Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANYAK proyek yang menyentuh pesantren digelar sejumlah lembaga pemerintah akhir-akhir ini. Departemen Dalam Negeri menciptakan kegiatan halaqoh kebangsaan, Departemen Agama membentuk Tim Penanggulangan Terorisme, antara lain.
Halaqoh kebangsaan adalah kegiatan menyebarkan orientasi nasionalisme kepada pengasuh pesantren. Sedangkan Tim Penanggulangan Terorisme berniat melakukan dialog dengan pesantren dan meneliti buku-buku yang diajarkan di pondok. Di luar proyek ini, beredar gagasan mengambil sidik jari para santri.
Perkembangan itu, tak pelak, memercikkan kecurigaan bahwa pemerintah sedang menaikkan intensitas pengawasan terhadap pesantren. Apalagi, ternyata ada pemerintah daerah yang sudah menerbitkan silabus dakwah. Di tempat lain, aparat melakukan penggeledahan terhadap pesantren, mencari buku-buku yang mengajarkan terorisme.
”Pemerintah sudah kebablasan,” kata Masdar Farid Mas’udi, 51 tahun, Direktur Utama Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), menanggapi berbagai kegiatan itu. Wartawan Tempo Agung Rulianto menemui Khatib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu di ruang kerjanya, Jumat pekan lalu.
Apa pendapat Anda tentang pemerintah daerah yang membuat acuan dakwah?
Lagi-lagi ada kecurigaan yang tidak proporsional terhadap umat Islam. Pada zaman Soekarno, umat Islam dicurigai karena ada Darul Islam. Zaman Orde Baru, umat Islam dicurigai dan dipinggirkan karena tidak Pancasilais, tidak mendukung pembangunan, dan sebagainya. Sekarang, zaman reformasi, pesantren dicurigai sebagai sarang teroris. Ini tak boleh berlanjut. Kalau terus-terusan begini, negara ini tak akan jadi apa-apa. Negeri ini kan mayoritas muslim. Mestinya pemerintah jangan pakai cara berhadapan dengan umat Islam. Umat Islam harus diajak membangun negeri ini.
Bukankah pemerintah sudah membuka keran politik bagi partai Islam?
Itu kan tuntutan yang tak bisa ditolak. Tetapi ternyata masih muncul juga kecurigaan tidak proporsional. Yang terlibat terorisme kan hanya sedikit. Paling satu atau dua pesantren saja yang ada indikasi. Itu pun tak bisa dituding sebagai sarang teroris. Tetapi, mengapa kemudian digeneralisasi?
Apakah tindakan pemerintah ini masih wajar?
Saya baca positif saja, pemerintah ingin menunjukkan keseriusan luar biasa melawan terorisme. Hanya, saking semangat dan seriusnya, jadi kebablasan.
Bagaimana menurut Anda jika pemerintah ikut mengatur kurikulum pesantren?
Perubahan kurikulum pesantren hal yang wajar, dalam arti untuk menyempurnakan. Tidak mungkin mendidik orang hari ini dengan kerangka berpikir 700 tahun lalu. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan kader-kader muslim, juga harus mengikuti perkembangan. Harus ada karakteristik pendidikan pesantren yang bertumpu pada keislaman yang dihayati dari generasi ke generasi. Setiap orang punya hak menegakkan karakteristiknya sendiri. Tetapi harus ada corak umum bahwa pendidikan itu mampu menjawab problem-problem yang dihadapi kemanusiaan dan bangsanya.
Apakah selama ini pemerintah melakukan intervensi kurikulum pesantren?
Sebenarnya ada, hanya caranya tidak tepat. Mereka maunya intervensi, tapi gratisan. Padahal untuk mengubah sesuatu dibutuhkan infrastruktur, dan tentu ada biayanya. Sejak zaman Orde Baru, maunya juga begitu. Tetapi yang ada hanya politisasi pesantren. Pesantren disambangi hanya pada musim-musim mencari dukungan politik.
Mengapa ada juga pesantren yang pasrah saat diintervensi?
Mungkin karena kiai yang bersangkutan sudah lama dicurigai. Kalau kiai yang tidak punya track record apa pun di bidang keteroran, pasti akan kaget. Siapa yang mau pendekatan seperti itu?
Apakah ada pesantren yang pernah ditutup pemerintah?
Saya belum pernah dengar. Dan saya kira belum ada landasan hukum untuk melakukan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo