Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Karcis masuk kelompok enam

Kejaksaan sedang mengusut penggelapan bernilai sekitar rp 1 milyar di pusat penelitian nuklir yogyakarta-batan. pemeriksaan agak lamban karena dilakukan dengan ekstrahati-hati oleh kejaksaan.

1 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) Yogyakarta sedang terguncang. "Saya sangat terpukul. Citra Batan yang sudah bertahun-tahun dibina jadi rusak," ujar Haryono Arumbinang, M.Sc., Kepala Pusat Penelitian Nuklir Yogyakarta (PPNY), pekan lalu. Pertengahan bulan lalu Kepala Kejaksaan Tinggi DI Yogyakarta, H.R. Djoko Moeljo, S.H., mengungkapkan kepada pers, kejaksaan sedang mengusut penggelapan bernilai sekitar Rp 1 milyar di PPNY itu. Penggelapan itu sudah berlangsung selama tujuh tahun. Bentuknya berupa laporan pembelian barang -- seperti bahan kimia dan alat laboratorium -- yang fiktif, kemudian laporan keuangan palsu. Contohnya, seperti diungkapkan Djoko Moeljo, pesuruh yang berpangkat I B dilaporkan sebagai tenaga ahli, sehingga mendapat tunjangan bila ada proyek. Permainan ini diduga mencakup sekitar Rp 700 juta, sedang kasus pembelian barang sekitar Rp 300 juta. "Jumlah pastinya bisa berubah-ubah, karena sekarang masih dalam penyidikan," kata Djoko. Pengusutan memang belum jauh. Tapi seperti dikatakan seorang pejabat tinggi di Kejaksaan Agung, "Petunjuk awal telah diperoleh. Memang telah terjadi tindak manipulasi di PPNY." Pihak kejaksaan sampai pekan lalu sudah meminta keterangan sembilan pegwai Batan, enam dari mereka adalah sarjana. Pemeriksaan memang agak lamban karena dilakukan dengan ekstrahati-hati. Maklum, kasus ini menyangkut orang-orang terpandang di Yogya. Sebagian, selain pegawai Batan, juga menjadi pengajar di Universitas Gadjah Mada. Lebih penting lagi, seperti dikatakan seorang pejabat kejaksaan di Yogya, "Kasus ini menyangkut reputasi Batan di dunia internasional. Kalau nama Batan sampai jatuh, bagaimana citra dunia keilmuan Indonesia?" Sebetulnya, laporan sudah masuk ke kejaksaan enam bulan yang lampau. Sebelum mngusutnya, kejaksaan sempat minta petunjuk ke Kejaksaan Agung. Haryono Arumbinang, misalnya, baru dimintai keterangan awal Juli ini. Siapa yang melaporkan kasus ini? "Masyarakat sendiri," jawab Djoko Moeljo. Ternyata, mereka adalah orang dalam yang disebut "kelompok enam", tapi ada juga yang menudingnya sebagai "kelompok frustrasi". Mereka adalah Sumihar Hutapea M.Sc, Djoko Suroso, S.H., Yuwono, B.Sc., Ir. Widodo P.S., Buntarto, M.Sc., dan Drs. Subambang Setiaji. Semuanya staf di PPNY. Yuwono, misalnya, adalah bendahara PPNY. "Daripada terus berlarut-larut, 'kan lebih baik kami laporkan. Kami ini hanya memberi karcis masuk pada pihak berwajib. Tindakan selanjutnya, terserah," ujar Sumihar Hutapea berapi-api. Ahli nuklir lulusan sebuah universitas di Leningrad, Uni Soviet, 1967, itu mengaku sebagai penanda tangan utama surat laporan yang ditujukan kepada kejaksaan dan Opstib. Laporan itu, antara lain, mengungkit ketidakberesan pembangunan gedung, pembelian peralatan laboratorium, dan uang TBN (Tunjangan Bahaya Nuklir). Dalam pembelian barang dari luar negeri, sebagai contoh, barangnya tidak ada tapi kuitansi pembayaran sudah ada. Uang TBN itu dipotong secara tak jelas. "Ada yang menandatangani Rp 40.000, tapi terima uang cuma Rp 5.000," kata Sumihar. "Kuitansi yang Rp 40.000 itulah yang disetorkan ke KPN (Kas Perbendaharaan Negara)," kata bekas Kepala Instalasi Fasilitas Akselerator Batan Yogya itu kepada TEMPO. "Itu baru sebagian kecil dari rangkaian manipulasi yang terjadi," ucap Sumihar. Tapi Dirjen Batan, Djali Ahimsa, untuk sementara tak melihat adanya manipulasi di PPNY. Dari pemeriksaan yang dilakukan, katanya, dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Serpong, Rabu pekan lalu, "Tidak terdapat penggunaan dana untuk kepentingan pribadi." Seorang pejabat Ditjen Batan lainnya, kasus itu sudah diperiksa BPKP dan hasilnya negatif. Tapi kepada TEMPO, seorang pejabat BPKP membantah, "Siapa bilang Batan Yogya bersih? Pemeriksaan belum selesai." Haryono Arumbinang sendiri membenarkan terjadinya pemotongan uang TBN yang diterima pegawai Batan Yogya, tapi bukan manipulasi. Versinya begini: Batan Yogya punya 700-an karyawan -- 40 dari mereka adalah peneliti sekitar 60% merupakan karyawan teknis yang memperoleh TBN. Itu adalah semacam uang insentif rutin yang diberikan kepada karyawan yang bekerja di bagian tertentu yang terkena resiko mendapat radiasi. TBN diberikan berdasarkan Keppres Nomor 12/1981 dan kemudian diperbarui dengan Keppres 26/85. Selain itu, ada lagi honor proyek, yaitu insentif untuk karyawan yang terlibat dalam suatu unit keria sebuah proyek -- misalnya proyek penelitian tertentu. Selama tujuh tahun terakhir ini, nilai proyek di sana hampir Rp 9 milyar. Untuk menghindari ketimpangan penghasilan di antara karyawan, pimpinan Batan mengambil kebijaksanaan, uang TBN atau insentif dipotong sebagian dan dibagikan untuk karyawan yang tak dapat insentif. Besarnya jumlah potongan itu diatur dengan sebuah rumus. Terlepas apakah kebijaksanaan itu menabrak Keppres, kalau apa yang diungkapkan Arumbinang benar, masih adakah mampulasi? Rupanya, ada. Dua hari setelah dimintai keterangan karena pengaduan tadi, awal Juli ini Arumbinang muncul lagi ke kantor Kejaksaan Tinggi, melaporkan ada pegawainya menggelapkan uang Rp 18 juta. Itu terjadi enam bulan yang lalu. Uang itu mestinya disetor ke bank sebagai pembayaran pembelian bahan kimia dari sebuah perusahaan di Jerman Barat. Orang itu adalah bendaharanya sendiri, Yuwono, salah satu di antara tiga pelapor manipulasi tadi. Menurut Sumihar, tuduhan terhadap Yuwono tak terbukti. "Dia mau dikambinghitamkan," katanya. Maksudnya, pelakunya adalah orang lain. Kejaksaan menangani juga perkara itu. "Kasus itu disebut Batan II, sedang manipulasi Rp 1 milyar itu disebut perkara Batan I," ujar sumber kejaksaan. Amran Nasution, Laporan Aries Margono & Putut Tri Husodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus