Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bahaya Kekerasan Domestik pada Anak

Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan anak kerap dijadikan tameng tindak kekerasan dalam rumah tangga. Sejumlah psikolog menyebutkan kekerasan domestik yang menimpa anak bisa berbuntut panjang pada perkembangan fisik dan mental sang anak. Dukungan dari orang terdekat akan sangat membantu pemulihan trauma anak korban kekerasan domestik.

16 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan bukan lagi korban utama dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan domestik. Tak jarang kekerasan domestik juga menimpa anak berbagai usia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), setidaknya sebanyak 2.729 anak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, menyebutkan jumlah tersebut berasal dari laporan masyarakat sejak 2020 hingga sekarang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arist mengatakan anaklah yang paling rentan dirugikan dalam kekerasan domestik. Anak bisa menjadi korban langsung ataupun tak langsung. Tak jarang anak justru dijadikan tameng dalam tindak kekerasan dalam rumah tangga. 

Selain luka fisik, luka mental mengintai anak korban kekerasan domestik. Trauma dan perubahan kepribadian bisa dialami anak korban tindak KDRT. Bahkan anak berusia di bawah 5 tahun bisa merekam jelas tindak kekerasan yang ia alami atau saksikan. “Jangan anggap anak (di bawah 5 tahun) itu tidak mengerti. Kekerasan itu akan terekam di ingatannya,” kata Arist. 

Ia pun berharap orang tua lebih bijak dalam mengelola emosi dan konflik dalam rumah tangga. Intinya, jangan sampai anak dilibatkan dalam konflik orang tua. “Jangan berkonflik di depan anak,” kata Arist. 

Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto mengatakan anak yang tinggal dalam lingkup keluarga yang mengalami kekerasan domestik memiliki risiko tinggi mengalami penelantaran. Selain itu, anak bisa mengalami hilangnya peran orang tua sebagai panutan mereka.

Menurut Kasandra, pengalaman menyaksikan, mendengar, dan mengalami kekerasan dalam lingkup keluarga dapat menimbulkan banyak pengaruh negatif terhadap keamanan hingga kesejahteraan anak. 

Ilustrasi anak korban KDRT. Shutterstock.

Kasandra menambahkan, anak yang melihat perilaku kekerasan hampir setiap hari di rumah dapat mengalami gangguan fisik, mental, dan emosi. Gangguan emosi dapat dimanifestasikan dalam bentuk peningkatan perilaku agresif, kemarahan, kekerasan, perilaku menentang, dan ketidakpatuhan. 

Gangguan emosi tersebut juga bisa menimbulkan rasa takut berlebihan, kecemasan, juga relasi buruk dengan saudara kandung, teman, dan orang tua. Parahnya, kondisi ini bisa mengakibatkan penurunan harga diri anak. 

Selain itu, efek gangguan emosi pada anak bisa meluas hingga kemampuan kognitif dan sikap. Misalnya, penurunan prestasi anak di sekolah, kurangnya kemampuan menyelesaikan problem, dan kecenderungan melakukan tindak kekerasan. 

Kasandra mengatakan kekerasan pada anak juga bisa mengakibatkan trauma yang sulit dihilangkan. Trauma ini akan membentuk kepribadian yang lemah dan sifat penakut pada anak, bahkan hingga ia dewasa. 

Psikolog anak dan keluarga Astrid Wen menambahkan, risiko trauma pada anak korban kekerasan domestik berpotensi meluas jika anak tersebut mengalami kekerasan berulang-ulang. Trauma bukan hanya karena satu kejadian, tapi juga akibat beberapa kejadian berulang dalam kurun waktu cukup panjang. Walhasil, trauma ini akan terus membayangi anak hingga ia tumbuh dewasa. 

Dampak laten lainnya adalah anak akan merasa terbiasa pada kekerasan di rumah. Dengan kata lain, mereka akan menganggap segala bentuk kekerasan fisik, verbal, dan lainnya sebagai hal yang lumrah. “Harus segera diambil tindakan karena, kalau dibiarkan, akan menjadi polarisasi yang tidak sehat bagi anak-anak,” tutur Astrid. 

Adapun cara pemulihannya, Astrid menyebutkan, masing-masing anak korban kekerasan domestik punya takaran berbeda, bergantung pada kondisi mereka. Langkah awal, kata dia, adalah memeriksa psikologis anak dan orang-orang yang menopang hidup anak tersebut. 

Sebagai contoh, perlu digali relasi antara ibu dan ayah dari anak tersebut. Jika memang relasi orang tua bermasalah, hal itu harus segera diselesaikan. Dalam hal ini komunikasi di antara orang tua menjadi kunci utama. “Tujuan utamanya membangun rasa aman dalam diri anak.”

Jika anak sudah merasa aman, proses pemulihan trauma bisa dilakukan hingga anak pulih. Waktu dan proses pemulihan setiap anak korban kekerasan domestik tak bisa dipukul rata. Tanda anak telah pulih dari trauma adalah ketika ia dapat mengingat dan menceritakan kembali kejadian yang ia alami kepada orang lain dengan rasa percaya diri. Tak ada lagi emosi, rasa takut, dan upaya menghindar jika anak tersebut membahas punca traumanya. 

“Yang jelas, pulih dari trauma itu, jika ada konflik, dia mau menyelesaikannya,” ujar Astrid.

Sependapat dengan Astrid, psikolog klinis sekaligus dosen psikologi Universitas Indonesia, Mellia Christia, mengatakan pemulihan trauma pada anak tak semudah meminum obat sakit kepala. Sebab, setiap orang punya kepribadian unik yang akan mempengaruhi pemulihannya. 

Artinya, latar belakang, pengalaman traumatis, frekuensi alami kekerasan, dan dukungan sosial dari orang di sekitarnya ikut andil dalam upaya pemulihan trauma. Mellia mengatakan dukungan dari orang-orang terdekat anak korban kekerasan domestik menjadi faktor pendukung yang kuat untuk memuluskan proses penyembuhan mental. 

Selain trauma pada anak disembuhkan, Mellia berharap pangkal masalah kekerasan dalam rumah tangga diselesaikan. Tak boleh ada lagi kekerasan dalam bentuk apa pun di rumah. Terlebih yang menyasar anak secara langsung ataupun tak langsung.

Menurut Mellia, KDRT selama ini kerap terjadi lantaran minimnya komitmen untuk menghapus tuntas kekerasan yang pernah terjadi. Ia mengatakan tindak kekerasan domestik sejatinya punya siklus tersendiri. Pertama, situasi kondusif, selanjutnya muncul konflik yang makin tinggi intensitasnya. Selanjutnya, terjadilah tindak kekerasan. 

Setelah itu, kondisi mereda hingga damai. Pelaku kekerasan berjanji tak akan mengulangi kesalahannya. Namun, saat konflik terjadi lagi, kekerasan tersebut justru muncul kembali. “Permintaan maaf itu tidak memberikan jaminan bahwa kekerasan serupa tidak akan terulang karena pola kekerasan domestik itu terus berulang.”

INDRA WIJAYA | FEBBYENTI SUCI RAMA TANIA (Magang) 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus