Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Partai melarat & konglomerat

PDI membuka "dompet pemilu" untuk dana kampanye. selain mengandalkan dana pemerintah. Golkar mengundang sejumlah konglomerat. PPP menerima sumbangan langsung dari rakyat, baik tenaga maupun dana.

11 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMPANYE Pemilu 1992 tinggal dua bulan lagi. Tapi kantong Partai Demokrasi Indonesia (PDI) masih kempis. Pada saat peserta pemilu lainnya sudah mulai sibuk membuat kaus, spanduk, tanda gambar, stiker, dan berbagai perlengkapan kampanye, PDI boleh dibilang masih "santaisantai". "Kami tak ada duit," kata Ketua PDI Jakarta Alex Asmasoebrata. Lantaran kesulitan dana, Alex pesimistis partainya bisa menyelesaikan masa kampanye 25 hari nanti. "Paling kami hanya mengambil beberapa hari," tambahnya. Yang namanya kaus, bendera, atau alat peraga lainnya, apalagi ongkos transpor untuk pengerahan massa, "sudah pasti PDI tak bisa memberikannya," kata kontraktor bangunan dan pemasok pakaian dinas itu. Seperti dalam pemilu yang sudahsudah, dalam Pemilu 9 Juni nanti pun PDI masih mengandalkan dana Pemerintah sebesar Rp 250 juta bagi pengurus pusat untuk kampanye. Menurut Sekretaris Jenderal PDI Nico Daryanto, uang itu didepositokan dan kini menjadi Rp 331 juta. Nantinya, untuk semua pengurus daerah akan dibagi Rp 25 juta sampai Rp 70 juta. Padahal, untuk kampanye di Jakarta saja bisa dibutuhkan biaya tak kurang dari Rp 1,9 milyar. Namun, partai "miskin" itu memang kreatif mencari dana. Pekan lalu, misalnya, PDI Jakarta membuka "Dompet Pemilu", seperti dompet bencana alam. "Kami tak melihat besar kecilnya sumbangan. Kendati cuma 50 atau 100 perak, tetap kami terima dengan tangan terbuka," ujar Alex. Cara ini pernah dilakukan partai banteng pada Pemilu 1987. Dan kabarnya ratusan juta rupiah bisa digaet. "Dompet Pemilu" PDI Jakarta yang baru seminggu itu mulai berisi. Sumbangan yang dikirim para simpatisan itu besarnya Rp 5.000 sampai Rp 10.000. "Jumlah seluruhnya belum sempat dihitung. Sebagian dari rakyat kecil," kata pereli mobil itu. Di samping mencari sumbangan, PDI juga mencari dana dengan menjual atribut partai, mencetak kalender, dan membikin bursa murah. Untuk kegiatan operasional sehari-hari, PDI hanya mengandalkan sumbangan Sekretariat Negara Rp 7,5 juta sebulan. Praktis tiada sumber dana lainnya kecuali sumbangan spontan anggota dan simpatisan. "Tentu saja kami selalu nombok," ujar Sekjen Nico Daryanto. Lain halnya dengan Golongan Karya, yang banyak duit. Uangnya mengalir dengan deras. Sumbernya, sebut saja beberapa anggota dan simpatisannya dari kalangan pengusaha besar seperti Anthony Salim, Aburizal Bakrie, atau Hutama Mandala Putra. "Baru tiga kali mengadakan dinner party dengan para pengusaha kader Golkar di Hotel Hilton, kami mendapat Rp 50 milyar," kata salah seorang ketua Golkar, Jakob Tobing. Belum lagi acara serupa yang digelar pengurus daerah untuk merogoh kocek pengusaha setempat. Menghadapi pemilu mendatang, Golkar menyiapkan dana lebih dari Rp 100 milyar, atau lebih dari separuh anggaran Pemilu 1992 untuk Panitia Pemilihan Indonesia. Artinya, dana Rp 250 juta dari Pemerintah bagi Golkar mungkin cuma seperti "uang jajan". Karena di kantongnya sudah tersedia Rp 100 milyar, yang sebagian besar akan disalurkan ke daerah untuk membantu acara di daerah, mulai dari komisariat di desa sampai provinsi. "Pengurus pusat paling hanya memakai 20%. Itu pun untuk perjalanan dinas dan cadangan," kata Jakob. Dengan jumlah anggota terbesar dan potensial untuk sumber dana, tampaknya dompet Golkar tak bakal kempis. Anggota Golkar berjumlah 32,4 juta orang -- 26,8 juta di antaranya punya nomor anggota -- minimal tiap orang membayar iuran Rp 100. Lalu masih ada sejuta kader fungsional, sebagian di antaranya adalah pengusaha. Di luar itu, dana mengalir dari Yayasan Dakab (Dana Abadi Bhakti) tak kurang dari Rp 70 juta sebulan untuk menggerakkan organisasi. Gaya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lain lagi. Meski tak lebih kaya dari PDI, PPP tak memakai acara buka dompet. "Kami berjalan bagaikan lembaga pengajian yang berprinsip swasembada," kata Sekretaris Jenderal PPP Matori Abdul Djalil. Maksud Matori begini: "Pokoknya jalan ya jalan. Kalau kurang duit, ya kita cari." Besarnya dana, menurut Matori, tak dipikirkan PPP karena masyarakat mempunyai peran penting dalam menyumbangkan dana dan tenaga. Misalnya, beban untuk menyelenggarakan suatu kampanye di desa bisa ditekan lantaran sarana kampanye seperti panggung dan seragam disediakan masyarakat. "Setiap ada kampanye, orang berbondong-bondong datang menyerahkan bambu dan beras," katanya. Bantuan Pemerintah untuk kampanye sebesar Rp 250 rencananya dibagi dua. Separuh untuk pusat, sisanya dibagikan ke daerah. Di luar itu, pengurus daerah juga menerima bantuan dari pemda, yang besarnya tergantung kayamiskinnya daerah. Daerah yang kaya seperti Jakarta menyumbang pengurus wilayah partai Rp 70 juta. Sedangkan daerah yang kecil seperti Bengkulu cuma membantu Rp 25 juta. Dana yang disediakan Pemerintah, diakui Ketua Umum PPP Buya Ismail Hasan Metareum, jauh dari mencukupi. Untuk operasional saja -- dengan bantuan Pemerintah Rp 7,5 juta sebulan itu -- PPP sesak napas. Namun, Buya Ismail tak pernah menganggarkan kebutuhan partainya, termasuk untuk kampanye Pemilu nanti. "Bila dana terlalu menjadi pikiran, bisabisa kampanye gagal lantaran orang pusing memikirkan itu," kata Buya. Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Pemilihan Umum Harisoegiman mengingatkan, sesuai dengan Undang-Undang Keormasan 1985, dana organisasi yang utama berasal dari iuran anggota, lalu dari pemberian yang tak mengikat, dan sumbangan organisasi lain. "Baru yang terakhir dari bantuan Pemerintah," kata Hari. Dengan demikian, organisasi peserta pemilu akan lebih mandiri. "Kalau tergantung Pemerintah, nanti program-programnya bisa didikte. Maka, jangan salahkan Pemerintah kalau mereka tak punya duit," ujar Dirjen Sospol itu. Ardian T. Gesuri, Dwi S. Irawanto, Wahyu Muryadi, dan Iwan Q.H.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus