DUA bersaudara keluarga Tan Siauw Ing, 25 tahun, dan Siauw Hwat, 35 tahun -- kini cuma bisa menyesali nasib dari balik terali besi. Keduanya sekarang dihadapkan sebagai pesakitan di Pengadilan Negeri Pekalongan, Jawa Tengah, atas dakwaan melakukan penganiayaan berat yang menewaskan Dahlan, 55 tahun, 21 Desember silam. Kejadiannya berawal dari cekcok antara Siauw Ing dan Santoso, anak lelaki Dahlan. Ketika itu lewat tengah malam, Santoso yang setengah teler meminta rokok kepada Ing, yang masih terhitung tetangganya. Permintaan itu ditolak karena Ing memang tidak punya rokok. Santoso pun memakinya. Perkelahian pun pecah. Ing sempat masuk ke dalam rumah mengambil pisau dan meminta Siauw Hwat membantunya. Keributan itu membangunkan masyarakat sekitar, termasuk Dahlan. Lelaki tua itu pun bergegas datang. Melihat anak lelakinya tengah berantem, Dahlan pun masuk arena. Konon, dia mencoba melerai. Tapi Siauw Ing menduga orang tua itu hendak ikut berlaga. Maka, sabetan pisau Ing menyambutnya. Tukang becak itu mati sebelum mendapatkan perawatan. Kematian itu kontan membakar kemarahan tetangganya, dan juga rekan "seprofesinya". Dalam waktu singkat, mereka berkumpul lalu menyerbu. Untung, Ing dan Hwat sudah kabur. Sebagai pelampiasan, mereka memorak-porandakan rumah yang sekaligus menjadi toko keluarga Tan. Lewat mulut ke mulut, peristiwa berdarah itu cepat menyebar. Pecahlah aksi rasial di Pekalongan. Toko-toko Cina dilempari batu. Sebuah pabrik kerupuk porak-poranda dibakar massa. Kemarahan di Pekalongan itu merembet pula sampai ke Pemalang, Batang, dan Comal. Untung, pihak keamanan bertindak cepat. Api kemarahan itu tak sempat merembet lebih luas. Sentimen anti-Cina memang begitu mudah tersulut. Masih ingat "balada" Irah di Kapasan Surabaya? Nasib buruk pembantu rumah tangga asal Lorok, Pacitan, Jawa Timur, itu hampir mengundang huru-hara besar di Surabaya pada pertengah September 1986 lalu. Berkat kesiagaan petugas, ketegangan di Surabaya itu tak sempat pecah menjadi kerusuhan. Tampaknya, pihak keamanan tak mau kebobolan, sebagaimana kejadian yang melanda di beberapa kota Jawa Tengah -- Semarang, Solo, Pekalongan, dan Kudus -- akhir 1980. Deretan cerita kerusuhan rasial anti-Cina di Indonesia memang panjang. Gampangnya sentimen anti-Cina itu meledak selalu membuat waswas warga keturunan Cina di sini, juga aparat keamanan. Berbagai telaah telah dilakukan untuk mengkaji mengapa sentimen itu mudah disulut. Bermacam alasan telah disebut: kecemburuan sosial, perbedaan agama dan kebiasaan, kecurigaan dan kebencian "historis", dan berbagai alasan lagi. Sejarah hubungan antara warga asli dan keturunan Cina di Indonesia memang mengalami berbagai pasang surut. Bahwa sentimen anti-Cina itu telah berakar lama, bisa pula dilihat dari pandangan Diponegoro. Pangeran yang memberontak terhadap Belanda ini (1825-1830), dalam otobiografinya yang ditulis dalam pengasingan (Serat Babad Diponegoro), mengemukakan alasan mengapa ia kalah dalam pertempuran di Gowok, dekat Surakarta, pada 1826. Sang Pangeran mengungkapkan, pada malam sebelum pertempuran itu ia telah jatuh hati pada seorang wanita Cina yang dipekerjakan sebagai pemijat dan pelipur hati. Kekalahan iparnya, Sastradilaga, waktu mencoba mempertahankan Lasem pada 1827-1828 juga dikatakan karena melanggar pantangan: menjamah wanita Cina. Bahwa Diponegoro sampai menyebut pangkal sialnya adalah perempuan Cina, mungkin hal itu menunjukkan bahwa hubungan antara orang Jawa dan keturunan Cina di Jawa pada awal abad ke-19 itu telah sangat buruk. Namun, keadaan tak semuanya buruk. Di Betawi, "Kapitan Peranakan" yang terakhir, meninggal pada 1827, bernama Muhammad Japar. Di Mataram, pernah ada Tumenggung Mertaguna, semula bernama Cik Go Ing, yang diangkat menjadi bangsawan oleh Sultan Agung karena jasanya dalam penaklukan Surabaya pada 1625. Di zaman kemerdekaan sekarang ini pun keadaannya tak jauh berbeda. Kerusuhan rasial masih terkadang muncul, tapi ada K.R.T. Harjonagoro di Keraton Surakarta, semula namanya Go Tik Swan, yang dikenal sebagai ahli keris dan kebudayaan Jawa. Peran dan jasa keturunan Cina di banyak bidang nonbisnis diakui dan dihargai. Para jagoan bulu tangkis Indonesia, misalnya, yang selama puluhan tahun terakhir ini mengharumkan nama Indonesia, kebanyakan warga keturunan Cina. Mereka umumnya tak pernah menganggap diri keturunan Cina. Toh sentimen anti-Cina masih tetap ada, dan setiap saat bisa mencuat dan meledak. Kini kecemburuan sosial paling sering disebut-sebut sebagai biang sentimen itu. Sejak awal kemerdekaan, kekuatan ekonomi warga keturunan Cina memang dominan di Indonesia. Gordon Redding, seorang pengamat Barat, menaksir bahwa warga Cina, yang hanya 2,1% dari populasi Indonesia, dewasa ini menguasai 75% modal swasta yang diputar dalam negeri. Ketimpangan ini sebenarnya terjadi pula di Muangthai ataupun Filipina. Di Muangthai, misalnya, populasi keturunan Cina cuma 8%. Namun, menurut Redding, mereka menguasai 60% modal di sektor industri dan perdagangan. Sedangkan di Filipina, populasi keturunan Cina 10% dan menguasai 68% kekayaan swasta di negeri itu. Di Filipina serta Muangthai kerusuhan anti-Cina tak pernah terdengar. Indonesia memang lain. "Masalah Cina di Indonesia merupakan salah satu potensi konflik tinggi, kalau tak tertangani secara baik," ujar Menteri Negara Perumahan Rakyat Siswono Yudohusodo. Siswono, semasa menjadi mahasiswa ITB, pernah ditahan selama 50 hari karena dianggap sebagai salah satu penggerak kerusuhan anti-Cina di Bandung pada 1963. Antara pribumi dan nonpri, menurut Siswono, terjadi perbedaan besar. "Baik dalam hal agama, budaya, maupun cara hidup," tambahnya. Tapi Sis melihat adanya kemajuan dalam soal pembauran di Indonesia. Sekolahsekolah Cina telah digusur. Warga Cina pun telah banyak yang meninggalkan kompleks pecinan dan masuk permukiman real estate. Dan para pengusaha pri dan keturunan Cina mulai bergandengan tangan di sektor usaha. "Kalau saya lihat di Hipmi tak ada lagi kesan pri-nonpri itu," ujarnya. Gandengan tangan tak cuma terjadi di kalangan pengusaha. Dalam rangka pembauran itu pula agaknya Bank Summa, yang dikuasai keluarga Soeryadjaya, menggandeng NU. Perjanjian Summa-NU itu diteken oleh Abdurrahman Wahid (wakil NU) dan William Soeryadjaya (wakil Summa) awal Juni lalu di Hotel Sahid, Jakarta. Target kerja sama itu adalah mendirikan 2.000 buah BPR (bank perkreditan rakyat). Rabu pekan lalu, Muhammadiyah juga memprakarsai silaturahmi dengan para pengusaha di Hotel Borobudur, Jakarta. Pada acara itu, hadir tak kurang dari 160 pengusaha, sebagian besar nonpri, antara lain dari grup Matahari, Hero, dan Gunung Agung. Mudah ditebak, tema silaturahmi malam itu adalah bisnis. Tak mengherankan jika dalam sambutannnya, Wartomo Dwisoyuwino, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Muhammadiyah, dengan nada gembira menyebut-nyebut 35 anggotanya yang magang di Matahari, untuk belajar tentang bisnis eceran. Matahari, Hero, dan Gunung Agung juga bersedia mengangkat Muhammadiyah sebagai pemasok komoditi tertentu. Jalur bisnis terhitung cara baru untuk pembauran. Yang telah menggelinding selama 26 tahun adalah pembauran lewat PITI (Pembina Iman Tauhid Islam d/h Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Secara langsung atau tak langsung, PITI bekerja sama dengan Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB) telah memprakarsai pembauran antara pribumi dan nonpri. PITI telah memiliki cabang di 21 provinsi. Kegiatannya macam-macam. Di Palembang mereka mendirikan pesantren Asshidiqiyah, di Semarang, membentuk majelis taklim. Sedangkan Ang Tjwan Giok, alias Nitya Subarkah, melatih mengaji anak-anak dan remaja di Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Pembauran biologis pun, lewat perkawinan, tampaknya diperlukan. Lewat berbagai cara itu, diharapkan warga keturunan Cina tak lagi dianggap nonpri, seperti yang dialami oleh pengarang cerita silat kenamaan Kho Ping Hoo. Saat terjadi kerusuhan anti-Cina 1980, rumahnya di Mertokusuman, Solo, tak diusik. Kho Ping Hoo dikenal dekat dan membaur dengan masyarakat sekitar. Dia mengawinkan pula dua putrinya -- yang beragama Islam -- dengan pemuda pribumi. Kho, meski tetap memakai nama "asli", dan kisah-kisah silat yang ditulisnya melukiskan suatu bagian dari kebudayaan Cina, mungkin bisa menjadi contoh bahwa pribumi dan keturunan Cina bisa menyatu, tanpa perlu saling memperlihatkan gigi. Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini