Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Biarpun ong tae-hae menyesali

Tanpa ramai-ramai keturunan cina berperan dalam perkembangan kesenian nasional. mulai dari desain batik, novel,penyair,pelukis,teater,sampai film. warna cina masuk ke pelbagai karya budaya daerah.

21 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENGOKLAH Desa Kedungwuni, sebuah kampung di pinggir Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana, nama Oey Soe Tjoen identik dengan batik yang cantik. Setiap kali ada sehelai batik dengan lukisan bunga yang halus, tipis dengan warna lembut, orang dapat mengenalinya sebagai karya Oey. Ciri khas Oey: pembauran desain pola Pekalongan dengan motif flora Cina. Sesekali kita akan melihat motif burung hong, yang melambangkan keabadian, atau bunga teratai yang mengapung di atas danau. Oey hanya salah satu contoh. Sebelum dia, ada Oey Soen King, lahir 1861, dan anaknya Oey Kok Sing, lahir 1896, yang memberi corak tersendiri pada gaya Pekalongan pada batik tulisnya. Jika ada satu wilayah tempat keturunan Cina berbaur dengan latar setempat tanpa ramai-ramai, tapi hasilnya menarik, maka itu adalah dalam kesenian. Sembilan abad yang silam, terutama di Jawa, pembauran budaya sudah terjadi. Seorang pengelana Cina yang datang dari Fukien dan hidup di Indonesia tahun 1783-1791 (terutama di Pekalongan), bernama Ong Tae-hae, menerbitkan sebuah memoar sewaktu balik ke Fukien. Dalam buku Ong ini disebutkan (dengan nada menyesali) bagaimana keturunan Cina di Jawa "tanpa risau, menjadi orang Jawa", "menolak makan babi", dan "memungut adat istiadat bumiputra". Ong menghendaki kemurnian Cina, tapi bagaimana bisa bicara tentang keadaan tanpa pengaruh dalam kesenian? Di kesenian daerah Indonesia sendiri, warna Cina masuk dan menyatu dengan karya-karya budaya Betawi, Banten, Demak, Pekalongan, Lasem, hingga Bali. Di Betawi terkenal tari cokek dan musik gambang kromong: keduanya meresapkan warna dan nada Cina tanpa banyak cingcong. Dan mungkin tak banyak penggemar ketoprak yang tahu bahwa ketoprak adalah teater Jawa yang relatif baru. Menurut penulis buku Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Ketoprak, Widjaja, kesenian ini ditemukan pertama kali di Yogya tahun 1887. Saat itu, ketoprak masih berupa "joget" dan "tetembangan" belaka. Hanya 11 tahun kemudian ketoprak mengenal lakon yang sederhana dengan bantuan kendang dan suling. Pengaruh Cinalah (opera peking?) yang konon kemudian memperkaya pertunjukan itu jadi sebuah kesenian yang populer. Penggunaan bahasa Melayu (yang kemudian jadi bahasa Indonesia) buat novel juga antara lain digerakkan oleh para penulis peranakan Cina yang tak bisa lagi memakai bahasa nenek moyangnya. Pouw Kieo An, yang memakai nama samaran "Romo", misalnya, menulis novel Katja Rasa di tahun 1920-an dan Tan Hang Boen menulis Soepardi dan Soendari di tahun 1925. Para pengarang ini tak selamanya memang menggunakan sumber pengalamannya sebagai keturunan Cina dalam cerita mereka. Dalam banyak hal ini yang juga dilanjutkan oleh novelis Marga T., juga keturunan Cina, yang terkenal di tahun 1970-an. Karena itu, tokoh-tokoh novel dalam jalur ini agak datar, kurang nampak sosok kongkretnya, malah agak tersamar. Tapi dalam hal Marga T. menggunakan sumber pengalamannya yang otentik sebagai seorang wanita keturunan Cina di Indonesia, hasilnya diakui sangat bagus, seperti dalam novel Gema Sebuah Hati. Tentu kekhasan pengalaman sebagai keturunan Cina tak selamanya cukup kuat, bila pembauran sosial dan budaya sudah begitu rupa. Penyair terkenal Abdul Hadi W.M., misalnya, yang dalam buku Leo Suryadinata, Prominent Indonesian Chinese disebut sebagai salah satu penulis keturunan Cina, dalam puisinya lebih nampak sufisme Islam ketimbang latar lain. Pelukis Jeihan juga tak bisa dilihat sebagai "pelukis keturunan Cina", semata-mata karena baginya, dan bila ditilik hasil karyanya, kategorisasi itu tidak relevan, tak penting dihubung-hubungkan. Lihat pula musium Keraton Surakarta. Raden Tumenggung Hardjonagoro, ahli kesenian Jawa, 58 tahun silam "Kanjeng Mas" ini terlahir sebagai Go Tik Swan. Semenjak kecil, ia sudah akrab dengan wayang dan "tosan-aji" dari neneknya, Tjan Khay Sing. Bagi Tumenggung ini, yang biasa dipanggil "Kanjeng Mas", Solo adalah "tanah air saya." Sumbangan keturunan Cina dalam kesenian nasional -- dan berbareng dengan itu, pembauran budaya yang terjadi -- lebih jelas pada dunia film, yang bertautan dengan dunia teater. Nama Tan Tjeng Bok, Mak Wok, dan Fifi Young, dilengkapi oleh nama seperti Teguh Karya. Teguh, dulu memakai nama Steve Liem, dulu lebih menonjol sebagai salah satu penggerak kehidupan pentas di Jakarta, bersama para lulusan ATNI lainnya seperti Wahyu Sihombing almarhum. Yang menarik dalam kesenian, berbeda dengan dalam dunia bisnis, ialah bahwa sejauh ini di sini tak terasa ada sengitnya persaingan berdasarkan ras. Leila S. Chudori (Jakarta), R. Fadjri (Yogyakarta), dan Kastoyo Ramelan (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus