Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berani, berkat opstib

Hkti (himpunan kerukunan tani indonesia) melapor kepada opstib1 tentang pungli dalam pelaksanaan tri. akibatnya bupati tegal dikenakan tahanan kota, ikut terlibat dalam kasus tersebut.

17 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

61 petani Sukoarjo, Jawa Tengah, sampai kini belum mendapat uang pengganti atas tanah milik mereka yang sejak 1960 digarap oleh PNP Tembakau setempat. Itu laporan HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) kepada Opstib pusat. Opstib sendiri, sebelumnya telah menyoroti pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) di Tegal. Akibatnya Bupati Tegal, Smn, dikenakan tahanan kota karena terlibat pungli dalam pelaksanaan TRI tersebut. Itu baru dua kasus. Dan Martono, 52. ketua HKTI dan anggota DPR itu, berkat adanya Opstib jadi berani bersuara. "Saya dulu sering terbentur orang orang tertentu yang merasa tersinggung," katanya. Siapa? Orang-orang kota yang berduit, yang seolah berlomba-lomba membeli tanah luas di pedesaan. Kini ia sibuk. Laporan cabang-cabang HKTI ia laporkan kepada Opstib. Ia juga menemui pimpinan DPR, menitip pesan agar DPR hasil pemilu 1977 nanti menyusun UU Pokok Pertanian dan Kedesaan. "Selama 6 tahun masa kerjanya, DPR hanya menghasilkan dua UU yang menyangkut pertanian yaitu UU Pengairan dan Transmigrasi. Yang langsung mengenai- pertanian malah belum ditangani," kata Martono. Anak petani Kebumen ini begitu prihatin melihat hari depan petani yang menurutnya bakal semakin suram. "Tanah pertanian di Jawa semakin sempit, tak kurang dari 66% petani hanya memiliki tanah seluas 0,3 Ha. Padahal yang normal, untuk satu keluarga, paling sedikit harus memiliki 1 Ha," katanya. Akibat semakin banyaknya petani yang tak memiliki tanah itu, "lebih dari 50% menjadi buruh tani," katanya. Tuan Tanah Baru Meskipun tuan-tuan tanah memang sudah ada sejak dulu, tapi sejak 1970 muncul 'tuan-tuan tanah baru' -- dan semakin menyolok. "Lihat saja misalnya di pinggiran Jakarta. Ada tanah-tanah luas yang pagarnya bagus. Masa ada petani yang mampu bikin pagar sebagus itu?" ujarnya. Artinya, si tuan tanah baru tidak tinggal di desa. "Menurut peraturan yang ada, pemilik tanah harus tinggal di tempat tanah itu berada. Dan menggarapnya sendiri. Luas areal yang dimiliki pun terbatas, tergantung masing-masing daerah," tutur Martono lagi. Menurut UU Pokok Agraria, areal tanah yang boleh dimiliki sekitar 2 sampai 5 Ha. "Nyatanya kini banyak orang yang memiliki lebih dari 10 Ha," tambahnya. Peraturan perundang-undangannya sudah ada, tapi pelaksanaannya yang macet. "Pejabat agraria tentu tahu. Tapi setiap ada orang membeli tanah melebihi ketentuan, orang agraria diam saja. Ada kolom dalam formulir pendaftaran tanah yang menyebutkan di mana lagi si pembeli memiliki tanah - tapi tidak diisi," kata Martono. Mereka itu menurut sumber TEMPO di HKTI, biasanya orang-orang yang tahu bahwa di daerah tempat ia membeli tanah akan dibangun prasarana seperti jalan dan sebagainya. "Siapa lagi mereka, kalau bukan pejabat?" kata sumber tersebut. Martono sendiri tidak keberatan pemilikan tanah seperti itu, asal si pemilik "tidak menyedot kembali investasinya ke kota." Maksudnya, membantu pengembangan perekonomian desa. Misalnya dengan mendirikan industri kecil di kantong-kanton desa. "Hingga bisa menyerap tenaga kerja dan uang yang diinvestasikan tidak tersedot kembali ke kota," katanya. Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan semakin susutnya tanah. "Misalnya karena ledakan penduduk dan adanya hukum waris, hingga tanah menjadi berkeping-keping," kata Sumartoyo, 60, sesepuh HKTI dan pengasuh majalah pertanian Trubus. Didirikannya perkampungan atau kompleks-kompleks industri di atas tanah-tanah pertanian juga menyebabkan susutnya pemilikan tanah oleh petani. Faktor lainnya adalah bengkok hak pemilikan tanah oleh pejabat desa. "Di desa, ada 7 pejabat yang berhak atas bengkok, yang menyedot 15 sampai 20% dari tanah desa yang tersedia," kata Sumartoyo. Bagi kedua tokoh HKTI itu, memang agak sulit menghadapi hukum waris dan masalah bengkok. "Tapi kalau adat seperti itu merugikan, tak ada salahnya kalau kita tentang," ujar Sumartoyo lagi. 50% Dipotong Yang paling mengejutkan tentu saja sejumlah pungutan (resmi atau liar) atas pendapatan bruto petani. Jumlahnya sekitar 50%. Thoha, 42, sekjen HKTI membeberkan beberapa angka yang membebani petani penggarap Tebu Rakyat Intensifikasi, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia juga menyebut Peraturan Menteri Pertanian No. 22/ 1975 tentang pungutan resmi di luar biaya prosesing gula. Bahkan ia tak mengerti mengapa pungutan (resmi) yang disebut "dana proyek khusus" sebanyak Rp 100 untuk setiap karung gula masih dibebankan. "Dana yang dipungut Departemen Pertanian dan Departemen Keuangan itu kalau tak salah untuk biaya rehabilitasi pabrik-pabrik gula di Kediri, Cirebon, Bojonegoro dan Banyuwangi," katanya. Pungutan yang resmi saja sudah meliputi 30%. "Ditambah biaya prosesing, menjadi 45%," kata Thoha. Yang disebut biaya prosesing rupanya begitu banyak. Misalnya Paket Bimas berupa biaya sarana produksi (pembelian bibit), biaya garapan (ongkos pencangkulan), ongkos penebangan dan angkutan. Belum lagi potongan-potongan lain seperti cukai gula, cukai PPN, pajak penjualan karung dan MPO. Akibat parah, tentu. Thoha menggambarkan, petani gula di Cirebon penerimaannya hanya pas-pasan saja. "Di daerah Gegesit, Cirebon, bahkan di bawah harga sewa tanah," tambahnya. Itu belum termasuk yang pungli. Misalnya pungutan untuk PON, hari-hari besar Nasional, atau infak (di Brebes) untuk pembangunan mesjid. Sumartoyo menambah jenisjenis pungli. Katanya: "Kalau petani membawa kelapa ke luar desa misalnya, di batas desa kena pajak. Kalau ada pejabat pindah, petani juga diminta iuran lagi." Bisa dimaklum kalau Sumartoyo lantas menyebut bahwa petani "memikul beban pembangunan Nasional." Maksudnya, mereka dibebani hal-hal di luar kepentingan sektor pertanian. Misalnya diharuskan membuat pagar pekarangan, sementara untuk mengurus rumah tangga, mereka sudah senin-kemis. "Toh mereka patuh dan tidak membantah. Sebab kalau tidak bikin pagar, bisa ditangkap. Apa orang kota mengalarni hal-hal seperti itu?" kata Sumartoyo. "Orang desa sudah begitu miskin tapi masih dibebani macam-macam punutan. Padahal konsumsinya tak ada 50% dari konsumsi orang kota," tambahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus