SEBELUM diangkat secara definitif, ada Gubernur yang diangkat
dengan status penjabat caretaker) selama 6 bulan. Menurut UU
No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, yang
seharusnya mengajukan calon adalah DPRD tingkat I. Tapi karena
akhirnya Pj. Gubernur itu pula yang diangkat sebagai Gubernur
definitif, itu bisa menjadi "beban psikologis" bagi DPRD.
Itu pendapat Warsito Puspoio SH, wakil ketua Komisi II DPR.
Kebiasaan seperti itu, menurut Warsito, sebaiknya dihentikan,
kecuali dalam keadaan terpaksa. Yang ideal, katanya,
menggantikan gubernur lama dengan gubernur baru secara
definitif, seperti di Jawa Timur -- Gubernur Moh. Noer diganti
oleh Gubernur Sunandar Prijosudarmo.
Kalau "beban psikologis" itu memang disebabkan karena DPRD
sendiri belum siap dengan calon, maka Warsito menyarankan agar
lembaga itu lebih aktif mengambil inisiatif mempersiapkan
calon-calonnya. Secara tak langsung Mensekneg Sudharmono juga
menunjuk ketidak-siapan DPRD itu. "E'alau masa jabatan Gubernur
habis dan DPRD belum unya calon pengganti sementara pemerintah
juga tidak menunjuk calon, mungkin pemerintah dapat dianggap
salah," katanya pekan lalu. Maka sambil menunggu pemilihan DPRD,
menurut Feisal Tamin, Ka Humas Depdagri, diangkatlah caretaker.
Tidakkah status Pj. Gubernur alias caretaker itu bertentangan
dengan UU No. 5/1974? Menurut Feisal, hal itu tidak bertentangan
tapi juga tidak dianjurkan. "Itu pun tidak selalu berlaku di
semua daerah, melainkan tergantung dari situasi dan kondisi
setempat," tambahnya.
Kasus DKI Jakarta bisa menjadi contoh. Masa jabatan Gubernur Ali
Sadikin sudah habis sampai 18 April 1977. Padahal, begitu
pengakuan A. Wiratno Puspoatmodjo SH bekas ketua DPRD DKI, DPRD
sendiri "belum memikirkan calon penggantinya." Sementara itu
tugas melaksanakan pemilu sudah amat mendesak.
Yang Normal
Tapi mengapa DPRD DKI belum memikirkan calon pengganti? "Soalnya
kadang-kadang calon yang kita ajukan belum tentu disetujui oleh
pusat," kata Wiratno. Sebelumnya, menurut Wiratno biasanya
memang sudah ada pembicaraan pendahuluan secara informil dengan
pusat.
"Perkara calon sih, banyak yang melamar," katanya tertawa. Tapi
mungkin dari pada buang-buang waktu mengadakan pencalonan dan
melakukan pemilihan -- toh belum tentu disetujui pusat - pada
akhirnya calon pusat biasanya disetujui. "Apaiagi kita ini kan
orang timur," tambah Warsito. Inilah barangkali yang disebut
"beban psikologis" itu.
Menurut Feisal, prosedur yang normal memang melalui pencalonan
oleh DPRD dengan mengajukan 3 sampai 5 calon kepada Presiden
melalui Mendagri. "Setelah Mendagri atas nama Presiden mengamati
calon-calon itu, lalu menyarankan agar DPRD memilih 2 calon di
antara beberapa nama yang telah disetujui oleh pemerintah,"
katanya.
Dari dua calon itulah - tak ada calon tunggal - pemerintah
menentukan siapa yang disetujui sebagai Gubernur definitif.
Mungkin calon yang ditunjuk bukanlah calon favorit DPRD.
Mengapa? "Sebab pemerintah tidak terikat oleh pilihan DPRD,"
kata Feisal. Hal ini karena seorang Gubernur selain sebagai
Kepala Daerah, juga Wakil Pemerintah Pusat. Jadi meskipun DPRD
mempunyai andil dalam pencalonan atau pemilihan, toh keputusan
terakhir di tangan pemerintah pusat jua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini