Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Alinea Baru Mantan Ketua

Anas Urbaningrum dituduh menerima gratifikasi dari sejumlah proyek. Buktinya telak.

20 Januari 2014 | 00.00 WIB

Alinea Baru Mantan Ketua
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SEPEKAN sebelum Kongres Partai Demokrat di Bandung pada 21-23 Mei 2010, empat pria berkumpul di sebuah restoran di pusat belanja Cilandak Town Square, Jakarta Selatan. Mereka adalah Munadi Herlambang, Teuku Bagus Mohammad Noor, Muhammad Sofie, dan seorang karyawan PT Adhi Karya. Penggagas pertemuan itu Munadi.

Munadi adalah anggota tim sukses Anas Urbaningrum, yang bersaing memperebutkan posisi Ketua Umum Demokrat. Ia mengajak Teuku Bagus, Kepala Divisi Konstruksi I PT Adhi Karya; dan Sofie, Direktur Keuangan PT Bio Farma, bertemu untuk urunan dana pemenangan Anas. Kabarnya, Munadi meminta Adhi Karya menyumbangkan Rp 1,5 miliar.

Ihwal permintaan Munadi sebesar Rp 1,5 miliar itu diakui Teuku Bagus dalam dokumen pemeriksaan. Erman Umar, pengacara Teuku Bagus, tak menyanggah atau membenarkan ada keterangan demikian dari kliennya. "Kita lihat saja di persidangan," kata Erman, Jumat pekan lalu.

Sepekan setelah pertemuan Citos—nama beken Cilandak Town Square—Teuku Bagus mengutus anak buahnya berangkat ke Bandung untuk mengantarkan Rp 500 juta. Di Bandung, anggota Partai Demokrat sudah bersiap-siap menggelar kongres. Menurut sumber, anak buah Teuku Bagus tak langsung menyerahkan duit ke Munadi, tapi lewat Muhammad Sofie. Duit diserahkan di pintu tol Pasteur, Bandung. Selanjutnya, Sofie menyerahkan uang itu ke Munadi.

Di Adhi Karya, pengeluaran tersebut tercatat pada 19 Mei 2010. Berbentuk "bon sementara", pengeluaran itu dicatat sebagai "M3 AU". "M3" adalah kode marketing fee di Adhi Karya. "AU" untuk menyingkat nama Anas Urbaningrum. Pengeluaran ini diperhitungkan sebagai "sumbang suara BF". Maksudnya, sumbangan untuk Anas di kongres dibebankan pada proyek pembangunan gedung administrasi PT Bio Farma senilai Rp 30 miliar yang dikerjakan Adhi Karya.

Munadi Herlambang belum bisa diwawancarai untuk dimintai konfirmasi soal ini. Tapi, kepada Tempo, Munadi pernah menyangkal pertemuan di Citos. "Tidak bisa asal ngomong, dong. Kalau asal ngomong, ya, semua juga bisa," ujarnya. Sofie juga membantah ada penyerahan uang ke Kongres Demokrat. "Enggak ada, enggak ada," katanya beberapa waktu lalu.

Tak cuma sekali Adhi Karya mengucurkan duit untuk keperluan "AU" yang dibebankan pada proyek Bio Farma. Pengeluaran pada 1 Juni 2010 sebesar Rp 500 juta dan 18 Juni 2010 senilai Rp 500 juta juga tercatat di "bon sementara". Di luar itu, Anas diduga menerima Rp 500 juta dari Adhi Karya pada 19 April 2010 dari "proyek gedung DPR"—belakangan batal dibangun. Anas juga disebut menerima Rp 200 juta dan Rp 10 juta pada akhir 2010.

Inilah sebagian sangkaan lain buat Anas. Setelah dia ditahan pada Jumat dua pekan lalu, para pendukungnya masih riuh menanyakan pasal yang dituduhkan. Dalam surat perintah penyidikan, mantan Ketua Umum Demokrat itu dijadikan tersangka "gratifikasi Hambalang dan proyek-proyek lain". Frasa "proyek-proyek lain" memang tak dirinci oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sumber Tempo mengatakan sumbangan Adhi Karya dari proyek Bio Farma tadi masuk "proyek-proyek lain".

Dalam kasus Hambalang, Anas disebut menerima Toyota Harrier pada masa awal dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Muhammad Nazaruddin, pemilik kelompok usaha Grup Permai, uang untuk membeli Harrier berasal dari PT Adhi Karya sebagai imbalan buat memuluskan anggaran Hambalang, tapi disalurkan kepada Anas lewat perusahaannya. Anak buah Nazaruddin sendiri yang membelikan mobil itu pada Oktober 2009.

Anas berulang kali membantah pernah menerima duit dari Hambalang, juga dari "proyek-proyek lain". "Mana buktinya? Tunjukkan bentuknya seperti apa pemberian uang tersebut, kapan, siapa yang mengantar," ujar Anas kepada Sundari dari Tempo, November lalu. Ketika diperiksa KPK pada Jumat pekan lalu, Anas berkata, "Ini alinea awal untuk menemukan keadilan dan kebenaran." Pengacaranya, Firman Wijaya, mengatakan Anas hanya bersedia diperiksa penyidik soal Hambalang. "Pertanyaan soal proyek-proyek lain enggak akan dijawab," ujarnya.

Sesungguhnya masih banyak yang belum terjawab dalam kasus proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Bogor. Ketika mulai bernyanyi soal keterlibatan Anas, Nazaruddin mengatakan Adhi Karya sebenarnya membayar fee Rp 100 miliar untuk mendapatkan proyek Hambalang. Menurut Nazaruddin, Rp 50 miliar mengalir ke Kongres Demokrat. Separuhnya lagi mengucur ke Dewan Perwakilan Rakyat serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Setoran Rp 100 miliar terhitung "wajar" karena Nazaruddin sendiri sering meminta komisi hingga 30 persen dari total nilai proyek. Bujet konstruksi fisik Hambalang Rp 1,2 triliun. Ditambah anggaran untuk peralatan yang kelak mengisi gedung, totalnya Rp 2,5 triliun. Sampai Anas ditahan, KPK belum berhasil mengungkap aliran duit tersebut. Padahal petunjuknya ada dari audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan terhadap proyek Hambalang.

Setelah kontrak proyek Hambalang diteken pada 10 Desember 2010, Kerja Sama Operasi Adhi-Wika, kongsi PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya, menerima pembayaran uang muka dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebesar Rp 217 miliar. Uang diterima KSO Adhi-Wika pada 28 Desember tahun itu. Setelah menerima uang muka, pada hari itu pula KSO mentransfer Rp 12,39 miliar ke Adhi Karya, perusahaan induknya.

Teuku Bagus Muhammad Noor sudah mengakui bahwa uang Rp 12,39 miliar itu untuk menutup ijon proyek Hambalang ke Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Dewan Perwakilan Rakyat. Jauh sebelum Hambalang dibangun, Adhi Karya sudah merogoh uang pelicin. Pengeluaran tersebut tak dicatat di buku akuntansi. Disiasati dengan "bon sementara", pengeluaran dicatat sebagai "pembayaran kepada ­vendor".

Sehari setelah mendapat uang muka, atau 29 Desember 2010, KSO Adhi-Wika mentransfer Rp 70 miliar ke Adhi Karya dan Rp 30 miliar ke Wijaya Karya—bila dijumlahkan, totalnya Rp 100 miliar, persis dengan angka yang disebut Nazaruddin.

Seperti transfer sebelumnya, pengiriman uang ke perusahaan induk kali ini patut diduga untuk menutup pengeluaran pada 2010.

Indikasi makin kuat karena sepanjang 2011, sejak Januari hingga Desember, Adhi Karya dan Wijaya Karya mengembalikan utuh uang itu. Duit Rp 70 miliar dan Rp 30 miliar dikembalikan dalam beberapa tahap. Dengan kata lain, transfer pada akhir 2010 itu untuk mengejar tutup buku. Sebab, bila tak ditambal, bolong pada pembukuan Adhi Karya dan Wijaya Karya bisa ketahuan pada saat diaudit.

Sayangnya, KPK dan BPK tak mengejar keanehan itu. BPK, misalnya, cukup puas dengan jawaban direksi Adhi Karya. Menurut direksi, penempatan dana di perusahaan induk pada saat tutup buku dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja keuangan perusahaan induk sesuai dengan surat edaran yang dibuat 18 November 2010. Dalam surat itu, divisi-divisi di bawah Adhi Karya diminta menyetorkan dana di rekening KSO-KSO ke rekening kantor pusat.

Anton Septian, Prihandoko, Muhammad Rizki, Nur Alfiyah


Misteri Duit Rp 100 Miliar

NAZARUDDIN menyebut PT Adhi Karya mengijon Rp 100 miliar untuk mendapatkan proyek Hambalang. Separuh mengalir ke Kongres Demokrat, sisanya dibagi-bagi ke Dewan Perwakilan Rakyat serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.

2010

21-23 Mei
Kongres Partai Demokrat di Bandung.

10 Desember
Kontrak proyek diteken pejabat pembuat komitmen dari Kementerian Pemuda dan Olahraga, Deddy Kusdinar; serta Ketua KSO Adhi-Wika yang juga Kepala Divisi Konstruksi I PT Adhi Karya, Teuku Bagus Muhammad Noor.

14 Desember
PT Dutasari Citralaras milik Machfud Suroso mendapat subkontrak dari KSO Adhi-Wika.

28 Desember
- KSO Adhi-Wika menerima pembayaran uang muka Rp 217 miliar.
- Transfer Rp 13,3 miliar dari KSO ke PT Dutasari.
- Transfer Rp 12,39 miliar dari KSO ke PT Adhi Karya.
- Transfer Rp 6,92 miliar dari KSO ke PT Wijaya Karya.

29 Desember
- Transfer Rp 25 miliar dari KSO ke PT Dutasari.
- Transfer Rp 70 miliar dari KSO ke
- PT Adhi Karya.
- Transfer Rp 30 miliar dari KSO ke
- PT Wijaya Karya.

2011

Januari
Transfer Rp 25 miliar dalam empat tahap dari KSO ke PT Dutasari.

Februari-Desember
- PT Adhi Karya secara bertahap mengembalikan Rp 70 miliar ke KSO Adhi-Wika.
- PT Wijaya Karya secara bertahap mengembalikan Rp 30 miliar ke KSO Adhi-Wika.

Teks: Anton Septian, Sumber: Audit BPK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus