Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tak Ada Perintah Soal Sidik Jari

19 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba-tiba kabar menghebohkan itu tersiar begitu saja. Berbagai media lokal dan nasional mengutip rencana pengumpulan sidik jari para santri. Di Jakarta, para pewarta bertanya kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Orang nomor dua di Republik ini meminta semua pihak tidak berpandangan negatif atas usul itu. Esoknya, keluar kabar bahwa Wakil Presiden merestui pengambilan sidik jari dari semua santri. Gegerlah kalangan pesantren. Mereka menganggap Wakil Presiden menghina kalangan pesantren dengan pernyataannya.

Sebenarnya bukan pada awal Desember ini saja pernyataan Kalla membuat heboh kalangan pesantren. Pada akhir Oktober lalu, Kalla juga mengeluarkan pernyataan yang menyentak. Diberitakan, menurut Wakil Presiden, pemerintah akan mengawasi pesantren demi menguber teroris.

Kabar ini mencuat seusai diskusi internal antara Kalla dan pimpinan Majelis Ulama Indonesia di Istana Wakil Presiden, Oktober silam. Uniknya, di daerah, yang muncul adalah kabar adanya perintah mengawasi dan membatasi gerak pesantren pascapengeboman di Bali, Oktober lalu.

Pesantren, bagi Jusuf Kalla, bukanlah dunia asing. Di Sulawesi Selatan, keluarga Kalla dikenal sering berinteraksi dengan pondok pesantren. Karena itu, Kalla merasa aneh jika disebut memelototi lingkungannya demi menyisir Noor Din M. Top dan pengikutnya. ”Entah kenapa kalau bicara keras tentang teror, selalu diulur-ulur, seolah-olah saya sumber pertama. Seolah saya yang memberikan perintah,” katanya.

Di sela kesibukannya, pada Rabu pekan lalu, Kalla menerima lima wartawan Tempo: Bambang Harymurti, Tulus Widjanarko, Metta Dharmasaputra, Wensesslaus Manggut, Widiarsi Agustina, dan fotografer Rully Kesuma, yang menemuinya di kantornya, Istana Wakil Presiden, di kawasan Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Dalam perbincangannya dengan Tempo, sore itu, Kalla menjelaskan sikapnya tentang perkembangan pondok pesantren di Indonesia. Berikut petikannya:

Pernyataan Anda tentang sidik jari dikecam keras kalangan pesantren. Mereka menolak. Bisa dijelaskan?

Sudah dijelaskan Kapolri, kan? Ini kan diwacanakan orang yang tak ada wacananya. Seperti kata Kapolri, ini justru diusulkan ulama. Mereka mengusulkan ke Kapolres dalam pertemuan di Ciamis.

Kapolri mengatakan itu muncul dalam pertemuan di Cimahi. Yang benar Cimahi atau Ciamis?

Setahu saya di Ciamis. Jadi, di semua kabupaten ada pertemuan untuk menjelaskan soal jihad. Nah, dalam pertemuan di Ciamis-lah, ada ulama yang mengusulkan itu. Saya sendiri tak ada soal. Sewaktu mengurus SIM saja sidik jari kita diminta.

Reaksi keras kalangan pesantren karena pemungutan sidik jari itu hanya dilakukan di pesantren, tidak termasuk sekolah umum?

Lho, jangan lupa. Sumbernya ini dari pesantren yang minta. Kalau SMA juga minta, pasti disetujui juga.

Jadi Anda bereaksi atas permintaan pesantren itu?

Saya tidak bereaksi. Hanya karena ada yang menolak, saya mengatakan jangan berpikiran negatif. Kalau mereka minta, kenapa kita harus negatif?

Barangkali karena trauma masa lalu, ketika pesantren mendapat tekanan?

Saya kira tidak. Dulu pesantren tidak ditekan. Memang dulu ada gerakan seperti DI, NII. Saya kira pesantren tak pernah. Apalagi sekarang.

Sinyalemen Badan Intelijen Negara (BIN) sendiri tentang rekomendasi soal sidik jari?

Sekali lagi, sidik jari itu tak dalam pembicaraan. Tak ada dalam program resmi. Hanya diusulkan ulama pesantren saat bertemu Kapolres di Ciamis. Kemudian oleh wartawan ditanyakan ke saya dan saya jawab, kenapa negatif pikiran kita. Boleh didengar lagi rekamannya.

Tapi banyak kalangan pondok pesantren yang memprotes?

Apa yang mau diprotes kira-kira? Tak ada yang memerintahkan pengambilan sidik jari? Jadi, yang diprotes itu kesalahpahaman. Polisi tak memerintahkan. Saya juga tidak. Tak ada perintah soal sidik jari, yang minta justru ulama.

Lalu, sebenarnya, sejak kapan kebutuhan pesantren diawasi.

Bukan mengawasi, sebenarnya, tetapi diteliti. Hanya satu, dua, atau tiga pesantren dari 17 ribuan pesantren. Di media, yang berkembang yang 17 ribunya, kata dua atau tiga yang diteliti hilang. Itu biasanya di-cut-nya di daerah. Jadi ada wartawan daerah bertanya, ”Kiai, bagaimana ini semua pesantren mau diawasi?” Nah, hilang konteksnya, kan?

Sebenarnya apa sih latar belakang penelitian itu?

Yang diteliti kan konteks pengajaran. Keputusan pertemuan Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Mekah juga begitu, agar kurikulum pesantren di semua negara Islam diteliti. Kemarin (Selasa—Red.), baca tulisan wakil ketua tim task force Departemen Agama Azyumardi Azra nggak? Katanya, ada kurikulum tersembunyi.

Bisa disebutkan tiga pesantren mana saja itu?

Nggak-lah. Yang jelas ada penelitian dari Departemen Agama. Intinya ada pesantren yang upacara bendara juga sama sekali enggak mau. Itu semua perlu kita pertanyakan, ada apa.

Kesan pengawasan itu terlihat saat di daerah beredar silabus dakwah. Lalu juga adanya halaqoh soal wawasan kebangsaan di delapan pesantren yang akan digelar Departemen Dalam Negeri pada Desember ini?

Pemerintah kan punya kewenangan memperbaiki keyakinan yang salah dari umat. Itu kewajiban pemerintah. Kalau ajaran itu benar, enggak masalah. Jadi, yang diawasi cuma yang salah.

Selama ini sudah terbukti, yang terlibat ujung-ujungnya lulusan pesantren itu-itu saja. Tapi ada kesan bahwa pemerintah ragu-ragu.

Karena itu berdasarkan penelitian, Departemen Agama ke bawah. Lalu tim dari Majelis Ulama juga.

Menurut Anda, ajaran itu sebaiknya dilarang atau tidak?

Jika ajaran itu menyebabkan masalah bagi umat, tentu harus dilarang. Seperti dibikin Noor Din M. Top itulah. Dia tetap Islam, tapi Noor Din mengajarkan orang mau bunuh diri. Dan ini sudah berjalan, lho.

Kenapa tidak dilarang saja, seperti di Malaysia?

Kalau di Malaysia lebih keras. Hasil OKI juga keras. Seluruh dunia Islam melarang. Di Saudi, Kuwait, Mesir. Kita termasuk yang terbuka. Asal ajaran itu tak membinasakan orang. Masalahnya, kita kan tak bisa memeriksa isi kepala tiap orang. Yang bisa kita periksa, jangan sampai ajaran itu membahayakan orang. Tapi itu sudah terjadi. Noor Din dan teman-temannya itu kan membahayakan orang.

Apa yang akan dilakukan pemerintah jika terbukti pesantren itu memberikan pengajaran yang menyimpang?

Tergantung setingkat mana rekomendasi yang diberikan tim dari Departemen Agama itu. Karena intinya dari segi ideologi dan segi tata cara pengajaran, bukan pesantrennya yang dibumihanguskan, tapi ajarannya. Semua ulama dalam pertemuan waktu itu juga sepakat.

Pertemuan yang mana?

Itu lho, pertemuan saya dengan beberapa ulama sewaktu menonton rekaman video Noor Din itu. Para ulama melihat ajaran itu berbahaya, karena Noor Din mengajak orang membunuh siapa saja selama tak sesuai dengannya.

Sebenarnya, sejauh mana pendekatan pemerintah ke pesantren agar mereka berwajah ”damai”?

Sekali lagi, 99,9 persen pesantren berwajah damai. Itu dulu dipahami. Jauh lebih garang mahasiswa di Makassar daripada pesantren ketika berkelahi. Jauh lebih tidak berwajah damai mahasiswa STPDN. Belum pernah ada, antarpesantren bentrok. Jauh lebih ramah. Bahwa satu dua yang keras, iya. Kita kembali ke konteks sebetulnya.

Bagaimana dengan kebijakan melarang buku seperti Ihwanul Muslimin?

Tidak ada pelarangan itu. Hanya buku yang mengajarkan teror, seperti buku Imam Samudra, karena itu berbahaya. Ini masih tahap awal, tapi toh sekarang diminta jangan dicetak lagi, kan?

Bagaimana soal silabus dakwah?

Seluruh dunia Islam memutuskan dibuat silabus kurikulum. Dan Departemen Agama berkewajiban menjaga kurikulum secara nasional. Tak mengatur secara detail. Tentu selama itu tidak berbahaya. Kalau berbahaya, jangan. Pemerintah berkewajiban menjaga bangsa ini aman, dan itu semuanya.

Kalau dakwah perlu diatur juga seperti di Malaysia?

Enggak. Kalau di Malaysia, itu hanya di masjid-masjid pemerintah. Kalau di situ, khatibnya terseleksi. Kalau umum, enggak.

Bagaimana sinyalemen BIN soal pesantren yang diawasi?

Saya belum baca analisis BIN.

Sebenarnya apa agenda pemerintah terhadap umat Islam?

Dalam kasus ini sebenarnya hanya meluruskan makna jihad itu apa. Ini tugas pemerintah. Makna jihad kan bekerja dengan sungguh-sungguh, bentuknya macam-macam. Bisa dengan meningkatkan kesejahteraan umat, membangun peradaban seperti pendidikan, agama, sosial, ekonomi, zakat. Jadi, jangan dimanipulasi dengan mengebom bunuh diri atau bersungguh-sungguh membunuh orang. Itu kan merugikan orang lain dan umat itu sendiri.

Kabarnya, setelah bom Bali II, Anda mengundang salah satu mantan petinggi Laskar Jihad untuk menjelaskan soal terorisme di depan Kepala BIN, Kapolri, dan Departemen Agama?

Ha-ha-ha…. Siapa saja kita undang sebagai narasumber. Banyak sekali. Siapa pun yang layak didengar pikirannya. Dulu, sewaktu saya masih menyelesaikan Poso, teman saya yang keras-keras itu saya kontak lagi dan dengan mereka saya berhubungan dengan baik. Mengetahui pikiran orang kan baik. Anda tak bisa mengetahui cara berpikir tanpa mengetahui alur di belakangnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus