Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik membawa harapan bagi Indonesia untuk merdeka. Negara yang menjuluki diri Nipon Cahaya Asia itu menyerah pada 14 Agustus 1945. Tiga hari berselang, 17 Agustus 1945, Sukarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa menyatakan Indonesia merdeka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas mengapa Sukarno atau Bung Karno memilih tanggal 17 Agustus untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar kekalahan Jepang membuat para pejuang bergejolak untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun mereka berbeda pendapat mengenai tanggal pelaksanaan. Akibatnya terpecahlah menjadi dua kubu: golongan tua dan golongan muda. Mereka yang muda menginginkan proklamasi segera digelar.
Dilansir dari Setneg.go.id, perbedaan pendapat itu membawa perdebatan pada 15 Agustus malam di kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Para pemuda mendesak Bung Karno untuk melakukan revolusi malam itu juga. Mereka meyakinkan Bung Karno, ribuan pasukan bersenjata siap mengepung kota. Perdebatan itu dikisahkan dalam buku Lasmidjah Hardi dan Ahmad Soebardjo.
“Sekarang Bung, sekarang! Malam ini juga kita kobarkan revolusi!” kata Chaerul Saleh.
Bahkan desakan itu diiringi dengan ancaman. Para pemuda mengultimatum Bung Karno. Tokoh pemuda bernama Wikani menyebut jika revolusi tak dilakukan malam itu juga, akan berakibat terjadinya pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari. Mendengar ancaman itu, Bung Karno naik pitam. Dia meminta Wikani untuk memotong lehernya.
“Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari!” tukas Bung Karno.
Mohammad Hatta alias Bung Hatta yang juga hadir malam itu mengingat para pemuda. Menurutnya Jepang adalah masa lalu. Justru yang perlu dikhawatirkan adalah kembalinya Belanda ke Indonesia. Bung Hatta bahkan menyuruh kelompok pemuda untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia jika sanggup.
Para pemuda tak menggubris peringatan Bung Hatta. Mereka tetap mendesak dan berargumen bahwa jika tidak segera dilakukan deklarasi, mereka khawatir Jepang akan memberikan kemerdekaan sebagai hadiah. Pada pemuda berkeinginan proklamasi diumumkan oleh rakyat sebagai suatu bangsa. Bukan pemberian dari penjajah yang telah kalah perang.
Namun, Bung Karno dan Bung Hatta tetap pada pendirian untuk tak tergesa mengumandangkan deklarasi kemerdekaan. Bung Hatta menolak usulan melakukan revolusi malam itu. Alasannya: kurang perhitungan dan mungkin timbul banyak korban jiwa dan harta. Mendengar itu, para pemuda tampak tak puas. Mereka kemudian menculik Bung Karno dan Bung Hatta agar tak dipengaruhi Jepang.
Pada 16 Agustus dini hari, keduanya diboyong ke Rengasdengklok, kota kecil dekat Karawang, Jawa Barat. Bung Karno, sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi, mengaku amat kecewa dengan tindakan itu. Tetapi melihat keadaan yang memanas. Bung Karno akhirnya manut. Istrinya, Fatmawati dan putra mereka, Guntur Soekarnoputra ikut serta. Peristiwa penculikan ini dijuluki Peristiwa Rengasdengklok.
Alasan Bung Karno pilih tanggal 17 Agustus untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
Upaya mendesak Bung Karno dan Bung Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia masih tak membuahkan hasil. Meski sehari penuh di Rengasdengklok, para pemuda tak cukup berani untuk menekan kedua tokoh itu. Siang, 16 Agustus, perdebatan panas kembali terjadi di sebuah pondok bambu di tengah persawahan. Ancaman huru-hara kembali diutarakan jika malam itu juga tak digelar revolusi.
“Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu-” ancam salah satu dari mereka.
Namun perkataan itu terhenti seketika saat Bung Karno beranjak dari duduknya. “Lalu apa?” ketus Bung Karno dengan kemarahan memuncak. Mereka semua terkejut dan ciut nyali. Setelah suasana kembali tenang, Bung Karno kemudian menjelaskan alasannya menunda proklamasi. Menurutnya, dalam sebuah revolusi, waktu yang tepat merupakan aspek terpenting.
“Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini (proklamasi kemerdekaan) untuk dijalankan tanggal 17,” kata Bung Karno dengan tenang.
Seorang tokoh pemuda bernama Sukarni memberanikan diri bertanya mengapa harus tanggal 17 Agustus. “Mengapa tidak sekarang saja atau tanggal 16?” tanya Sukarni. Bung Karno pun menjelaskan alasan dirinya memilih tanggal tersebut sebagai hari untuk mengumandangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dia mengaku sebagai orang yang percaya mistik.
“Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik,” kata Bung Karno.
Menurut Bung Karno, angka 17 adalah angka suci. Ada nilai spiritual yang diyakininya pada angka tersebut. Dia berpendapat banyak kebetulan yang berhubungan dengan angka 17. Misalnya, Al-Quran diturunkan pada 17 Ramadan. Juga dalam sehari umat Islam salat sebanyak 17 rakaat. Karena itu baginya angka 17 bukan angka sembarangan. Sehingga menambah kesakralan jika dijadikan tanggal proklamasi kemerdekaan.
“Al-Quran diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia,” kata Bung Karno.
Selain itu, 17 Agustus 1945 saat itu jatuh pada hari Jumat di bulan Ramadan. Menurut Bung Karno, hari Jumat merupakan hari istimewa dalam Islam. Hari Jumat di bulan Ramadan disebutnya sebagai hari paling suci. Apalagi kala itu tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan Jumat Legi. Ini adalah tanggalan menurut kalender Jawa. Bagi Bung Karno Jumat Legi merupakan hari berbahagia.
“Tanggal 17 besok hari Jumat. Hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci,” kata Sukarno.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | ANDIKA DWI | LALA DITA PANGESTU