61 petani Sukoarjo, Jawa Tengah, sampai kini belum mendapat uang
pengganti atas tanah milik mereka yang sejak 1960 digarap oleh
PNP Tembakau setempat. Itu laporan HKTI (Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia) kepada Opstib pusat. Opstib sendiri, sebelumnya telah
menyoroti pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) di Tegal.
Akibatnya Bupati Tegal, Smn, dikenakan tahanan kota karena
terlibat pungli dalam pelaksanaan TRI tersebut.
Itu baru dua kasus. Dan Martono, 52. ketua HKTI dan anggota DPR
itu, berkat adanya Opstib jadi berani bersuara. "Saya dulu
sering terbentur orang orang tertentu yang merasa tersinggung,"
katanya. Siapa? Orang-orang kota yang berduit, yang seolah
berlomba-lomba membeli tanah luas di pedesaan.
Kini ia sibuk. Laporan cabang-cabang HKTI ia laporkan kepada
Opstib. Ia juga menemui pimpinan DPR, menitip pesan agar DPR
hasil pemilu 1977 nanti menyusun UU Pokok Pertanian dan
Kedesaan. "Selama 6 tahun masa kerjanya, DPR hanya menghasilkan
dua UU yang menyangkut pertanian yaitu UU Pengairan dan
Transmigrasi. Yang langsung mengenai- pertanian malah belum
ditangani," kata Martono.
Anak petani Kebumen ini begitu prihatin melihat hari depan
petani yang menurutnya bakal semakin suram. "Tanah pertanian di
Jawa semakin sempit, tak kurang dari 66% petani hanya memiliki
tanah seluas 0,3 Ha. Padahal yang normal, untuk satu keluarga,
paling sedikit harus memiliki 1 Ha," katanya. Akibat semakin
banyaknya petani yang tak memiliki tanah itu, "lebih dari 50%
menjadi buruh tani," katanya.
Tuan Tanah Baru
Meskipun tuan-tuan tanah memang sudah ada sejak dulu, tapi sejak
1970 muncul 'tuan-tuan tanah baru' -- dan semakin menyolok.
"Lihat saja misalnya di pinggiran Jakarta. Ada tanah-tanah luas
yang pagarnya bagus. Masa ada petani yang mampu bikin pagar
sebagus itu?" ujarnya.
Artinya, si tuan tanah baru tidak tinggal di desa. "Menurut
peraturan yang ada, pemilik tanah harus tinggal di tempat tanah
itu berada. Dan menggarapnya sendiri. Luas areal yang dimiliki
pun terbatas, tergantung masing-masing daerah," tutur Martono
lagi. Menurut UU Pokok Agraria, areal tanah yang boleh dimiliki
sekitar 2 sampai 5 Ha. "Nyatanya kini banyak orang yang memiliki
lebih dari 10 Ha," tambahnya.
Peraturan perundang-undangannya sudah ada, tapi pelaksanaannya
yang macet. "Pejabat agraria tentu tahu. Tapi setiap ada orang
membeli tanah melebihi ketentuan, orang agraria diam saja. Ada
kolom dalam formulir pendaftaran tanah yang menyebutkan di mana
lagi si pembeli memiliki tanah - tapi tidak diisi," kata
Martono. Mereka itu menurut sumber TEMPO di HKTI, biasanya
orang-orang yang tahu bahwa di daerah tempat ia membeli tanah
akan dibangun prasarana seperti jalan dan sebagainya. "Siapa
lagi mereka, kalau bukan pejabat?" kata sumber tersebut.
Martono sendiri tidak keberatan pemilikan tanah seperti itu,
asal si pemilik "tidak menyedot kembali investasinya ke kota."
Maksudnya, membantu pengembangan perekonomian desa. Misalnya
dengan mendirikan industri kecil di kantong-kanton desa.
"Hingga bisa menyerap tenaga kerja dan uang yang diinvestasikan
tidak tersedot kembali ke kota," katanya.
Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan semakin susutnya
tanah. "Misalnya karena ledakan penduduk dan adanya hukum waris,
hingga tanah menjadi berkeping-keping," kata Sumartoyo, 60,
sesepuh HKTI dan pengasuh majalah pertanian Trubus. Didirikannya
perkampungan atau kompleks-kompleks industri di atas tanah-tanah
pertanian juga menyebabkan susutnya pemilikan tanah oleh petani.
Faktor lainnya adalah bengkok hak pemilikan tanah oleh pejabat
desa. "Di desa, ada 7 pejabat yang berhak atas bengkok, yang
menyedot 15 sampai 20% dari tanah desa yang tersedia," kata
Sumartoyo. Bagi kedua tokoh HKTI itu, memang agak sulit
menghadapi hukum waris dan masalah bengkok. "Tapi kalau adat
seperti itu merugikan, tak ada salahnya kalau kita tentang,"
ujar Sumartoyo lagi.
50% Dipotong
Yang paling mengejutkan tentu saja sejumlah pungutan (resmi atau
liar) atas pendapatan bruto petani. Jumlahnya sekitar 50%.
Thoha, 42, sekjen HKTI membeberkan beberapa angka yang membebani
petani penggarap Tebu Rakyat Intensifikasi, terutama di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Ia juga menyebut Peraturan Menteri
Pertanian No. 22/ 1975 tentang pungutan resmi di luar biaya
prosesing gula. Bahkan ia tak mengerti mengapa pungutan (resmi)
yang disebut "dana proyek khusus" sebanyak Rp 100 untuk setiap
karung gula masih dibebankan. "Dana yang dipungut Departemen
Pertanian dan Departemen Keuangan itu kalau tak salah untuk
biaya rehabilitasi pabrik-pabrik gula di Kediri, Cirebon,
Bojonegoro dan Banyuwangi," katanya.
Pungutan yang resmi saja sudah meliputi 30%. "Ditambah biaya
prosesing, menjadi 45%," kata Thoha. Yang disebut biaya
prosesing rupanya begitu banyak. Misalnya Paket Bimas berupa
biaya sarana produksi (pembelian bibit), biaya garapan (ongkos
pencangkulan), ongkos penebangan dan angkutan. Belum lagi
potongan-potongan lain seperti cukai gula, cukai PPN, pajak
penjualan karung dan MPO.
Akibat parah, tentu. Thoha menggambarkan, petani gula di Cirebon
penerimaannya hanya pas-pasan saja. "Di daerah Gegesit, Cirebon,
bahkan di bawah harga sewa tanah," tambahnya. Itu belum termasuk
yang pungli. Misalnya pungutan untuk PON, hari-hari besar
Nasional, atau infak (di Brebes) untuk pembangunan mesjid.
Sumartoyo menambah jenisjenis pungli. Katanya: "Kalau petani
membawa kelapa ke luar desa misalnya, di batas desa kena pajak.
Kalau ada pejabat pindah, petani juga diminta iuran lagi."
Bisa dimaklum kalau Sumartoyo lantas menyebut bahwa petani
"memikul beban pembangunan Nasional." Maksudnya, mereka dibebani
hal-hal di luar kepentingan sektor pertanian. Misalnya
diharuskan membuat pagar pekarangan, sementara untuk mengurus
rumah tangga, mereka sudah senin-kemis. "Toh mereka patuh dan
tidak membantah. Sebab kalau tidak bikin pagar, bisa ditangkap.
Apa orang kota mengalarni hal-hal seperti itu?" kata Sumartoyo.
"Orang desa sudah begitu miskin tapi masih dibebani macam-macam
punutan. Padahal konsumsinya tak ada 50% dari konsumsi orang
kota," tambahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini