Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH kalangan menduga kuat ada motif kepentingan politik dan kekuasaan di balik revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Misalnya, kepentingan untuk mengamankan berbagai pembuatan ataupun revisi undang-undang yang kontroversial ketika terjadi gugatan ke Mahkamah Konstitusi, serta kepentingan untuk mengamankan kekuasaan Presiden Joko Widodo di ujung masa jabatannya hingga pemerintahan Prabowo Subianto mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, memastikan perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi yang tertutup dan tanpa partipasipasi publik itu bukan untuk menguatkan lembaga yudisial. Namun revisi undang-undang tersebut diduga kuat untuk kepentingan elite politik pada era pemerintahan Jokowi hingga pemerintahan Prabowo mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bagaimana mungkin menguatkan jika revisinya dilakukan dengan tidak melalui jalur konstitusional dalam membentuk undang-undang,” kata Feri, Rabu, 15 Mei 2024.
Feri mengatakan motif di balik revisi keempat tersebut dapat dibaca dari substansi hasil pembahasan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap draf Rancangan Perubahan Keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Hasil pembahasan itu hanya terdiri atas beberapa pasal, yang di antaranya mengatur masa jabatan hakim konstitusi.
Misalnya, Pasal 23A yang mengatur masa jabatan hakim konstitusi maksimal 10 tahun. Namun hakim konstitusi wajib dikembalikan ke lembaga pengusul, yaitu DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung, dalam setiap lima tahun untuk mendapatkan persetujuan perpanjangan atau tidak memperpanjang masa jabatannya.
Aturan tersebut mengindikasikan bahwa DPR dan pemerintah hendak mengevaluasi serta mengendalikan hakim konstitusi. Kondisi ini berpotensi menyebabkan regresi independensi dan kredibilitas hakim konstitusi. “Ini tidak lain kepentingan elite politik untuk mengekang hakim, terutama untuk memastikan Mahkamah Konstitusi mematuhi keinginan lembaga pengusulnya,” ujar Feri.
Ia juga menyinggung aturan peralihan dalam Pasal 87. Pasal ini mengatur masa jabatan hakim konstitusi yang otomatis diperpanjang hingga usia 70 tahun ketika mereka sudah 10 tahun lebih menjabat di lembaga yudisial tersebut. Lalu perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi yang menjabat 5 tahun hingga kurang dari 10 tahun akan dikembalikan kepada lembaga pengusul lebih dulu.
Aturan peralihan ini menguntungkan Anwar Usman dan Arief Hidayat, yang sudah 13 dan 11 tahun menjabat di MK. Anwar merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi.
Baca Juga:
Menurut Feri, indikasi upaya untuk mengendalikan hakim konstitusi tak bisa dipisahkan dengan berbagai revisi undang-undang yang tengah dibahas oleh DPR dan pemerintah. Misalnya, revisi UU Penyiaran, UU Kementerian Negara, dan UU Keimigrasian. Dalam draf revisi UU Penyiaran, terdapat pasal kontroversial yang isinya bakal mengekang kebebasan pers.
Baca Juga:
Lalu revisi UU Kementerian Negara diduga kuat untuk merespons rencana pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang dalam membentuk koalisi yang gemuk. Revisi undang-undang ini berencana mengubah aturan jumlah anggota kabinet, yang saat ini ditetapkan sebanyak 34 menteri. Badan Legislasi DPR hendak menghapus ketentuan tersebut, lalu menyerahkan kepada presiden untuk mengatur jumlah anggota kabinetnya sesuai dengan kebutuhan.
Suasana rapat kerja penjelasan Komisi III DPR terhadap RUU Perubahan tentang Mahkamah Konstitusi (MK) bersama Kemenkopolhukam di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 15 Februari 2023. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Senin lalu, Komisi III DPR menggelar rapat mendadak pada masa reses dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly. Mereka melanjutkan pembahasan revisi keempat UU Mahkamah Konstitusi. Kedua pihak lantas menyetujui hasil pembahasan itu untuk dilanjutkan ke pengesahan dalam paripurna DPR.
Hasil kesepakatan kedua pihak terhadap draf RUU Perubahan Keempat UU Mahkamah Konstitusi, yaitu merevisi tiga pasal serta menambah dua pasal baru. Tiga pasal yang direvisi adalah Pasal 1, 23, dan 87. Lalu tambahan dua pasal baru, yakni Pasal 23A dan 27A. Pasal-pasal ini mengatur mengenai masa jabatan hakim konstitusi, keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, dan pemberhentian hakim konstitusi.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, juga menduga kuat perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi untuk mengamankan kepentingan pemerintahan Jokowi serta pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang. Sesuai dengan rencana, Prabowo dan Gibran akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden periode 2024-2029 pada Oktober mendatang. Pasangan nomor urut dua itu memenangi pemilihan presiden 2024, di antaranya karena sokongan dari Presiden Jokowi.
Baca Juga:
Herdiansyah mengatakan kepentingan tersebut di antaranya berbagai rencana revisi undang-undang di ujung pemerintahan Jokowi. Misalnya, UU Penyiaran, UU Kementerian Negara, UU Keimigrasian, serta wacana untuk merevisi UU TNI. Khusus revisi UU TNI, ada keinginan untuk mengubah usia pensiun prajurit.
Revisi sejumlah undang-undang tersebut berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi. Karena itu, pemerintah dan DPR berkepentingan memproteksi agenda mereka sejak dini dengan jalan mengubah UU Mahkamah Konstitusi. Tujuannya agar pemerintah dan DPR dapat mengendalikan hakim konstitusi sehingga berbagai kepentingan mereka dapat diakomodasi oleh lembaga yudisial.
“Revisi Undang-Undang Kementerian Negara dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan koalisi gemuk agar mendapat kursi kekuasaan,” kata Herdiansyah.
Ia berpendapat bahwa berbagai revisi undang-undang di DPR saat ini akan menguntungkan pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang. Ketika berbagai revisi undang-undang itu berjalan mulus, pemerintahan Prabowo akan mudah menjalankan segala program kerjanya tanpa khawatir akan mendapat pengawasan ataupun kritik. “Agenda ini seperti proses menyandera undang-undang untuk memuluskan syahwat politik penguasa,” ucap Herdiansyah.
Dua mantan hakim konstitusi, Maruarar Siahaan dan Hamdan Zoelva, juga menyoal revisi keempat UU Mahkamah Konstitusi tersebut. Maruarar mengatakan evaluasi terhadap hakim konstitusi tidak sepenuhnya salah karena menjadi bagian dari pengawasan akuntabilitas hakim. Namun DPR, Presiden, maupun Mahkamah Agung tidak bisa mengevaluasi dan mengawasi hakim konstitusi karena bukan menjadi kewenangan mereka. “Biarlah Komisi Yudisial yang menuntut pertanggung jawaban hakim konstitusi,” kata Maruarar.
Adapun Hamdan Zoelva menilai perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi akan berdampak buruk terhadap independensi dan kredibilitas hakim konstitusi. “Jika tidak dicabut pengesahannya, ini bisa disalahgunakan untuk menekan hakim konstitusi pada setiap penyelenggaraan seleksi,” kata Hamdan.
Ancaman terhadap Demokrasi
Pakar hukum tata negara, Yance Arizona, mengatakan perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi diduga kuat berkelindan dengan berbagai revisi undang-undang di Dewan saat ini. Khusus revisi UU Mahkamah Konstitusi dianggapnya akan menyebabkan regresi independensi dan kredibilitas hakim konstitusi.
Yance mengatakan situasi itu akan sangat berbahaya terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia. Sebab, independensi Mahkamah Konstitusi sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang kekuasaan antarlembaga kekuasaan negara. Lembaga yudisial tersebut juga dibutuhkan menjadi saluran terakhir terhadap berbagai produk undang-undang yang dibuat oleh DPR dan pemerintah secara ugal-ugalan.
“Jika MK independen, pemerintah dan DPR tentu akan berhati-hati dalam perumusan dan implementasi undang-undang karena terdapat kekuasaan mandiri yang dapat mengoreksinya apabila melenceng,” ujar Yance.
Ia melanjutkan, independensi Mahkamah Konstitusi harus tetap terjaga, yaitu dengan jalan DPR tidak mengesahkan perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi tersebut.
Menurut Yance, ketika DPR dan pemerintah sukses mengubah UU Mahkamah Konstitusi, berbagai revisi undang-undang yang saat ini berjalan dipastikan juga akan berjalan mulus, meski digugat oleh berbagai pihak ke Mahkamah Konstitusi nantinya. Apalagi berbagai revisi undang-undang saat ini juga diduga akan berdampak buruk terhadap demokrasi.
Yance mencontohkan, revisi UU Penyiaran yang isinya berupaya membungkam pers dengan pelarangan tayangan jurnalisme investigasi. Lalu revisi UU Kementerian Negara yang diduga akan mengakomodasi kepentingan politik pihak Prabowo-Gibran nantinya. “Ini praktik abusive legislation karena semua diringkus untuk mengamankan kepentingan pihak lain,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Francisca Christy Rosana dan Eka Yudha Saputra berkonstribusi dalam penulisan artikel ini.