PADA mulanya Loka Pamitran, organisasi sosial dan kemanusiaan, hanya memperkarakan soal tanah dan gedung tua. Organisasi itu memperkarakan Menteri Dalam Negeri, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Jawa Timur, Bank Rakyat Indonesia, dan Wali Kota Surabaya di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Organisasi yang berdiri sejak 1954 ini menuntut hak atas sebuah gedung tua yang terletak di Jalan Tunjungan, Surabaya, yang ditempatinya sejak tahun 1959. Sementara itu, BPN Jawa Timur kini menguasai bangunan tua, yang dikenal sebagai "gedung setan" seluas tujuh ribu meter persegi itu. Namun, ketika proses peradilan TUN tengah berlangsung, turunlah pernyataan bahwa Loka Pamitran dianggap sebagai organisasi terlarang. Kepala Humas Pemda Jawa Timur, Susanto, dalam keterangannya menyebutkan bahwa Loka Pamitran merupakan bagian dari Loge Agung Indonesia. Padahal, Loga Agung telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. "Loka Pamitran adalah organisasi massa yang menyatakan merdeka, berdaulat, dan lepas dari pemerintah Indonesia," kata Susanto. Loka Pamitran dikukuhkan sebagai organisasi independen pada tanggal 7 April 1955 oleh Guru Agung dari "Orde van Vrijmetselaren on der Het Groot Oosten der Nederlanden". Pernyataan itu dirilis setelah Gubernur Jawa Timur menerima surat dari BPN dan BRI Pusat di Jakarta, yang ditandatangani masing-masing oleh Sony Harsono dan M. Rusli. Surat BRI tanggal 12 Maret lalu mengacu kepada surat Departemen Kehakiman dan Dirjen Sospol Departemen Dalam Negeri mengenai Loka Pamitran sebagai organisasi terlarang. Sementara itu, surat Ketua BPN kepada Menteri Keuangan tanggal 26 Februari 1991 menyebutkan bahwa Loka Pamitran bukan penerus hak dari Loge de Vrienshap, yang sebelumnya tercatat sebagai pemilik gedung itu. Loka Pamitran, yang kini beranggota 12 orang, tidak jelas kegiatan sosialnya. Jony Sungkono selaku Panitera atau Sekretaris Pamitran menolak memberikan keterangan. Trimoelja D. Soerjadi, yang menjadi pengacaranya, menyebutkan bahwa Loka Pamitran adalah organisasi sosial yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. Karena itu Trimoelja merasa heran bila Loka Pamitran disebut organisasi terlarang seperti disebut dalam Keppres tahun 1962. Namun, menurut Dirjen Sospol Harisoegiman, Loka Pamitran termasuk organisasi terlarang. Karena, "Dalam anggaran dasarnya jelas disebut bahwa secara struktural Loka Pamitran berada di bawah Loge Agung Indonesia yang dilarang karena subversif," katanya. Terlepas dari posisi Loka Pamitran, kini proses gugatan PTUN yang diajukan tentu akan berlarut-larut. Padahal, sejak akhir tahun 1991, gugatan ini digelar di pengadilan. Apalagi pengadilan juga meminta bantuan Bakorstanasda Jawa Timur untuk meneliti Loka Pamitran. Tanah yang diperebutkan itu hingga kini sebenarnya masih ada sebagian yang ditempati Loka Pamitran. Hanya, sejak tahun 1989 BPN Surabaya mengeluarkan sertifikat hak pakai "gedung setan" untuk dirinya sendiri, BPN Jawa Timur. Loka Pamitran, menurut riwayat tanah, semula mendapatkan hak pakai "gedung setan" itu berdasarkan perjanjian pada 12 Mei 1959 dari Loga de Vriendshap -- sebuah perkumpulan yang beranggotakan orang-orang Belanda. Suatu hari pada tahun 1961, Soetoro, Ketua Loka Pamitran, yang juga menjabat Kepala Kantor Pendaftaran dan Pengawasan Pendaftaran Tanah Surabaya, memberikan hak kepada Soetoro (dia sendiri) untuk meminjam pakai sebagian ruangan di "gedung setan" itu. Belakangan, sebagian ruangan itu dipakai BPN Kodya Surabaya. Tapi, kemudian BPN Surabaya menerbitkan sertifikat hak pakai atas nama BPN Jawa Timur. Agus Basri, Dwi S.Irawanto (Jakarta), dan Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini