Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Kalangan akademikus dan pegiat demokrasi mendesak Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah tidak melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Selain dinilai tak mendesak dilakukan, revisi UU MK rentan disusupi kepentingan politik menjelang Pemilihan Umum 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru besar hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, ragu akan klaim DPR dan pemerintah bahwa revisi undang-undang ini untuk memperkuat independensi serta akuntabilitas MK. Pasalnya, kata dia, pembahasan sejauh ini condong pada rencana mengatur ulang batas usia dan masa jabatan hakim konstitusi. Revisi malah juga dirancang untuk membuka pintu evaluasi terhadap hakim. "Kalau evaluasi, seharusnya dilakukan terhadap undang-undangnya, bukan hakimnya," ujarnya kepada Tempo, Senin, 27 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, Susi mengatakan, revisi UU MK belum urgen dilakukan saat ini. Dia curiga rencana revisi hanya untuk menyingkirkan hakim-hakim konstitusi yang selama ini bersikap berseberangan dengan pemerintahan dalam pengujian berbagai undang-undang buatan DPR dan pemerintah. Apalagi rencana revisi digeber menjelang pemilihan presiden 2024. "Wajar hal ini ditengarai sarat unsur politis dan konflik kepentingan," katanya.
Susi khawatir revisi UU MK membuahkan aturan yang dampaknya serupa dengan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi setelah diubah secara kontroversial pada 2019. "Sejak UU KPK direvisi, KPK justru melemah," ujarnya.
Komisi III DPR menggelar uji kelayakan dan kepatutan calon hakim Mahkamah Konstitusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 26 September 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Kemarin, Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR, yang membidangi hukum, dijadwalkan melanjutkan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Namun rapat yang sedianya diikuti tim pemerintah ini urung terlaksana.
Rencana revisi UU MK diusulkan Dewan sejak September 2022. DPR kemudian membentuk Panja RUU MK pada Februari lalu. Kala itu rencana revisi direncanakan menyasar empat poin, yaitu batas usia minimal hakim konstitusi, evaluasi hakim konstitusi, unsur keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), serta penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK.
Baca juga:
Merujuk pada draf awal RUU, revisi terdiri atas lima pasal. Empat pasal berisi perubahan dari ketentuan sebelumnya dan satu pasal lainnya merupakan aturan baru. Usulan perubahan yang mencolok menyasar Pasal 15 ihwal batas usia hakim konstitusi yang kini berlaku minimal 55 tahun. Revisi juga akan menghapus Pasal 87 ihwal masa jabatan hakim konstitusi, yang kini paling lama 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun. Adapun pasal baru yang disiapkan tak kalah kontroversial, yakni Pasal 27C yang akan mengatur kewenangan DPR, Mahkamah Agung, dan presiden untuk mengevaluasi hakim konstitusi yang mereka ajukan.
Kepentingan Penguasa di Revisi MK
Pembahasan RUU ini telah melewati dua kali masa persidangan DPR. Mei lalu, rapat Panja Komisi III DPR telah bersepakat dengan perwakilan pemerintah untuk menaikkan usia minimal hakim konstitusi, dari semula 55 tahun menjadi 60 tahun. Namun pembahasannya tak kelar hingga masa sidang I 2023/2024 berakhir pada awal Oktober lalu.
Dewan telah berikrar merampungkan pembahasan revisi UU MK pada masa sidang II yang akan berakhir pada awal Desember mendatang. Namun belakangan fraksi-fraksi di DPR terbelah seiring dengan dinamika politik menjelang pilpres 2024.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Gerindra yang semula kompak dikabarkan mulai berbeda pendapat ihwal substansi revisi. Pecahnya dua penguasa kursi Senayan ini berkaitan dengan pilpres. PDIP memimpin koalisi pengusung pasangan calon Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Sedangkan Gerindra mengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Baca juga:
Direktur Pusat Studi Politik, Hukum, Pemilu, dan Demokrasi Universitas Andalas Feri Amsari sependapat dengan Susi Dwi Harijanti. Feri menilai revisi yang disiapkan DPR dan pemerintah ini sarat kepentingan politik pilpres 2024. Dia menilai revisi UU MK membahayakan kekuasaan kehakiman apabila pembahasannya terus dilanjutkan. "Sebab, para pihak yang terlibat dalam revisi ini bagian dari proses pemilihan presiden 2024," ucapnya, kemarin.
Feri curiga revisi UU MK disiapkan oleh kepentingan politik tertentu untuk menghadapi sengketa pemilu, yang penyelesaiannya bergantung pada palu hakim konstitusi. "Kalau undang-undangnya sudah diutak-atik, ini tentu mengganggu independensi MK," ujarnya.
Mahkamah Konstitusi (MK) di gedung MK, Jakarta, 13 November 2023. ANTARA/Hafidz Mubarak A.
Diduga Membidik Hakim yang Kritis
Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan pembentuk undang-undang semestinya menghentikan pembahasan revisi UU MK karena tak ada urgensi yang mendasarinya. Jika dilanjutkan, dia khawatir revisi undang-undang hanya akan membuat MK semakin terpuruk. Dia mengingatkan kredibilitas lembaga penjaga konstitusi itu kini tengah diperjuangkan untuk kembali mendapatkan kepercayaan publik setelah tercoreng oleh kasus pelanggaran etik Anwar Usman.
"Kalau MK saja bisa diintervensi, kepada siapa lagi kita akan percaya?" kata Castro—Herdiansyah akrab dipanggil. Ia sependapat dengan pernyataan bekas Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, yang menyebutkan revisi UU MK bakal dimanfaatkan untuk menyalahgunakan instrumen hukum demi memenangkan salah satu pasangan calon dalam pilpres 2024.
Baca juga:
Sebelumnya, Denny menyatakan rencana perubahan pasal batas usia hakim konstitusi membidik hakim konstitusi Saldi Isra, yang kini berusia 58 tahun. "Dia dianggap bad boy dalam konteks pilpres 2024," ujarnya. Dalam putusan sejumlah perkara uji materi undang-undang, Saldi memang bersikap berseberangan dengan kepentingan DPR dan pemerintah, seperti pada pengujian Undang-Undang Cipta Kerja.
Terakhir kali, Saldi juga menjadi satu dari empat hakim konstitusi yang menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) dalam uji materi aturan tentang batas usia capres-cawapres. Dalam putusan perkara itu, Saldi tak hanya menolak permohonan uji materi—meski kalah suara dari lima hakim konstitusi lainnya—tapi juga menguak kejanggalan dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan yang dipimpin Anwar Usman, paman Gibran Rakabuming Raka.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) memimpin sidang pleno di gedung MK, Jakarta, 13 November 2023. ANTARA/Hafidz Mubarak A.
Reaksi Fraksi Masih Bervariasi
Tempo berupaya meminta penjelasan dari Ketua Panja RUU MK Adies Kadir. Namun Adies, yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, tak merespons pertanyaan tentang kelanjutan pembahasan revisi UU MK. Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan yang bakal menjadi hakim konstitusi, Arsul Sani, setali tiga uang.
Pandangan rada kencang mulai dilontarkan Ahmad Ali, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai NasDem. Menurut dia, NasDem tidak menggebu-gebu melanjutkan pembahasan revisi UU MK. "Karena belum ada urgensinya," katanya. Namun dia mempersilakan jika fraksi dan kader partai lain punya pandangan berbeda. "Dinamika itu hal yang biasalah."
Adapun Ketua Kelompok Fraksi Partai Demokrat di Komisi III DPR, Santoso, menegaskan bahwa Dewan dan pemerintah belum mengambil keputusan apa pun dalam pembahasan revisi UU MK. "Jadi belum diketahui siapa yang menerima dan menolak," ujarnya.
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo