Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah lebih dari 100 hari lumpur panas menyembur dari Kecamatan Porong di bumi Sidoarjo. Siang-malam tak pernah henti. Sumbernya malah bertambah. Lautan air pekat terus melahap bangunan yang ada di sekitarnya. Jumat pekan lalu, Desa Mindi, yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari pusat semburan, sudah tergenang.
Mulai menyembur dari kawasan eksplorasi gas PT Lapindo Brantas, anak perusahaan Grup Bakrie, 29 Mei lalu, lumpur kini telah menelan 1.810 rumah penduduk. Delapan belas gedung sekolah, dua kantor pemerintahan, 20 pabrik, dan 15 masjid di lima desa tak tampak lagi. Areal sawah dan permukiman penduduk seluas 350 hektare kini jadi danau.
Penduduk di sekitar sumur Banjar Panji-1 hidup dalam panik, waswas kampung mereka segera terendam. ”Pemerintah di Jakarta sudah tahu desa kami akan tenggelam, tetapi diam saja,” kata seorang penduduk Besuki, Sidoarjo. Di desa lain seperti Pejarakan, penduduk curiga lumpur sengaja dialirkan ke permukiman mereka.
Hingga kini, 3.000 keluarga, atau sekitar 10 ribu orang, telah terusir dari tempat tinggalnya. Berbagai fasilitas publik seperti jalan tol dan rel kereta api pun terus terganggu.
Desakan lumpur hampir mustahil ditahan karena volumenya semakin bertambah. Ketika mulai muncrat, volumenya diperkirakan ”hanya” sekitar 5.000 meter kubik per hari. Belakangan, semburannya memuncak menjadi 50 ribu meter kubik per hari atau setara dengan kapasitas 690 truk peti kemas ukuran sedang. Sementara itu, kalender sudah mengarah ke musim hujan yang pasti akan melipatgandakan banjir lumpur tersebut.
Kondisi seperti ini memaksa pemerintah turun tangan. Sehari sebelum melawat ke Finlandia, Sabtu dua pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani surat keputusan pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo.
Dalam surat itu disebutkan, tim dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah semburan lumpur dengan risiko lingkungan paling kecil. Tim yang dipimpin Basuki Hadi Muljono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, dengan tim pengarah sejumlah menteri itu diberi mandat selama enam bulan.
”Seluruh biaya untuk pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT Lapindo Brantas,” kata Purnomo Yusgiantoro, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang juga ketua tim pengarah, seusai rapat di kantor Wakil Presiden yang membahas soal ini, Senin pekan lalu.
Pembentukan tim ini dinilai tepat oleh Alvin Lie, anggota Komisi Pertambangan Dewan Perwakilan Rakyat. ”Kalau tidak cepat, banyak rakyat akan menjadi korban,” kata politisi Partai Amanat Nasional itu. Apalagi, ia menilai, kasus ini sudah menyangkut masalah sosial dan politik.
Bahkan, menurut Agusman Effendi, Ketua Komisi Lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah seharusnya juga ikut menanggung biayanya. Menurut dia, kemampuan Lapindo pasti ada batasnya. ”Jadi,” kata politisi Partai Golkar itu, ”tidak adil kalau membebankan semua biaya kepada mereka.”
Begitu tulus hatikah para politisi dalam kasus ini? Tidak juga. Bisik-bisik bersuara minor muncul di kalangan politisi lain: pengambilalihan masalah lumpur ini dilakukan atas desakan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie. Tujuannya, berbagi beban yang selama ini ditimpakan kepada perusahaan keluarganya.
Dukungan politik pemerintah ini dianggap sangat penting bagi keluarga Bakrie. Itu karena, menurut sumber, mereka hanya bersedia menanggung ”dana lumpur” maksimal Rp 1,5 triliun. Jumlah itu diperkirakan tidak akan bisa menutup semua biaya yang dibutuhkan.
Saat ini saja, menurut Imam P. Agustino, Presiden PT Lapindo Brantas, perusahaannya sudah mengeluarkan US$ 35-40 juta atau sekitar Rp 350 miliar. Lapindo juga harus segera mengeluarkan Rp 95 miliar untuk pembuatan sumur penyelamat guna mencari sumber lumpur.
Masih ada pelbagai pengeluaran lain. Basuki Hadi Muljono kepada Tempo menyatakan, hingga Kamis pekan lalu klaim kerugian perusahan yang terkena lumpur sudah mencapai Rp 390 miliar. Ada pula biaya perlindungan infrastruktur yang diperkirakan Rp 205 miliar. ”Biaya terbesar akan diperlukan untuk menyelesaikan masalah sosial,” ujarnya.
Dengan kemungkinan pengeluaran yang berjibun itu, kata seorang politisi dari sebuah partai besar, keluarga Bakrie berharap pemerintah pada akhirnya akan membuka lemari kasnya. ”Apalagi kalau kemudian kasus ini dinyatakan sebagai bencana,” katanya, ”Aburizal akan berperan sebagai Menko Kesra.”
Wakil Presiden Jusuf Kalla menepis keterlibatan Aburizal dalam pengambilalihan kasus lumpur ini. Ia menegaskan tim nasional dibentuk untuk memadukan usaha menanggulangi masalah ini. ”Saya sendiri yang memutuskan, atas permintaan masyarakat di sana,” katanya kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Ketua Umum Partai Golkar itu menyatakan, sepekan sebelum pembentukan tim diputuskan, sejumlah tokoh masyarakat Jawa Timur datang kepadanya. Mereka mengeluh tidak adanya pemimpin di lapangan. ”Kepada mereka, saya tanya: bagaimana bupati? Tidak bisa. Gubernur? Tidak bisa. Oke, pusat akan ambil alih,” katanya.
Pertemuan dengan Wakil Presiden itu diikuti antara lain Ali Maschan Moesa, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, dan Ridwan Hisyam, politisi Partai Golkar dari wilayah itu. Menurut Ali, pada pertemuan itu para tokoh memang meminta pemerintah turun tangan. ”Kami minta pemerintah menyatakan status darurat,” tuturnya.
Ali berpendapat, selama ini sejumlah pejabat seperti menteri, gubernur, bupati, wali kota, dan para petinggi Lapindo tidak pernah satu kata. ”Jadi, nggak jelas dan tidak ada keputusan,” ia menjelaskan. Ia membantah, kedatangannya ke kantor Jusuf Kalla berkaitan dengan Golkar atau keluarga Bakrie.
Dalam soal biaya, Jusuf Kalla memastikan dana Rp 1,5 triliun yang disanggupi keluarga Bakrie cukup untuk menangani kasus ini. Apakah pemerintah akan ikut menanggung jika dana itu tidak cukup? Kalla menjawab diplomatis: ”Sudahlah, jangan berandai-andai.”
Tim nasional pimpinan Basuki Hadi Muljono ini bakal menjalani misi berat. Mereka harus menyelesaikan peningkatan ketinggian tanggul sebelum musim hujan tiba. Usaha ini dilakukan dengan memanfaatkan program Tentara Nasional Indonesia Manunggal Masuk Desa, semacam program kerja bakti yang dilakukan tentara.
Tim juga mulai mengebor sumur penyelamat untuk mencari sumber lumpur dan kemudian menghentikannya. Pengeboran ini diperkirakan memakan waktu 90 hari, dengan tingkat keberhasilan hanya 10 persen. ”Jadi,” kata Basuki, ”kalau berhasil, kita langsung kenduren.”
Budi Setyarso, Heri Susanto, Zed Abidien dan Rohman Taufik (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo