Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengapa MKD Kini Jadi Alat Membungkam Kritik Anggota DPR

Rencana MKD memeriksa Rieke Diah Pitaloka yang menentang tarif PPN 12 persen dianggap sebagai upaya membungkam anggota Dewan.

2 Januari 2025 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Anggota DPR Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka. ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ada kejanggalan dari rencana MKD memeriksa Rieke Diah Pitaloka.

  • Formappi menilai sikap Rieke yang menentang kenaikan tarif PPN seharusnya didukung.

  • MKD dianggap kebablasan.

MAHKAMAH Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (MKD) menunda pemeriksaan Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, pada Senin, 30 Desember 2024. Ketua MKD Nazaruddin Dek Gam beralasan anggota lembaganya masih berada di daerah pemilihan masing-masing mengikuti reses.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Anggota kami masih ada di daerah pemilihan. Ada yang masih Natalan juga," kata Nazaruddin pada Ahad, 29 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alasan Nazaruddin itu penuh kejanggalan. Sejak awal, MKD justru memaksakan pemeriksaan Rieke meski anggota Dewan dalam masa reses, yang dimulai pada 6 Desember 2024 hingga 20 Januari 2025. 

Laporan dugaan pelanggaran kode etik terhadap Rieke masuk ke MKD dalam masa reses, yaitu pada 20 Desember 2024. Pengadu atas nama Alfadjri Aditia Prayoga melaporkan Rieke ke MKD dengan tudingan bahwa legislator PDIP itu sudah memprovokasi publik untuk menolak kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.

Alfajri menyertakan video pernyataan Rieke yang diunggah di media sosial. Belum jelas video mana yang dijadikan bukti oleh pengadu. Tapi Rieke pernah mengunggah video di media sosial mengenai pendapatnya yang menentang kenaikan PPN menjadi 12 persen. Anggota komisi bidang pertanian DPR ini menyampaikan pendapatnya tersebut sebelum rapat paripurna DPR pada 5 Desember 2024. Saat rapat paripurna, Rieke menginterupsi rapat. Ia meminta pimpinan dan anggota DPR mendukung usulannya tentang pembatalan kenaikan PPN.

"Kami memberi dukungan penuh kepada Presiden Prabowo. Saya yakin menunggu kado tahun baru 2025 dari Presiden Prabowo, batalkan rencana kenaikan PPN 12 persen,” kata Rieke.

Anggota DPR yang berasal dari daerah pemilihan Jawa Barat VII ini menjelaskan, Pasal 7 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) semestinya dipahami secara utuh. Jadi DPR ataupun eksekutif tidak hanya berfokus pada Pasal 7 ayat 1 huruf b Undang-Undang HPP yang mengatur kenaikan PPN menjadi 12 persen mulai awal Januari 2025. Menurut Rieke, eksekutif juga mesti melihat ketentuan Pasal 7 ayat 3 Undang-Undang HPP yang mengatur tarif PPN dapat diubah, baik dinaikkan maupun diturunkan, maksimal sebesar 5 persen. Dengan demikian, PPN 11 persen yang berlaku sejak April 2022 itu dapat diturunkan hingga 5 persen.

"Dalam penjelasannya, disampaikan juga bahwa keputusan naik-tidaknya harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter, serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahun,” ucap Rieke.

Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) saat menggelar sidang klarifikasi anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Haryanto, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 3 Desember 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Melihat proses di MKD, lembaga ini sesungguhnya sudah menindaklanjuti laporan Alfajri. Sebab, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD, sebelum memeriksa terlapor, MKD meminta keterangan pengadu dan ahli. Jika betul kedua proses tersebut sudah dilalui, berarti permintaan keterangan terhadap pengadu ataupun ahli dilakukan MKD pada masa reses. 

Hasil pemeriksaan pengadu dan ahli tersebut menjadi permintaan Rieke kepada MKD. Rieke meminta informasi kepada MKD tentang hasil verifikasi atas keterangan saksi dan ahli serta informasi terverifikasi tentang kerugian materiil maupun imateriil akibat konten media sosial yang dimaksudkan oleh pengadu. Rieke beralasan dia membutuhkan informasi tersebut untuk persiapan memberikan keterangan dalam sidang MKD nantinya.

Nazaruddin Dek Gam dan Wakil Ketua MKD Tubagus Hasanuddin serta Aboe Bakar Alhabsyi belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Sebelumnya, Nazaruddin mengatakan pemeriksaan terhadap Rieke akan dilakukan setelah masa reses anggota DPR.

Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Nazaruddin Dek Gam memimpin sidang klarifikasi anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Haryanto, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 3 Desember 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Ketua DPP PDI Perjuangan Deddy Yevri Hanteru Sitorus khawatir pemanggilan Rieke tersebut bakal berdampak pada tumpulnya daya kritik anggota DPR terhadap eksekutif. Deddy menjelaskan, sebagai legislator, Rieke berperan menjalankan fungsi checks and balances terhadap eksekutif, terutama kebijakan yang bakal berdampak besar terhadap masyarakat.

Ia berpendapat MKD semestinya memeriksa anggota Dewan yang cenderung pasif dalam mengawasi eksekutif ketimbang memeriksa Rieke yang jelas-jelas berusaha menjalankan fungsi pengawasan dengan baik. 

“Kami khawatir ini berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap DPR,” kata Deddy pada Rabu, 1 Januari 2025. “Kalau setiap sikap kritis dibingkai sebagai kejahatan, lembaga DPR berpotensi menjadi sekadar stempel bagi kekuasaan.” 

Pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan rencana MKD memeriksa Rieke makin menebalkan adanya upaya untuk mengkooptasi DPR agar sejalan dengan selera subyektif kekuasaan. Indikasinya, MKD justru sibuk memeriksa anggota Dewan yang mengkritik kebijakan eksekutif.

“Ini seperti MKD menjadi alat pembungkam bagi legislator yang kritis,” tutur Herdiansyah.

Ia mengingatkan bahwa anggota DPR memiliki hak imunitas untuk menyampaikan pendapatnya. Herdiansyah menjelaskan, Pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) secara eksplisit menyebutkan legislator tidak dapat dihukum karena pendapatnya yang dikemukakan dalam rapat DPR atau yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang anggota Dewan.

Herdianyah menilai pendapat Rieke tentang kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan bagian dari tugas dan wewenangnya sebagai anggota Dewan. Karena itu, kata Herdiansyah, MKD semestinya memeriksa anggota DPR yang pasif dalam mengawasi eksekutif. 

“Kalau yang dibungkam adalah mereka yang sering mengkritik, saya rasa MKD saat ini sudah overlap dan tidak sesuai dengan fungsinya,” ujarnya.

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai reaksi MKD terhadap sikap kritis Rieke sudah kebablasan. Sebab, pernyataan Rieke yang mendorong pembatalan tarif PPN 12 persen merupakan persoalan yang menjadi perhatian masyarakat. 

“Kalau nanti pernyataan Rieke ini diproses, yang sebenarnya bermasalah secara etik adalah MKD,” kata Lucius.

Pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, sependapat dengan Herdiansyah. Feri mengatakan persoalan tarif PPN 12 persen memang menjadi perhatian masyarakat karena berdampak langsung kepada mereka. “Tarif PPN 12 persen memang layak dipersoalkan,” ucap Feri. “Namun jangan juga mengabaikan persoalan masyarakat yang lain. Tunjukkan secara utuh sikap keberpihakan kepada publik.”

Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus