Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Serbuan panitia 25

Kompleks pemakaman kiai imam suhada di wonorejo, sukoharjo dirusak puluhan orang. belum ada yang ditahan sedang diusut apa motif sebenarnya membongkar makam yang dikeramatkan oleh sebagian orang.

1 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANANYA porak poranda. Pecahan batu dan genting berserakan. Itulah keadaan kompleks pemakaman Kiai Imam Suhada, yang terletak di belakang Masjid Agung Desa Wonorejo, Sukoharjo, Ja-Teng, pekan lalu. Adakah gempa menggoyang kawasan itu? Tidak. Ini adalah akibat perbuatan orangorang yang marah. Sekitar tengah malam, Sabtu dua pekan yang lalu, sekitar tiga puluh orang dengan senjata kapak dan linggis menyerbu dan membongkar makam itu. Maka, kubur pemuka agama yang disebut Kiai Hafil Quran, karena mampu menghafalkan isi kitab suci umat Islam, itu pun remuk. Siapa yang tega merusakkan makam itu? Pangdam IV Diponegoro, Mayjen Setiyana, menyebut mereka sebagai sekelompok kaum fanatik, yang secara salah dan sepihak menafsirkan ajaran agama. Sekalipun begitu, "Perusakan makam Kiai Imam Suhada itu kami nilai masih tindakan kriminal biasa," kata Panglima, seusai memberikan ceramah di UNS Solo, Sabtu pekan lalu. Di kompleks makam, dalam sebuah cungkup berdinding beton 8 X 6 m, tinggi 1,5 m, terletak makam Kiai Suhada beserta istri anak, dan cucunya, yang semuanya berjumlah 16 makam. Di sekitarnya masih ada 10 makam lainnya, termasuk makam kerabat Keraton Solo dan Mangkunegaran. Misalnya makam Pangeran Gurnan, putra Paku Buwana IX. Serbuan malam Minggu itu hanya merusakkan makam Kiai Imam Suhada dan seluruh keluarganya. Makam lainnya hanya somplak tertimpa pecahan batu dari makam-makam yang dibongkar itu. Makam R.A.Y. Suyatmi Karyo Sudarmo, adik nenek Ny. Tien Soeharto, misalnya, selamat dan tak terganggu keributan. Paginya, penduduk geger melihat makam berantakan. Polisi dan tentara cepat turun mengamankan kompleks yang terletak 15 km di tenggara Solo itu, sekaligus mengusut peristiwanya. Tak begitu sulit. Segera terungkap, sejumlah penduduk sejak Juni yang lalu memang merencanakan sesuatu pada makam itu. Mereka disebut "Panitia 25" karena tokohnya 25 orang, terdiri dari guru-guru agama di SMA dan madrasah setempat, atau pengajar agama di desa itu. Ada juga pengusaha batik. Sekalipun mereka penduduk Desa Wonorejo, "Tokoh-tokohnya bukan trah atau ahli waris Imam Suhada. Mereka kebanyakan pendatang baru," kata R.M. Sulardi, 59 tahun, salah seorang ahli waris Kiai. Tak aneh kalau mereka adalah orang yang aktif beribadat di masjid di depan kompleks makam. Kodim dan Polres Sukoharjo segera memeriksa sejumlah orang. "Belum ada yang ditahan. Tahapnya sekarang sedang mencari apa sebenarnya motif aksi di makam yang sangat terhormat itu," ujar Letkol R. Empu Wiyono, Komandan Kodim Sukoharjo. Sejumlah orang yang turut atau mengetahui perusakan itu sudah diperiksa. Tapi menurut Letkol Empu, "Jawaban mereka semuanya sama. Mereka tak bermaksud merusakkan tapi ingin memperbaiki makam sehingga lebih baik." Jawaban itu tentu sulit diterima. Bagaimana mungkin memperbaiki makam di tengah malam buta hanya dengan kapak dan linggis ? Sebetulnya, secara bisik-bisik, mudah di ketahui bahwa ketidaksenangan sebagian penduduk pada makam kiai besar itu karena banyak orang menjadikannya tempat tirakat dan nyepi. Biasanya, setiap malam Jumat, banyak orang datang ke sana untuk minta berkah, minta jodoh, agar panen bagus, malah belakangan ada yang minta nomor Porkas. Menurut Sulardi, mayoritas yang datang sebetulnya untuk kunjungan ziarah biasa. "Yang datang untuk maksud urusan duniawi hanya sedikit," ujarnya. Kepada TEMPO, salah seorang dari "Panitia 25" itu mengungkapkan, selain alasan itu mereka juga menganggap bentuk makam tidak sesuai dengan sunah Nabi Muhammad karena pakai cungkup. "Para arwah di dalam kubur akan kepanasan," ujarnya. Mereka sebetulnya juga merencanakan akan "memperbaiki" makam lain yang bercungkup di situ, yang dianggap tak sesuai dengan keyakinan mereka. Kini, tentu, itu sulit dilakukan, karena hingga sekarang kompleks itu dijaga petugas keamanan. Kiai Imam Suhada memang sebuah nama besar. Tokoh yang dilahirkan di Surakarta pada 1745 itu dikenal sebagai santri yang cerdas dan bersuara merdu, ketika dia belajar di Pesantren Jatisobo, di timur Bengawan Solo. Karena itu, dia pernah memenangkan perlombaan membaca Quran di Keraton Solo. Belakangan, karena prestasinya, dia diangkat menjadi wedana di Keraton, dan menjadi guru Raja Paku Buwana IV. Raja lalu menghadiahkan wilayah hutan di Wonorejo kepadanya, dan di situ sang kiai membangun pesantren. Di sinilah Kiai Imam Suhada bersama Paku Buwana IV menulis Wlangreh, buku yang amat tersohor dalam khazanah kebudayaan Jawa, berisi ajaran bagaimana seharusnya raja memerintah. Buku yang ditulis dalam bentuk tembang itu terutama diperuntukkan bagi para putra raja. Penggantinya di pesantren itu adalah putranya, Imam Suhada II, yang juga mencatat sejarah. Pada masanyalah meletus Perang Diponegoro. Salah satu rapat yang diadakan Pangeran Diponegoro untuk menghimpun kekuatan melawan Belanda diadakan di Masjid Agung Wonorejo itu, awal 1825. Sang pemimpin pesantren turut pula berperang, sekaligus mengerahkan para santrinya menjadi pasukan Diponegoro. Semua kisah ini termaktub dalam buku Trah Syuhada Wonorejo, yang disahkan kebenarannya oleh R.M. Yosodipuro atas nama trah Paku Buwana VI dan K.R.T. Dinuhadiningrat dari Keraton Yogyakarta. Dulunya, makam Kiai Imam Suhada amat sederhana: terdiri dari gundukan tanah dan dikelilingi oleh batu kali. Karena peran sejarah sang Kiai diakui, pada 1980 makam itu dipugar oleh Departemen P dan K. Para peziarah pun bertambah banyak. Sampai terjadi peristiwa perusakan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus