DUA kali Nur Hidayah terpeleset. Batu-batu berlumut di Hutan Lindung Sungai Wain, Balikpapan, Kalimantan Timur, itu terlalu licin untuk kaki kecil murid kelas 5 Sekolah Dasar Negeri 016 Balikpapan ini. Perjalanan sejauh dua kilometer di dalam hutan itu membuatnya letih dan bosan.
Tiba-tiba lengkingan monyet langsung menarik perhatian Nur dan teman-temannya. Bocah-bocah itu membalas dengan teriakan-teriakan riang. Suara mereka malah mengusir monyet-monyet dari pohon tempatnya bertengger. Buru-buru instruktur rombongan melarang siswa-siswa itu membuat keributan. Mereka kembali sibuk mencatat sambil mendengarkan penjelasan para instruktur.
Begitulah suasana Hutan Lindung Sungai Wain setiap akhir pekan. Secara bergiliran murid sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Balikpapan digiring menjelajahi hutan alam yang masih lebat itu. Penjelajahan hutan itu bukanlah untuk berkemah atau berpacaran. "Kita ingin mengajarkan persoalan lingkungan sejak dini," kata Wali Kota Balikpapan, Drs. Imdaad Hamid.
Siswa diajak belajar mengenal alam dan lingkungan dengan menjelajah masuk ke hutan. Saat ini memang masih dalam taraf uji coba. Namun, mulai tahun ajaran mendatang, lingkungan hidup menjadi mata pelajaran wajib dengan nama lingkungan dan kebersihan. Dinas pendidikan bersama pemerintah kota menetapkannya sebagai muatan lokal di setiap sekolah di Balikpapan.
Masuknya materi lingkungan hidup di sekolah ini merupakan yang pertama kalinya di Indonesia. Gagasan ini muncul dari delapan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan. Dengan dimotori Natural Resource Management (NRM), mereka menawarkan program siswa belajar ke hutan. Bersama dinas pendidikan setempat, mereka menyusun program ini. Selain itu, mereka menjadi instruktur di setiap rombongan.
"Awalnya kami hanya bermaksud memasukkan pendidikan lingkungan ke bidang pelajaran lain seperti fisika atau biologi," kata Satria Imam Pribadi, outreach specialist dari NRM di Kalimantan Timur. Setelah di Balikpapan, pekan ini mereka akan mengajukan program yang sama ke pemerintah Kota Samarinda.
Di Balikpapan sendiri, uji coba program ini melibatkan 650 siswa dari 16 sekolah. Setiap Sabtu dan Minggu, secara bergiliran setiap sekolah mendapat jatah sekali masuk hutan. Tentu saja setiap tingkatan sekolah mendapat jatah berbeda dengan pertimbangan stamina. Untuk murid sekolah dasar, misalnya, jarak tempuhnya hanya sekitar dua kilometer, sementara untuk sekolah menengah pertama dan atas masing-masing tiga dan lima kilometer.
Di dalam hutan, siswa belajar tentang jenis-jenis tanaman dan hewan. Mereka juga belajar menentukan umur sebuah pohon dan fungsi hutan bagi lingkungan. Uji coba ini berlangsung dari Agustus hingga November nanti. Hasilnya akan dipakai sebagai dasar penyusunan program yang lebih matang untuk selanjutnya dijadikan pegangan pendidikan lingkungan di sekolah.
Masuknya lingkungan dalam mata pelajaran malah membuat pusing penyusun program. Sebab, jumlah sekolah di Balikpapan sekitar 300 sekolah dasar dan 300 sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas. Mereka harus menyusun program agar semua sekolah mendapat jatah yang sama. Mereka harus mampu membagi waktu dan tempat. Maka, mereka berencana membawa siswa ke tempat lain di luar Hutan Lindung Sungai Wain, misalnya pantai atau kawasan-kawasan yang tercemar.
Program menggiring siswa masuk hutan sebenarnya sudah dilakukan sekolah-sekolah di Jayapura, Irianjaya. Sejak dua tahun lalu, murid dari sepuluh sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas diajak mengunjungi kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop Dafonsoro. Hanya, belajar ke alam itu bukan untuk pelajaran lingkungan hidup. Hasil dari kunjungan itu mereka integralkan ke dalam mata pelajaran seperti biologi, geografi, kimia, fisika, dan sosiologi untuk sekolah menengah tingkat atas, sementara untuk anak sekolah menengah tingkat pertama dimasukkan dalam mata pelajaran biologi.
"September ini, kami sedang melakukan evaluasi program ini," kata Jerry Haurissa, Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Provinsi Irianjaya. Rencananya, program ini akan dikembangkan juga untuk sekolah-sekolah di Manokwari dan Merauke.
Bagaimanapun bentuk pengajarannya, persoalan lingkungan memang perlu dikenalkan sejak dini. Sebelum terlambat hingga negeri ini menjadi tempat sampah terbesar.
Agung Rulianto, Redy M.Z. (Balikpapan), Kristian Ansaka (Jayapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini