JIKA ada daerah yang gawat, baik karena huru-hara maupun lantaran bencana alam, polisi dan tentara akur betul. Mereka bahu-membahu bekerja sama. Tetapi, jika daerah itu aman-aman saja, anehnya, polisi dan tentara malah baku hantam, bahkan baku tembak. Apa kurang kerjaan? Mungkin juga.
Di daerah-daerah yang tidak mengalami konflik, aparat bersenjata ini sepertinya tak punya pekerjaan yang serius. Kerjanya terlalu rutin, apel pagi, bersih-bersih perlengkapan, apel siang atau sore, lalu kembali ke asrama. Banyak celah untuk melakukan "kerja sampingan". Dan sudah menjadi rahasia umum di daerah-daerah yang relatif aman, polisi dan tentara dijadikan beking oleh para bandar judi, para penyelundup, pencuri kayu. Ada pula yang menjual jasa sebagai petugas keamanan di pertokoan, pasar, dan rumah bordil.
Di banyak kota besar, masyarakat pun sudah tahu, kawasan mana yang dikuasai oleh tentara dan kawasan mana oleh polisi. Selama "pembagian tugas" itu dirasakan adil, tak terjadi apa-apa. Tetapi, begitu ada yang dirugikan, permusuhan terjadi. Tentara yang membekingi judi, misalnya, akan jengkel dengan polisi yang menggrebek perjudian itu. Demikian pula sebaliknya.
Itulah yang meledak di Madiun ketika Batalion Linud Kostrad 501 Bajra Yudha bentrok dengan anggota Polresta Madiun. Penyebab bentrok itu bukan hanya masalah sepele saling serobot membeli bensin. Ada permusuhan yang sudah lama dipelihara, dan "kasus beli bensin" itu hanyalah pemicunya.
Kurang lebih hal-hal semacam itu pula yang terjadi di daerah lain, katakanlah seperti yang terjadi di Serui, Irianjaya, awal September lalu. Kota kecil itu menjadi ajang pertempuran polisi dengan tentara yang sama-sama menggunakan senjata otomatis. Penyebabnya juga sepele, pertikaian di kedai minum. Tapi, jika dirunut, akan ketahuan siapa yang menjadi "petugas keamanan" di kedai itu. Di sini ada rasa iri, lalu menimbulkan rasa permusuhan. Nah, kalau sudah begitu, tinggal menunggu waktu. Sedikit saja ada pemicu, akan pecah bentrok antara kedua aparat bersenjata itu.
Adakah ini berhubungan dengan keluarnya TNI dari keluarga besar ABRI? Memang, ada analisis seperti itu. Misalnya, polisi sekarang sedang mencari jati diri setelah lepas dari TNI. Tetapi analisis ini agaknya tidak tepat betul untuk bentrok seperti yang terjadi di Madiun. Kebanggaan yang berlebihan tentang korps memang ada, tetapi yang lebih dari itu adalah polisi dan tentara di banyak kota yang aman dari konflik sering dimanfaatkan para cukong untuk membekingi usahanya yang memang menyimpang dari hukum. Di sinilah dibutuhkan komandan yang selalu bisa mengontrol tingkah laku anak buahnya. Karena itu, tindakan yang tepat jika pimpinan tentara dan pimpinan kepolisian mencopot komandan-komandan di lapangan.
Sekadar mencopot komandan dan memecat aparat yang terlibat juga tidak cukup. Perlu sebuah tim peneliti independen untuk mengusut kasus-kasus semacam ini. Dan persoalannya dituntaskan di pengadilan, siapa yang bersalah. Tidak perlu hal seperti ini ditutup-tutupi. Dengan mengetahui akar permasalahannya, akan ditemukan terapi bagaimana mengatasi agar bentrok serupa tak terjadi lagi. Barangkali perlu juga tim peneliti dilengkapi psikolog, siapa tahu memang ada kejenuhan dalam tugas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini