ACARA itu cuma berlangsung sekitar 31 menit, tapi mengharukan. Tak satu pun di antara hadirin yang berjumlah 30-an orang itu menyunggingkan senyum, apalagi tertawa. Beberapa di antaranya malah tampak tertunduk sedih dengan bola mata berkaca-kaca. Saat-saat haru itu muncul terutama saat Dirjen Perhubungan Laut (Perla) J.E. Habibie memeluk erat Soegijanto Wignjodihardjo yang baru beberapa saat yang lalu menyerahkan jabatannya selaku Dirut Perum Pelabuhan III kepada Hidayat Mao, ketua dewan pengawas Perum itu. "Kala hari ini Saudara menyerahkan jabatan, berjalanlah keluar dengan kepala tegak. Akhirnya, Saudara sendirilah yang menentukan siapa Saudara sebenarnya," kata Habibie memberi nasihat. Soegijanto bersama tiga pejabat Perum lainnya yang hari itu juga harus meletakkan jabatan pelan-pelan menegakkan kepala. Semula mereka mengikut upacara itu lebih banyak dengan kepal merunduk. Peristiwa ini memang mengagetkan. Tibatiba saja, 9 Juni yang lalu, Menteri Perhubungan Azwar Anas mengirim teleks kepada Dirut Perum Pelabuhan III agar dirut dan sejumlah direktur lainnya menyerahkan jabatannya paling lambat 14 Juni 1988. Selain Soegijanto selaku dirut, pejabat lainnya yany dimaksud teleks menteri itu ialah Hendrikus Gregorius Luntungan (Direktur Operasi), Prasidio Notosusanto (Direktur Teknik) dan Amdarto Darmosoetanto (Direktur Keuangan) . Berarti, dari barisan direksi Perum itu hanya direktur personalia dan umum, I.W. Soewetja, saja yang terbebas dari gebrakan mendadak menteri baru itu. Maka, serah terima para direksi tadi berlangsung Selasa pekan lalu di kantor pusat Perum Pelabuhan III di Jalan Tanjung Perak Timur, Surabaya dengan disaksikan Dirjen Habibie. Tapi mengapa serah terima harus mendadak dan melalui teleks menteri? "Untuk menjaga kewibawaan pemerintah dan agar yang bersangkutan tidak dihantam terus-menerus, kebijaksanaan ini kami ambil," kata J.E. Habibie menjawab. Sang dirjen tak membantah bahwa ada kelemahan pada para direksi yang diganti itu. Tapi, katanya, "Kelemahan-kelemahan itu bervariasi. Ada yang sudah diberi teguran, diberi hukuman, dan sebagainya." Artinya, kalau sekarang para direksi itu harus pula menyerahkan jabatan, itu semata-mata untuk menjaga kewibawaan aparat pemerintah. Karena selama ini beredar berbagai isu tentang manipulasi milyaran rupiah di Perum yang mengurusi 28 pelabuhan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT. Tim-Tim, Kal-Teng, dan Kal-Sel. Misalnya menyangkut penggunaan biaya operaslonal beberapa kapal tunda milik Perumpel III. Kapal-kapal itu sudah dinyatakan rusak tapi ternyata biaya pemeliharaannya masih dicantumkan dalam anggaran. Kemudian ada lagi permainan dalam pengadaan berbagai fasilitas perkantoran dan biaya perawatan pelabuhan. Beredarlah kabar, dari bermacam permainan itu negara dirugikan Rp 1,8 milyar. Sumber lain menyebut manipulasi itu bahkan mencapai jumlah Rp 15 milyar. Menyangkut dalam pelaksanaan pembangunan perluasan pelabuhan Berlian dan Zamrud di Surabaya, beserta berbagai fasilitasnya. Dalam kaitan ini konon ada lagi 17 karyawan Perumpel yang tersangkut. Selain itu, administrasi di Perum itu mengecewakan dan piutang perusahaan milik pemerintah itu pada pihak luar yang tak tertagih mencapai Rp 17 milyar. Apalagi, dari jumlah yang begitu besar, sebagian terdiri atas piutang ragu-ragu alias piutang yang sudah sulit ditagih yang jumlahnya mcncapai milyaran rupiah. "Perusahaan yang punya utang itu ada yang sudah pailit, mati, bahkan ada yang sudah tak jelas lagi," kata Dirjen Habibie. Menurut sebuah sumber, tunggakan tcrbesar justru datang dari perusahaan pelayaran BUMN. Tapi Dirjen tak menyalahkan soal itu semua di pundak para direksi yang dicopot, karena utang itu sudah ada sejak 10 tahun lalu, sedang para direksi im baru memegang jabatannya sejak 1983. "Kalau saya baca berita di koran, seolah-olah telah terjadi hal-hal yang melanggar hukum begitu beratnya hati saya sedih. Ini 'kan mengenal orang-orang yang saya bina. Saya tidak mengatakan kita semua bersih. Tapi marilah kita ukur apa yang terjadi dengan nurani kita masing-masing," kata Habibie dalam pidato tanpa teks dalam acara serah terima tadi. Yang jelas, sejak 1986, BPK, BPKP, sampai Opstibpus sudah turun ke sana memeriksa. Tapi dari pemeriksaan Opstib, menurut Menteri Perhubungan Azwar Anas, seorang di antaranya yaitu H.G. Luntungan dinyatakan bersih. "Orang yang melaporkan keterlibatan Luntungan juga telah mencabut pengaduannya," kata Azwar kepada TEMPO di Medan, Senin pekan ini. Maka, Menteri Perhubungan mengatakan ia telah merehabilitasi Luntungan. Sekalipun dinyatakan bersih, Luntungan tidak akan didudukkan di jabatannya semula. Dengan surat rehabilitasi Menteri Perhubungan terhadap Luntungan, 13 Juni lalu, apakah berarti tiga yang lain benar-benar terlibat? "Mereka 'kan sudah ditindak menteri terdahulu," katanya. Tapi Azwar tak bermaksud membawa mereka ke pengadilan. "Kasihan, 'kan, masa mereka kita pidanakan lagi," katanya. Februari lalu, Menteri Perhubungan Rusmin Nurjadin sudah menghukum para dircksi itu dengan menurunkan pangkatnya masing-masing satu tingkat, termasuk H.G. Luntungan. Tapi yang disebut terakhir kemudian direhebilitasikan oleh Menteri Rusmin. Artinya, pangkatnya tak jadi turun. Selain itu, Rusmin tetap mempercayai mereka memcgang jabatannya masing-masing. Ternyata, menurut sumber TEMPO, berbagai ketidakberesan berlanjut sampai Azwar Anas menjadi menteri perhubungan. Malah soalnya tambah meluas. Misalnya, ada permainan dalam soal berat-ringan barang keluar-masuk pelabuhan sehingga tagihan retribusi diatur dengan pemilik barang. Selain itu, tagihan piutang tadi tetap macet. Anehnya, berbagai perusahaan pelayaran yang menunggak utang tetap bebas menggunakan fasilitas pelabuhan tanpa sanksi. "Kalau demikian, kapan mereka mau membayar utang?" kata sumber itu. Begitulah, sampai akhirnya Azwar Anas menggebrak. Amran Nasution, Wahyu Muryadi, Irwan Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini