Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar dan cendikiawan muslim dari Universitas Islam Negeri Jakarta Azyumardi Azra memperkirakan politik identitas akan kembali digunakan pada pemilihan presiden atau pilpres 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Itu pasti digunakan. Tetapi itu tidak akan pernah efektif," kata Azyumardi di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Ahad, 15 Juli 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Azyumardi, politik identitas yang akan digunakan kebanyakan berdasarkan agama dan kepercayaan. Misalnya, kata dia, dalam pemilu mendatang masyarakat disarankan untuk memilih partai Islam. "Atau memilih calon legislatif atau calon presiden yang didukung partai Islam misalnya, itu pasti ada," kata dia.
Meski demikian, menurut Azyumardi, ada beberapa alasan politik identitas berdasarkan agama tak lagi efektif. Salah satunya, Islam di Indonesia ini tidak pernah jadi identitas politik sepenuhnya. "Islam Indonesia itu Islam fleksibel. Islam yang tidak pernah jadi identitas politik, dari dulu sampai sekarang," ujarnya.
Azyumardi juga mengatakan politik identitas pada pilpres 2019 nanti tidak akan seperti pilkada DKI Jakarta 2017. Sebab, calon-calon yang ada hampir dipastikan terdiri dari orang muslim. Hal itu, kata dia, mirip seperti pada pilkada serentak 2018 pada Juni lalu. "Lihat pilkada kemarin saja semua tenang-tenang," ujarnya.
Politik identitas sempat berkembang dalam pilkada DKI Jakarta. Ketika itu, pertarungan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno berhadapan dengan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat diwarnai isu-isu SARA dan sentimen identitas. Hal itu tak hanya membawa ketegangan politik ibu kota, tapi juga merembet ke daerah lainnya.
Meski Pilkada DKI Jakarta telah melahirkan pemerintahan Anies-Sandi, namun warga Jakarta masih terpolarisasi. Tak hanya mereka yang menjadi pendukung Anies Baswedan, tapi juga pendukung Ahok.
Azyumardi berpendapat penggunaan politik identitas tak akan selaku dahulu. Politik identitas ini, menurut dia, tidak akan berpengaruh besar ke pemilih untuk menentukan hak suaranya dalam pilpres 2019. "(Kalaupun) laku, itu dalam pengertian beredar di WhatsApp, di media sosial. Tetapi tidak efektif untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan suaranya mendukung siapa," kata dia.