Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pihak turut menanggapi keputusan Presiden Prabowo Subianto yang akan memberikan amnesti kepada sekitar 44 ribu narapidana atau napi, mulai dari pengguna narkotika hingga tahanan politik atau tapol Papua. Adapun rencana itu disampaikan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas usai rapat dengan Prabowo dan sejumlah menteri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Selanjutnya kami akan meminta pertimbangan kepada DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Apakah DPR nanti dinamikannya seperti apa? Kita tunggu setelah resmi kami mengajukannya kepada parlemen untuk mendapatkan pertimbangan,” ujar Supratman saat memberikan keterangan pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 13 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berikut sederet tanggapan para pihak ihwal Prabowo beri amnesti 44 ribu napi:
1. Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle
Direktur Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan meminta Prabowo meniru Presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie dalam memberikan pengampunan atau penghapusan hukuman. Menurutnya, Habibie lebih fokus pada kasus politik di era lalu.
“Habibie saat itu menggunakan hak amnesti kepada kelompok politik yang dipenjara Soeharto, seperti Sri Bintang Pamungkas, Xanana Gusmao, Budiman Sudjatmiko, Timsar Zubil, dan ratusan tahanan politik lainnya,” ujar Syahganda dalam keterangannya, Sabtu, 14 Desember 2024.
Pihaknya juga menyayangkan Menhum yang lebih berorientasi dan fokus pada tahanan kriminal, yang merupakan sampah masyarakat. Menurut dia, hak amnesti, abolisi, dan grasi yang dimiliki presiden harus diutamakan untuk kebutuhan menegakkan demokrasi dan HAM.
Syahganda yang juga menjadi Koordinator Persaudaraan Tahanan Politik (Tapol/Napol) era Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi ini meminta agar Prabowo memberikan abolisi dan atau amnesti kepada semua tahanan politik yang terjadi selama era Jokowi, baik yang masih di penjara seperti Gus Nur dalam kasus ijazah palsu maupun yang telah keluar penjara.
“Sebagian besar mereka merupakan pendukung garis keras Prabowo di era penangkapan itu, seperti Mayjend (purn) Sunarko, Laksamana Madya (purn) Sony, Zainuddin Arsyad, dan Eko Suryo Santjojo. Sepantasnyalah Prabowo memprioritaskan urusan kasus politik, bukan kriminal,” ucapnya.
2. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mendesak pemerintah untuk tetap transparan dan akuntabel ketika memberikan amnesti kepada 44.000 napi. Maidina menyebut transparansi diperlukan supaya publik tetap bisa mengkritisi langkah pemberian amnesti itu.
“ICJR pada dasarnya menyepakati segala langkah yang dilakukan atas dari kemanusiaan dan hak asasi manusia, apalagi yang ditujukan untuk mengakhiri kriminalisasi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi,” ujar Maidina dalam keterangannya, Ahad, 15 Desember 2024.
Maidina mengatakan, teknis pemberian amnesti kudu dirumuskan dalam peraturan untuk menjamin standardisasi pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti, sampai dengan diusulkan ke Presiden dan dipertimbangkan oleh DPR. Selain itu, penilaian juga harus berbasiskan hasil pembinaan yang memperhatikan aspek psikososial dan kesehatan.
3. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai rencana pemberian amnesti untuk sekitar 44 ribu narapidana harus diawasi dengan saksama. Ketua YLBHI Muhamad Isnur, mengatakan proses pemberian amnesti harus dilakukan dengan indikator yang jelas.
“Kemudian target tujuan yang kira-kira terukur gitu. Dan sesuai dengan tujuan kemanusiaan dan keadilan. Karena apa? Karena kita khawatir ya ada kira-kira duga-dugaan atau upaya conflict of interest di dalam pemerintah amnesti ini,” ujar Isnur, Ahad.
4. Pengamat politik
Pengamat politik Rocky Gerung menyebut langkah amnesti terhadap 44 ribu napi merupakan bagian dari upaya Prabowo untuk membuka ruang demokrasi yang lebih luas, dengan menghapus kebijakan represif dari era pemerintahan sebelumnya.
“Ini adalah kesempatan bagi Prabowo untuk menunjukkan bahwa pemerintahan barunya tidak akan mengulang kesalahan dalam merespons kritik politik,” kata Rocky dalam video di kanal Youtube-nya Rocky Gerung Official yang diunggah pada Ahad.
Menurut Rocky, amnesti bukan hanya ihwal pembebasan tahanan tetapi juga tentang merevisi kebijakan yang membatasi kebebasan berpendapat, seperti UU ITE. Rocky menilai bahwa amnesti yang diberikan kepada mereka yang terjerat kritik terhadap pemerintah adalah langkah simbolik dalam menegakkan kebebasan sipil.
“Ini adalah langkah awal untuk memastikan bahwa perbedaan pendapat dapat disuarakan tanpa ketakutan akan tindakan represif. Kita melihatnya sebagai bagian dari reformasi besar yang diinginkan banyak pihak,” kata Rocky.
5. Pakar hukum pidana
Menanggapi keputusan Prabowo, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, terminologi amnesti seharusnya diterapkan kepada mereka yang melakukan tindak pidana secara politis, atau memiliki ideologi yang bertentangan dengan pemerintah. Artinya tidak sembarang napi bisa diamnesti.
“Karena pertimbangannya tidak ideologis ya, maka tentu saja amnesti ini harus diberikan pada mereka-mereka yang hukumannya ringan,” kata Fickar, Ahad lalu.
6. Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Al-Washliyah (PP GPA)
Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Al-Washliyah (PP GPA), Aminullah Siagian setuju terhadap kebijakan pemberian amnesti yang dirancang oleh Presiden Prabowo. Aminullah menilai, kebijakan ini merupakan langkah strategis yang tidak hanya menunjukkan sisi kemanusiaan, tetapi juga menjadi pijakan penting menuju rekonsiliasi nasional.
“Kami memberikan apresiasi setinggi-tingginya serta mendukung penuh kepada Presiden Prabowo Subianto atas kebijakan amnesti ini. Ini dapat menyatukan elemen-elemen bangsa, sehingga pemerintah bisa lebih fokus pada pembangunan ekonomi, swasembada pangan, swasembada energi, dan program makan bergizi gratis untuk mencerdaskan anak-anak negeri,” kata Aminullah di Jakarta, Ahad.
Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.