KABAR itu muncul dua pekan sebelum berlangsungnya Kongres HMI ke-27 di Lhokseumawe, Aceh, 28 Juni--6 Juli mendatang: HMI akan menerima mahasiswa nonmuslim sebagai anggotanya. Yang disebut sebagai sumber pernyataan itu adalah Ketua Umum PB HMI Saleh Khalid, dalam sebuah pertemuan pers di kantor PB HMI di Jakarta. Berita itu disiarkan oleh koran Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat (KR), pekan lalu. KR pun meminta tanggapan bekas ketua umum PB HMI Ridwan Saidi. Tokoh yang belum lama ini masuk Golkar itu menyambut baik. Menurut dia, sesungguhnya sudah lama HMI menerima keanggotaan dari unsur nonmuslim. "Ini tidak menyalahi AD/ART," katanya. Dan untuk masa sekarang, upaya keterbukaan itu sudah klop dengan asas tunggal yang diterima oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Menurut Ridwan, pada zaman dia masih aktif, di Universitas Indonesia juga ada beberapa mahasiswa nonmuslim yang jadi anggota muda. Sebagai anggota muda mereka tidak bisa dipilih menjadi pengurus, tapi berhak memilih dan mendapat pelayanan. "HMI 'kan bukan masjid. Dia harus memberi pelayanan student need dan student interest," katanya. Pernyataan Ridwan ternyata mengundang silang pendapat dan berbagai kalangan alumni HMI. Dr. Ichlasul Amal dan Chumaidi Syarief Romas, keduanya bekas pengurus HMI dari Yogya, kemudian menyerang Saleh Khalid. "Kalau program itu yang dijalankan, lebih baik HMI bubar saja sebab sudah berubah dari tujuan semula," kata Ichlasul Amal. Menurut Ichlasul, yang kini menjabat Dekan Fisipol UGM itu, HMI punya tujuan sendiri yang mungkin tak sesuai dengan orang yang non-Islam. Keterbukaan HMI diharapkannya jangan diartikan sebagai tempat penampungan mahasiswa nonmuslim. Ichlasul Amal juga menyayangkan gagasan Saleh Khalid - seperti yang disiarkan KR yang menanggap perlu difusikannya HMI, PMII, dan IMM dalam satu wadah. "Itu tidak relean," katanya. Diserang begitu, Saleh Khalid pun tak kalah berang. "Saya tak pernah ngomong begitu." Dalam konperensi pers Sabtu dua pekan lalu itu, katanya, "Saya mengatakan bahwa HMI dapat menjadi 'wadah kegiatan' bagi siapa saja - termasuk mahasiswa nonmuslim. Tapi bukan 'wadah keanggotaan'." Sebab, menurut aturan main HMI setiap anggota - muda, kehormatan, atau penuh - harus memenuhi kriteria Islam. Sedangkan sebagai wadah kegiatan, maksudnya di tingkat program, siapa pun boleh mengikuti - termasuk mahasiswa nonmuslim. Dalam hal ini, keterlibatan mahasiswa nonmuslim terbatas pada kegiatan-kegiatan seperti diskusi, seminar, atau peringatan hari-hari besar saja. Inilah makna keterbukaan HMI. Jadi, kalau ada mahasiswa nonmuslim ingin menjadi anggota HMI, "Itu jelas tidak boleh." Kalau pada masa Ketua PB HMI Ridwan Saidi, 1974-1976, disebut-sebut ada beberapa anggota muda yang nonmuslim, "Itu bukan urusan saya," katanya. "Pokoknya, untuk jadi anggota itu, syaratnya harus mahasiswa dan Islam. Titik." Khalid juga tak menginginkan penggabungan (fusi) ormas mahasiswa HMI, PMII, dan IMM. "Maksud saya adalah agar saling menghargai dan saling mendukung kegiatan masing-masing." Tapi bagaimana halnya dengan berita di Kedaulatan Rakyat tanggal 14 dan 16 Juni lalu? "Saya akan menuntut koran itu," jawabnya. Koran itu, katanya, salah menafsirkan pengertian wadah kegiatan sebagai wadah keanggotaan. Tapi Imam Anshori Saleh, Wakil Pemimpin Redaksi KR, mengatakan bahwa berita yang dikirimkan wartawannya di Jakarta itu tidak salah. "Saya sudah mengecek pada wartawan saya tentang pernyataan itu," katanya. "Wartawan kami meyakinkan bahwa memang Khalid mengatakan hal seperti terlepas dari pernyataan Khalid, sebenarnya sudah lama HMI menerima keanggotaan dari nonmuslim. Ini diakui bekas Ketua Umum PB HMI Akbar Tanjung. Dan Abdul Gafur pun membenarkan. "Kawan saya juga ada yang jadi anggota HMI," kata Gafur, bekas Menpora, mengenang. Tapi sifatnya hanya praktis, sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Misalnya diadakannya study group. Kalau praktek itu mau diformalkan, "AD/ART HMI harus berubah. Namanya, ya, misalnya, Himpunan Mahasiswa Indonesia," katanya. Tapi secara pribadi Gafur berpendapat, HMI harus tetap mempertahankan identitasnya, mencetak kader intelektual yang bernapaskan Islam. Agus Basri, P.B. Sumbogo, T.B. Soekarno (Jakarta), dan I Made S. (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini