ANAK-anak berseragam putih-merah belajar di kelas sambil kakinya kecipak-kecipuk mempermainkan air yang menggenangi lantai. Gurunya, berdiri di depan kelas, dengan kaki terendam hampir ke lutut. Pemandangan ini bukan terjadi di SD genangan Waduk Kedungombo. Tapi Anda bisa melihatnya di Ibu Kota. Persisnya di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. Sejak Desember lalu, air mulai masuk sekolah. Beberapa gedung sekolah di kawasan Kapuk Muara, Penjaringan, itu terus-menerus dihuni air. Akibatnya, 1.360 siswa dan sejumlah pengajar di enam SD dan sebuah SMP itu terpaksa "belajar di dalam air". Sekolah yang tergenang banjir adalah SD Negeri 03, 04, 05, 06, 07, dan 08, plus SMP 122. Dalam keadaan terpaksa. mereka harus belajar di atas air. Bapak guru terpaksa menyingsingkan celananya. Beberapa ibu guru mengenakan sepatu boot. Para murid? Datang ke sekolah dengan sandal jepit atau kaki telanjang. Di kelas, kaki mereka dinaikkan ke atas kursi setelah kedinginan mempermainkan air. Di samping menghindari cacing atau binatang air yang berenang-renang di kelas. Ketika air masih setinggi lutut, para guru dan murid SMP 122 mencoba bertahan. Mereka tetap sekolah di ruang yang terendam air. Yang penting, tas dan buku jangan sampai jatuh. Pasti basah kuyup. "Selain itu, kaki terasa dingin terendam air terus-menerus," kata Linda Gunawan, murid kelas 1. Ada pula guru yang jatuh sakit, tak tahan berhari-hari merendam kaki. Rupanya, air tak juga mau pergi dari sekolah. Januari, genangan tambah tinggi. "Pernah mencapai 45 senti," kata Soemardiyah, wakil kepala sekolahnya. Akhirnya, apa boleh buat, mereka menyerah. Mengungsi. Di tempat pengungsian tersedia 7 ruang kelas. Tentu saja itu tak cukup untuk menampung 27 kelas SMP itu. Beberapa terpaksa digabung menjadi satu. Memang tidak enak belajar berdesak-desakan dan harus digilir pagi-siang-sore. Namun, ini toh lebih nyaman daripada sekolah dengan merendam kaki di air. Biasanya tiap kelas hanya menampung 30 siswa. Kini satu ruang dijejali tak kurang dari 70 siswa. "Sudah berisik, sempit lagi. Jadi, kami sulit konsentrasi," kata Lusye, siswa kelas I. Para guru pun harus berteriak-teriak mengajar karena suasana tak tenang. Waktu belajar dipersingkat dari 45 menit menjadi 20 menit tiap pelajaran. "Kami rugi, jam belajar berkurang tapi bayaran tetap," kata siswa kelas I dengan serempak pada TEMPO. Yang diajarkan pun tak komplet seperti keadaan normal. "Kami mengajar yang inti-inti saja. Paling tidak siswa pernah mendengar," kata Soemardiyah. Cara lain? "Kami mencoba memberikan banyak pekerjaan rumah, supaya siswa aktif belajar di rumah," ujarnya. Celakanya, di rumah pun kebanyakan siswa juga diburu air bah. Rumah-rumah penduduk di sekitarnya juga menjadi langganan banjir. Padahal, sebulan lagi, siswa kelas III harus menghadapi Ebtanas, dan adik kelasnya menempuh ulangan kenaikan kelas. "Habis, mau apa lagi, namanya juga keadaan darurat," kata ibu guru yang mengajar bahasa Inggris sejak 15 tahun lalu itu. "Jadi, harap maklum kalau NEM (nilai ebtanas murni) mereka nanti rendah." Sekolah sebenarnya sudah mengirimkan laporan musibah itu ke Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Kantor Wilayah P & K, dan Departeman P & K. Tapi sampai sekarang belum ada tanggapan. "Bahkan ditengok saja belum," kata Soemardiyah. Nasib SD yang bersebelahan dengan SMP itu tampak lebih parah. Semua gedung terendam air. Sialnya, mereka tak mendapatkan tempat mengungsi. Ketika genangan air mencapai puncaknya, setinggi 45 cm, Februari lalu, para siswa terpaksa diliburkan dua hari. "Karena mereka masih kecil, kami takut kalau terjadi apa-apa," kata kepala SD 03 dan 08, T.H. Sumirah. Belakangan, air sedikit surut. Tapi, sekali terjadi hujan deras, dengan serta-merta ruang kelas tenggelam lagi. Itu yang dikhawatirkan para orangtua murid. Maka, sering terjadi ada pemandangan menarik. Ibu-ibu menggendong anaknya di ruang kelas I kompleks SD itu. Atau si anak jongkok di kursi didampingi ibunya sambil mendengarkan guru di depan kelas. Banjir yang menyerang daerah Jakarta Utara itu mulai ganas sejak dua tahun lalu. Serangan bah itu, menurut Camat Penjaringan, Solihin, terjadi sejak daerah persawahan dan empang di sekelilingnya berubah menjadi pabrik. Padahal, empang dan sawah selama ini menjadi tempat penampung tumpangan air hujan. "Sekarang, lantai bangunan yang mereka dirikan lebih tinggi dari lantai sekolah. Akibatnya, air malah balik mengalir ke areal sekolahan itu," katanya. Ada usaha mengusir air dengan memompanya ke luar kelas. Tapi kalau hujan, air bah pun tak bisa ditahan. "Selain pembuatan saluran air, lantai sekolah perlu ditinggikan," kata Solihin. Sekolah-sekolah di daerah Jakarta Utara itu, menurut Kepala Kanwil P & K DKl Jakarta, Soegijo, memang sudah menjadi langganan banjir. Bagi murid yang terganggu belajarnya karena banjir, katanya, tetap tak ada kelonggaran dalam menempuh ujian nanti. la berpendapat, para murid secara berkelompok bisa belajar di luar sekolah. "Sebenarnya mereka telah kami perhatikan. Tapi kan harus bergilir karena yang kebanjiran bukan hanya tempat mereka," katanya. Namun tak dirinci dalam bentuk apa "perhatian" itu. Apalagi, banjir itu sudah melanda sejak empat bulan lalu. Mungkin, memang perlu uluran tangan untuk membebaskan mereka dari belajar di atas air. Menurut sumber TEMPO di kantor DKI Jakarta, dana untuk memperbaiki lokasi banjir itu sudah dimasukkan pada tahun anggaran 1990-91, yaitu sebesar Rp 165 juta. Namun, baru turun Rp 65 juta. ltu pun hanya untuk memperbaiki SD 07 dan SD 08. Sekolah lain belum dijamah. Harap sabar, air pasti berlalu, kalau sudah waktu. Gatot Triyanto dan Bambang Sujatmoko (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini