Siapa menduga, selembar cek dapat menimbulkan kegemparan yang luar biasa? Sandi, petugas kebersihan yang menemukan selembar traveller’s cheque di lantai 8 Gedung Nusantara I MPR/DPR, adalah orang pertama yang tidak percaya akan kemungkinan itu. Dia hanya bermaksud mengembalikan cek itu ke Dirjen Anggaran Anshari Ritonga dan tidak sedikit pun menyangka bahwa sejak itu segalanya akan berkembang cepat dan bisa berakhir pada character assassination, seperti dikhawatirkan segelintir orang. Atau bisa berujung pada proses delegitimasi DPR, seperti yang dicemaskan Ahmad Farhan Hamid dari Fraksi Reformasi DPR.
Hari itu, 13 September 2001, Sandi yang bingung kemudian memutuskan untuk menyerahkan cek tersebut ke kantor Anshari. Malang, ia cuma bertemu sekretaris bernama Elly, sementara Anshari tidak di tempat. Esoknya, Sandi menyerahkan cek itu kepada anggota DPR, Aberson Sihaloho—sesuai dengan pesan Elly lewat telepon—yang kemudian meneruskannya kepada Anshari. Kepada Sandi, Aberson lalu memberikan Rp 250.000, konon sebagai hadiah untuk kejujurannya.
Ada beberapa ketidakberesan yang memicu "peledakan" kasus cek Anshari-Aberson itu. Pemicu pertama adalah laporan Sandi yang kemudian bocor ke telinga seorang wartawan. Pemicu kedua, peran Elly bersama Aberson Sihaloho—yang begitu mulus—sehingga cek segera dikembalikan ke Anshari. Pemicu ketiga, keterangan Aberson yang berubah-ubah dan penjelasan Anshari bahwa cek Rp 10 juta akan digunakan untuk ongkos check up, padahal pemeriksaan kesehatan seperti itu biasanya dibayar dengan uang tunai. Pemicu keempat, penjelasan anggota DPR Indira Damayanti minggu sebelumnya, yang membocorkan perihal begitu banyak amplop berseliweran di DPR, sementara dia sendiri menolak tiga lembar cek senilai Rp 7,5 juta. Pemicu kelima, ke-terangan Ketua DPR Akbar Tandjung yang menegaskan bahwa tak ada peluang bagi anggota DPR untuk menerima suap, sebab DPR bukanlah lembaga pengambil keputusan. Keterangan ini, selain tidak menjelaskan apa-apa, juga sangat defensif sifatnya.
Bocoran dari Indira Damayanti, heboh seputar hibah yang diterima anggota DPR, kemudian geger cek yang kini luas ditafsirkan sebagai uang suap dari pihak eksekutif (Anshari Ritonga) kepada legislatif (Aberson Sihaloho), seyogianya dicermati dengan serius oleh para wakil rakyat. Sulit dimungkiri bahwa DPR sedang dilanda wabah KKN, yang tak kalah ganasnya dengan wabah yang melanda aparat birokrasi selama ini. Kalau pihak DPR tidak cukup tangkas menangani kasus yang lengkap dengan bukti dan saksi-saksi ini, dalam waktu tidak terlalu lama lembaga wakil rakyat ini akan menuai hujatan yang tak mudah untuk diredam. Jangankan untuk mengkritik pemerintah, haknya sebagai wakil rakyat pun bisa digugat. Kalau itu terjadi, berarti proses delegitimasi yang dikhawatirkan Farhan sudah dimulai.
Dalam konteks itu, sekadar klarifikasi dari Aberson, jelas, sangat tidak memadai. Sebuah klarifikasi akan tidak bisa menyelamatkan pilar demokrasi yang rapuh dan goyah. Mungkin dewan kehormatan perlu dibentuk untuk memproses pelanggaran hukum yang dilakukan anggota DPR. Dalam kategori melanggar hukum ini termasuk perbuatan tercela, pengkhianatan terhadap negara, korupsi, dan penyuapan. Perumusan tentang itu ternyata sudah disepakati oleh 11 fraksi dalam MPR, tinggal pengaturannya secara teknis yang akan dituangkan dalam undang-undang. Kalau semua ini benar, seharusnya proses perundang-undangan itu diprioritaskan. Masyarakat jangan dipaksa menunggu lama, karena legitimasi DPR dan cita-cita reformasi merupakan taruhannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini