Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Aneka Perkara Kandidat Bhayangkara

Calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi dari kepolisian disorot karena sejumlah kasus lama. Tak digali maksimal oleh panitia seleksi.

31 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPOLISIAN adalah seluruh denyut kehidupan Yotje Mende, calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Sepanjang usia mantan Kepala Kepolisian Daerah Papua ini dihabiskan bersama korps Bhayangkara. Dia lahir dari keluarga polisi. Selama 34 tahun berkarier di kepolisian, pensiunan inspektur jenderal ini memegang berbagai jabatan strategis, yang sebagian besar di unit reserse. Istrinya, Sri Sayekti, polisi wanita yang juga berasal dari keluarga polisi. Anaknya pun menjadi anggota kepolisian.

Latar belakang itu merisaukan dua anggota panitia seleksi, Natalia Subagyo dan Supra Wimbarti. Natalia khawatir Yotje tak bisa obyektif terhadap kepolisian karena alam pikirnya dinaungi spirit korps baju cokelat. "Apa yang terjadi jika ada kasus korupsi melibatkan kepolisian?" tanya Natalia kepada Yotje dalam tes wawancara, Rabu pekan lalu.?Sedangkan Supra Wimbarti khawatir kultur kepolisian, yang menerapkan garis komando, terbawa ke KPK, yang mengedepankan prinsip egaliter dan kolektif kolegial. Supra cemas Yotje terkaget-kaget ketika terpilih menjadi pemimpin komisi antirasuah. "Kan, selama 34 tahun berkarier di garis komando terus," ujar Supra.

Yotje menampik keraguan tersebut. Dia yakin mampu beradaptasi dengan iklim KPK. Mantan Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau ini berjanji obyektif jika ada kasus korupsi yang membelit korps yang membesarkannya itu. Penegakan hukum, kata dia, mesti dilaksanakan dengan konsekuen. "Pelanggaran sekecil apa pun akan tetap kami proses."

Yotje merupakan nama perwira kepolisian, selain Basaria Panjaitan, dalam 19 nama calon pemimpin yang lolos seleksi tahap akhir. Panitia bakal memilih delapan nama dan menyerahkannya ke Presiden Joko Widodo pada pekan ini. Yotje dicecar aneka pertanyaan dan mesti memberi banyak klarifikasi atas sejumlah tudingan. Jadwal seleksi wawancara yang seharusnya berlangsung sejam pun molor 15 menit.

Salah satu kasus yang disinggung adalah pembabatan hutan lindung Gunung Betina oleh PT Karimun Granite pada 2007. Mulanya, kasus ini ditangani Kepolisian Resor Karimun, tapi kemudian diambil alih Direktorat Kriminal Umum Polda Kepulauan Riau, yang kala itu dipimpin Basaria Panjaitan. Basaria hanya menetapkan general manager dan manajer operasional sebagai tersangka. Adapun direktur utama, yang berkewarganegaraan Singapura, melarikan diri. Izin operasi PT Karimun pun dihentikan.

Empat tahun kemudian, perusahaan tambang itu beroperasi kembali atas rekomendasi Polda Kepulauan Riau. Kelanjutan kasus ini, ketika Yotje menjabat kepala kepolisian setempat, dipertanyakan Natalia Subagyo. Namun penyidikan kasus ini tak diteruskan. Alasannya, kata Yotje, dia tak pernah menerima laporan tentang kasus ini. Lagi pula, selama menjabat, dia hanya menangani perkara lima tahun ke belakang. "Kasus itu tak pernah disinggung saat saya menjadi kapolda," Yotje berkelit.

Kritik lain terhadap Yotje adalah kemalasan melaporkan harta kekayaan. Harkristuti Harkrisnowo mencatat Yotje terakhir kali melaporkan hartanya pada 2007. "Atau tak perlu melaporkan kekayaan," Harkristuti menyindir. Yotje berdalih, dia baru menerima formulir pada tiga pekan lalu, sesaat setelah melepaskan jabatan Kepala Polda Papua. "Waktunya sangat mepet," dia berkilah. "Kan, bisa diunduh," Harkristuti menyergah. Menurut Yotje, dia tak pernah merasa melanggar hukum. "Tapi bukan berarti kami sengaja, mungkin lupa."

Harkristuti juga mencecar Yotje soal sejumlah transaksi yang tak sesuai dengan profilnya sebagai anggota kepolisian pada 2013. "Lalu lintas rekening Anda ramai sekali," ujar Harkristuti. Yotje mengatakan, waktu itu, transaksi di rekeningnya mencapai angka Rp 1,3 miliar. Dia beralasan memiliki minimarket Skymart di Sorong dan usaha penyewaan kendaraan di Gorontalo.

Ketika itu, kedua usahanya menangguk keuntungan besar. Tokonya bisa menghasilkan uang hingga Rp 600 juta setahun. Sedangkan penyewaan mobil bisa mencapai angka Rp 300-400 juta per tahun. "Kami memiliki tujuh unit mobil atas nama pengelola," katanya. Yotje memberikan sejumlah dokumen untuk mendukung pernyataannya itu. "Masih kami pelajari," ujar ketua panitia seleksi Destry Damayanti.

Sementara Yotje dicecar soal rekening, panitia luput mempertanyakan harta kekayaan Basaria Panjaitan. Padahal, per Juni 2015, total kekayaan Basaria mencapai angka Rp 9,8 miliar, lebih tinggi ketimbang kekayaan Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti, yang hanya Rp 8,2 miliar. Sebagian besar harta Basaria terdiri atas tanah, yang tersebar dari Medan, Batam, Tangerang, Bekasi, hingga Lombok.

Persoalan lain yang membelit Basaria adalah kasus Susandhi Sukatma alias Aan, karyawan PT Maritim, perusahaan perikanan yang beroperasi di Tual, Maluku. Pada Desember 2010, Aan dipanggil ke lantai delapan Gedung Artha Graha, Jakarta. Pemanggilan ini berkaitan dengan penyelidikan Polda Maluku atas dugaan kepemilikan senjata api bekas Direktur Utama PT Maritim David Tjioe. Ketika diinterogasi itulah Aan disiksa. Kejadian ini disaksikan Direktur Reserse Kriminal Polda Maluku Komisaris Besar Jhonny Siahaan dan dua anak buahnya, Jhoni Wattimanela dan Obed Tutuarima.

Aan kemudian diperiksa polisi di tempat yang sama. Saat itulah polisi menemukan serbuk ekstasi di dompetnya. Temuan ini lalu dilaporkan ke Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya. Belakangan, Aan mengadukan penganiayaan terhadapnya ke Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Polri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.

Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri kala itu, Inspektur Jenderal Oegroseno, menemukan dugaan pelanggaran etika dalam penanganan kasus Aan. Ketika memeriksa saksi di wilayah hukum lain, kata Oegroseno, penyidik seharusnya berkoordinasi dengan kepolisian setempat. Penggeledahan pada Aan juga melanggar Peraturan Kepala Polri tentang Implementasi Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan Tugas Kepolisian.

Pernyataan Oegroseno justru dibantah Basaria, yang saat itu menjadi anak buahnya. Pada Februari 2010, Basaria menyurati Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bahwa tiga penyidik Polda Maluku tak terbukti melanggar etika karena membiarkan adanya penganiayaan terhadap Aan. "Karena tidak ada saksi pendukung yang melihat anggota Polda Maluku di tempat kejadian," tulis Basaria.

Seorang pejabat kepolisian menuturkan, Basaria tak pernah meminta izin Oegroseno saat mengeluarkan surat ini. Bahkan, kata pejabat ini, soal dugaan pelanggaran etika bukan kewenangan provos, melainkan pusat pertanggungjawaban profesi. "Provos tidak memutuskan polisi melanggar etika atau tidak," kata pejabat ini. Saat dimintai konfirmasi soal kasus ini kembali, Oegroseno enggan berbicara detail. "Saya sedang rapat," ujarnya.

Basaria belum bisa dimintai konfirmasi tentang surat itu. Pesan pendek dan panggilan telepon Tempo tak dibalas. Sedangkan kuasa hukum Aan, Edwin Partogi Pasaribu, yang kini menjadi anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, pun enggan memberikan keterangan. "Saya tak bersedia berkomentar," kata Edwin. Meskipun Basaria menyatakan tak ada pelanggaran etika, Polda Maluku justru memutuskan sebaliknya: Jhonny Siahaan dan anak buahnya terbukti melanggar kode etik kepolisian.

Wayan Agus Purnomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus