Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Persis satu tahun yang lalu, publik dikejutkan oleh operasi penggerebekan narkotik dan obat berbahaya (narkoba) di rumah selebritas muda papan atas, Raffi Ahmad. Pada Ahad dinihari 27 Januari 2013 itu, beberapa penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) menggedor rumah sang artis di bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, dan menemukan 14 pil methylenedioxymethcathinone (MDMC) alias metilon dan dua linting ganja.
Sejak saat itulah nama metilon mulai dikenal orang. Sebelumnya, jika bicara narkoba, daftarnya tak akan bergeser dari sabu, ekstasi, heroin, atau ganja. Persoalan jadi rumit karena metilon belum masuk daftar zat terlarang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Walhasil, sejak Februari sampai Oktober tahun lalu-kurang-lebih delapan bulan-berkas perkara Raffi Ahmad tujuh kali bolak-balik dari BNN ke kejaksaan. "Jaksa ingin ada daftar yang mencantumkan MDMC sebagai zat terlarang," kata Deputi Pemberantasan BNN Benny Jozua Mamoto kepada Tempo, awal Desember lalu. Daftar itu sampai sekarang tidak ada.
BNN kecewa atas sikap kejaksaan tersebut. Pasalnya, setiap hari peredaran narkotik baru ini terus meluas ke pelbagai pelosok Nusantara. Sejumlah bandar kakap yang ditangkap BNN dua bulan terakhir meneguhkan dugaan lembaga ini bahwa Indonesia sudah masuk jaringan perdagangan global metilon. Bahkan, sampai akhir tahun lalu, jumlah narkoba baru yang sudah masuk pasar Indonesia-namun belum tercatat di Undang-Undang Narkotika-sudah bertambah jadi 25 jenis.
Kekhawatiran BNN bukan tanpa alasan. Selama tiga bulan terakhir, tim investigasi Tempo menelusuri keberadaan barang haram itu di Jakarta, Bandung, Pekanbaru, hingga Mataram. Bahkan, popularitas narkotik jenis ini sudah melebihi ekstasi.
Di Bandung, misalnya, para pengunjung tetap diskotek, kafe, dan klub malam di sana rutin mendapat pasokan metilon dari Ibu Kota. Dua pengedar narkoba yang ditemui Tempo di sebuah diskotek di Pasirkaliki mengaku menjual metilon seharga Rp 600 ribu per butir. "Kalau sedang laris, saya bisa menjual 40 butir pil metilon semalam," kata Abo, salah satu pengedar di Bandung.
Adapun metilon di Pekanbaru, Riau, tampaknya merupakan produksi rumahan. Ini terlihat dari bentuk pilnya yang tidak seragam dan tidak rapi. Tempo berhasil membeli satu butir di diskotek SP Club, lantai lima Senapelan Plaza, Jalan Sudirman, Pekanbaru, akhir tahun lalu. Harganya Rp 350 ribu per butir. "Dijamin ini barang baru," kata si pramusaji, berpromosi.
Tapi ada kabar baik. Senin pekan lalu, juru bicara BNN, Sumirat Dwiyanto, memastikan larangan peredaran 25 narkotik jenis baru akan segera dirilis. "Drafnya tinggal ditandatangani Menteri Kesehatan," kata Sumirat. "Peraturan baru ini bisa mempengaruhi kelanjutan kasus Raffi," kata Sumirat.
Carilah Narkoba Sampai ke Tiongkok
Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), sumber peredaran narkoba baru di Indonesia ternyata berada nun jauh di Cina dan Eropa. Pil dan kapsul haram ini masuk ke berbagai kota besar dan kecil di Nusantara lewat empat jalur.
1. Cina dan Hong Kong ' Thailand ' Malaysia, Johor Bahru ' Batam ' Jakarta (dari Malaysia pecah dua: ke Batam dan Medan)
2. Malaysia ' Medan, Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta ' 1. Pekanbaru 2. Palembang 3. Lampung
3. Eropa ' Jakarta ' 1. Bandung 2. Semarang 3. Surabaya (Jakarta pecah tiga. Yang dari Surabaya pecah dua)
4. Surabaya ' 1. Bali 2. Mataram
"Saya Tahu, Itu Molly Namanya!"
Seorang perempuan jelita berambut panjang asyik ajojing sendiri di samping meja yang berantakan dengan gelas bir dan botol air mineral. Goyangannya terkadang tak seirama dengan ketukan house music yang mengentak. Sambil sesekali mengisap rokok, ia tampak larut dalam permainan sinar laser yang menerpa wajahnya yang basah oleh keringat. Matanya terpejam.
Ayu, begitu ia memilih nama samarannya saat berkenalan dengan Tempo pada awal November lalu di sebuah diskotek yang terletak di lantai dua kompleks pertokoan di bilangan Pasirkaliki, Bandung.
Tanpa malu-malu, ia mengaku berprofesi sebagai pekerja seks yang biasa mencari pelanggan di tempat dugem. "Saya tahu, itu molly namanya!" jerit Ayu ketika mendengar deskripsi soal bentuk dan efek narkoba baru yang sedang hit itu.
"Molly ini rasanya lebih asyik dari ekstasi. Waktu itu saya dapat dari tamu asal Jakarta," ujar perempuan lulusan sebuah sekolah menengah atas di Indramayu yang sudah lima tahun jadi pemakai ekstasi.
Seingat Ayu, molly berbentuk kapsul bening. Di dalamnya terdapat serbuk berwarna putih kusam. Dia mendapatkannya gratis dari sang tamu dari Jakarta.
Tak lama setelah menenggak metilon, kata dia, kepala terasa enteng. "Seperti ekstasi, tapi molly lebih cepat 'naik'-nya," ujar Ayu.
Pengalaman yang sama dirasakan Reni, kawan Ayu. "Bedanya kalau pake ekstasi, ada rasa lelah atau mual," ucap gadis 22 tahun asal Subang ini.
Dari dua perempuan tersebut, malam itu Tempo bisa berkenalan dengan Abo dan Benny, dua pengedar kecil yang biasa berseliweran di beberapa tempat disko di Bandung. Namun malam itu tak ada "barang". "Coba besok-besok. Menurut Abo, pasokan pil itu dari Jakarta jadi tak menentu. SANDY INDRA PRATAMA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo