikan kewenangan pemerintah untuk memeriksa rekening organisasi, pesantren, dan madrasah, serta meminta laporan aktivitas tahunan mereka.
Kesepakatan OKI itu kelihatannya memang lebih ampuh ketimbang tekanan Washington DC. Sebab, sejak peristiwa 9 Oktober 2001, Amerika Serikat dan negara-negara Barat sebenarnya telah mencoba menekan Pakistan agar segera mereformasi sekolah-sekolah agamanya, terutama dalam soal kurikulum dan sumber dana. Beberapa sekolah memang mereka curigai sebagai ”pabrik jihad” yang produktif. Lantas, pada 2002 Musharraf pun membuat peraturan baru. Tapi, karena partai dan kelompok Islam menentang keras, upaya ini gagal.
Namun tekanan internasional agar Pakistan mereformasi madrasahnya mencuat lagi setelah bom London, Juli lalu. Pemicunya adalah berita bahwa dua pelaku ternyata lulusan madrasah di Pakistan. Kasus ini dan kesepakatan OKI akhirnya meneguhkan langkah Musharraf merilis beleid itu. Peraturan ini menggantikan Undang-Undang Registrasi Organisasi Massa 1860. ”Paling lambat 31 Desember semua harus sudah mendaftarkan diri,” kata seorang pejabat Pakistan kepada The Indian Times. Peraturan yang kini diujicobakan di Wilayah Ibu Kota Islamabad itu, yang sanksinya dapat menyebabkan sekolah yang membangkang ditutup, akan diberlakukan di seluruh Pakistan.
Aksi penutupan dan pengawasan kurikulum sekolah agama malah sudah terjadi di Malaysia saat Perdana Menteri Mahathir Mohamad berkuasa. Langkah awal yang diambil adalah menghentikan subsidi sekolah agama rendah (SAR). Pemerintah berdalih, keberadaan SAR tidak relevan karena tak mampu mencapai target kualitas yang diinginkan Malaysia, yakni melahirkan manusia yang mahir agama, informatika, dan teknologi secara seimbang. Sekolah-sekolah itu lalu gulung tikar.
Negeri yang mengakui Islam sebagai satu-satunya agama resmi ini lalu mengadopsi mata pelajaran agama di SAR ke kurikulum sekolah pemerintah. Tapi, menurut Ishak, seorang warga di Kuala Lumpur, tindakan pemerintah menyeragamkan kurikulum pendidikan ini hanyalah untuk mengontrol pendidikan agama. ”SAR dan sekolah pondok memang kadang memasukkan nilai-nilai Islam yang membuat kami membenci Kerajaan,” ujarnya.
Gara-gara ”kajian keras” itu pula sekolah agama dan pondok sangat dikontrol oleh pemerintah. ”Kalau ada ceramah di pondok atau di masjid-masjid berbasis oposisi, pasti banyak aparat mengawasi dan ikut nguping,” kata Makcik Zahrah, 65 tahun, warga Cheras, Kuala Lumpur, kepada Tempo. Bahkan, menurut Ishak, teks khotbah Jumat di Malaysia pun seragam. ”Semua teks yang dibaca khatib datang dari Jabatan Kebajikan Agama Islam Malaysia,” ujarnya.
Penyeragaman kurikulum di sekolah umum maupun agama ini juga dinilai sebagai upaya penyatuan mazhab. Tradisi Melayu yang kental dengan mazhab Syafi’i menyebabkan mereka sukar menerima konsep mazhab lain seperti Wahabi. Pemikiran dan ajaran seperti larangan selamatan dan tawasul dinilai bisa membahayakan ikatan masyarakat.
Penertiban paham agama oleh pemerintah ini terasa lebih keras di Arab Saudi. Pada 1930 sempat ada dua kubu yang berbeda paham perjuangan di negeri ini, yakni kubu Ikhwanul Muslimin yang diimpor dari Mesir dan Wahabi yang didukung Abd-al Aziz Ibn Abd-al Rahman alias Ibn Saud. Tapi, sejak Ibnu Saud berkuasa, secara pelan tapi pasti kekuatan Ikhwan termarginalkan. Begitu juga kelompok minoritas seperti Syiah.
Paham Wahabi yang rigid lalu dijadikan mazhab negara dan harus diterapkan dalam setiap aspek kehidupan. Kurikulum sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan diseragamkan. Buku yang masuk ke Saudi pun sangat terseleksi. ”Tak semua buku bisa masuk. Hanya buku yang sesuai dengan paham Wahabi saja yang boleh,” kata Usamah Sarawan, seorang pengusaha di Riyadh.
Lembaga-lembaga yang mengajarkan mazhab dan pemikiran Islam diawasi ketat. Bahkan beberapa gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, Hamas, dan Tanzhimul Jihad dilarang eksis di Saudi, sementara buku-bukunya pun dibredel habis. Ide gerakan Islam seperti sistem negara khilafah dinilai sangat membahayakan Kerajaan.
Meskipun penyeragaman paham sedemikian gencar, dari Kerajaan Arab Saudi pula justru muncul kelompok Salafiyah/Wahabiyah garis keras semacam Al-Qaidah, pimpinan Usamah bin Ladin. Bahkan semula banyak ulama, syekh, dan anggota keluarga Kerajaan Saudi yang ikut menyumbang duit untuk gerakan jihad Usamah melawan pemerintah pendudukan Uni Soviet di Afganistan.
Keberhasilan menghengkangkan Negara Beruang merah dari Afganistan rupanya membuat Usamah bin Ladin ingin melanjutkannya dengan mengusir Amerika Serikat dari tanah airnya. ”Kebijakan Kerajaan yang mengekor Amerika memang menimbulkan ketidakpuasan di sebagian masyarakat Saudi,” kata Sarawan. Usamah bin Ladin, yang mendapat pendidikan Barat dan dikenal sebagai playboy semasa mudanya, menjadi salah satu pemimpin gerakan anti-Amerika ini. Ia diduga terpengaruh oleh gerakan Ikhwanul Muslimin yang berasal dari Mesir.
Di Mesir, pendidikan Islam diselenggarakan oleh lembaga formal dan informal. Lembaga formal misalnya perguruan Al-Azhar, sedangkan yang informal berupa jam’iyyah syar’iyyah. Biasanya lembaga informal berpusat di masjid-masjid dalam bentuk halaqoh pengajian. Sementara madrasah punya kurikulum tertentu, halaqoh sifatnya umum. Karena sifatnya informal, pesertanya mulai dari anak-anak sampai kakek-kakek.
Karena kebebasan politik di Mesir sangat terkungkung, kegiatan agama sering dijadikan ajang konsolidasi politik. Coba tengok peristiwa penembakan Presiden Anwar Sadat serta berbagai upaya pembunuhan Presiden Husni Mubarak. Kasus-kasus itu adalah imbas pertarungan politik antara pemerintah yang represif dan gerakan Ikhwanul Muslimin. Dari sana pula muncul gerakan Islam ultrakeras seperti Jamaah Jihad pimpinan Mohammad Abd Salam Faraj dan Jamaah Takfir wal Hijrah pimpinan Syukri Mushtofa. Keduanya jebolan Ikhwan saat dipimpin Sayyid Quthb.
Sejak kasus 9/11, pandangan internasional pun tertuju ke Mesir. Meski para pelaku tak terkait dengan Ikhwanul Muslimin, Amerika Serikat menekan Mesir agar menjadi lebih demokratis demi melumpuhkan dukungan rakyat pada kelompok-kelompok radikal. Namun, dengan lihai, Presiden Husni Mubarak memanfaatkan dukungan Amerika Serikat dalam perang melawan terorisme untuk menekan lawan politiknya, sehingga menang dalam pemilu lalu, sebuah pemilihan presiden yang pertama kali dalam sejarah negeri itu.
Bom yang meledak di Sharm el-Sheik enam bulan lalu, yang merusak bisnis wisata Mesir, memang membuat Mubarak lebih mudah menggunakan dalih memerangi terorisme dalam menerapkan berbagai kebijakan politik represifnya menjelang pemilu. Mubarak juga cukup cerdas untuk tidak menekan lembaga-lembaga Islam sebelum hari pencoblosan berlangsung, melainkan mengajak mereka turut dalam berbagai program memerangi terorisme. ”Justru lewat pendidikanlah ekstremisme bisa kita kikis,” kata Mousthafa Kamel Sayyed, peneliti di Ahram Political Science. Ia yakin Al-Azhar sebagai corong utama pendidikan di Mesir akan mampu meredakan gerakan terorisme lewat pendidikan.
Lembaga pendidikan memang bisa mempengaruhi siswa, tapi tentu bergantung pula pada materi yang diajarkan. Ayman al-Zawahiry, tangan kanan Usamah bin Ladin, misalnya, ”Tentu tidak mendapatkan materi ekstremisme dari sekolah saat kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kairo,” kata Khayrat el-Shatir, 45 tahun, insinyur teknik komputer lulusan Ayn el-Syam.
Walhasil, pemerintah, masyarakat, dan ulama Mesir pun mencoba melakukan seleksi terhadap penyebaran paham yang masuk ke negeri itu. Lembaga Hayah al-Misriyyah al-’Ammah lil Kitab (Komite Mesir untuk Pengembangan Buku), yang diketuai Sayyeda Suzan Mubarak, misalnya, baru saja merilis 280 buku baru. Lajnah pembahas buku membolehkan peredaran buku itu karena pembahasan hanya dilakukan jika ada buku yang meresahkan. Lajnah ini terdiri dari para intelektual yang kredibilitasnya telah diakui banyak pihak.
Pemerintah Mesir, seperti Kerajaan Saudi dan negara anggota OKI lainnya, memang telah menyepakati Deklarasi Mekah yang menyebut persatuan umat tak boleh dilakukan melalui pertumpahan darah. Kesepuluh butir kesepakatan itu, yang pada intinya menyatakan Islam adalah agama damai, diharapkan menjadi semangat pembaruan kurikulum di sekolah agama di tiap negara anggota. Usul yang datang dari Malaysia itu pun kini menjalar ke Indonesia.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Zuhaid el-Qudsi (Kairo) dan T.H. Salengke (Malaysia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo