TANAH bisa menjadi sumber nafkah, tapi bisa juga pemicu prahara. Yang terakhir ini pula yang memicu 500 penduduk Desa Cijayanti, Citeureup, Bogor, kalap. Bak kerasukan setan, mereka menyerbu base camp dan gudang PT Light Instrumenindo (LI) di kampung itu Kamis sore pekan lalu. Ada yang menggenggam golok, celurit, garpu tanah, dan korek api. Menyaksikan gerombolan penyerang, 40 satpam PT LI memilih kabur dengan dua mobil. Namun massa sudah menyimpan berang tak kepalang. Tak ada orang, tiga bangunan dan barang PT LI pun kena amukan. Dari keriuhan massa terdengar ada yang berteriak, ''Bakar, bakar!'' Maka bangunan itu pun cepat menyala. Tiga mobil dan lima truk ringsek dilanda amukan. Keberingasan itu baru bisa diredam setelah aparat keamanan turun tangan. Seorang penduduk, Suwandi, terpaksa menginap sampai pekan ini di sel polisi Citeureup. Ia disangka sebagai penggerak amuk massa itu. Di tempat kejadian, sampai Sabtu sore pekan lalu, asap dan bangkai mobil masih mewarnai amarah massa tadi. Menurut seorang penduduk, serangan spontan meledak sebagai aksi balas dendam. Waktu itu, Abdullah, menantu, dan tiga anaknya usai menggarap sawah. Tak dinyana mereka dihadang 15 satpam PT LI yang membawa senjata tajam dan pentungan. Para satpam itu merampas alat pertanian dan menghajar Abdullah bersanak. Tentu saja perkelahian tak seimbang. Dalam keadaan luka parah, mereka melarikan diri. Di tubuh Abdullah, 70 tahun, setidaknya ada enam luka bacokan golok. Kini ia masih dirawat di Rumah Sakit PMI, Bogor. Aksi keributan itu agaknya tak lepas dari urusan tanah garapan. Empat ratus petani di situ mengaku sudah bertahun-tahun menggarap tanah seluas 150 ha bekas milik PTP XI. Belakangan tanah itu dibeli PT Dasamas Bhakti Persada (DBP), dan kemudian ditambah 100 ha lagi yang tak digarap penduduk. Sementara itu PT LI juga membeli tanah seluas 450 ha dari PTP XI. November lalu DBP mengizinkan penduduk mengolah bekas tanah garapan mereka. Namun kegiatan para penggarap berbenturan dengan proyek agrowisata dan padang golf yang sedang dikerjakan PT LI. Mungkin lantaran batas lahan antara tanah milik PT LI dan PT DBP tak jelas. Kecuali itu PT LI tak kunjung membereskan ganti rugi kepada para penggarap. PT LI membuldozer dan menanami tanahnya dengan pohon palem. Beberapa bulan kemudian penduduk tak berani mengusiknya. Sampai Senin pekan lalu beberapa penggarap mulai menanam pohon pisang. Maka sejumlah satpam PT LI mengancam dan mengusir mereka. Tanamannya juga diobrak-abrik. Terlepas dari muasal kasus itu Kepala Kepolisian Bogor Letkol Andi Hasanudin menyayangkan tindakan PT LI. Karena perusahaan itu kurang simpati, penduduk jadi antipati. Begitupun, ''Kami juga tak bisa menolerir perusakan oleh penduduk,'' ujar Andi Hasanudin. Sementara itu PT LI, menurut Pipiet Wahyu Palupi, legal officer- nya, mengaku telah memberi santunan atas tanaman kepada petani penggarap tahun 1990. Sedangkan untuk ''petani berdasi'', perusahaan itu menitipkan santunan konsinyasi lewat Pengadilan Bogor. Dan pengadilan, katanya, sudah menyetujui PT LI meneruskan kegiatan pembangunan lapangan golf itu. Mengenai kemungkinan tumpang tindih batas tanah dengan PT DBP, menurut Pipiet, sudah jelas tercantum dalam sertifikat. Happy Sulistyadi, Taufik Abriansyah (Bandung), dan Sri Wahyuni (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini